Revolusi: RI Tanpa KPK
SATUHARAPAN.COM – Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan terkait konflik antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertama, dia meminta agar tidak ada lagi kriminalisasi dalam proses hukum di Polri maupun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan kedua, ‘Polri dan KPK tidak boleh sok di atas hukum.’
Pernyataan yang pertama tentang kriminalisasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan kiriminalisasi sebagai istilah hukum yang berarti proses yamng memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.
Jadi apa maksud Presiden dengan mengatakan ‘jangan ada lagi kriminalisasi proses hukum di KPK dan Polri’? Apakah suap yang disangkakan oleh KPK terhadap Komjen Budi Gunawan itu sebelumnya dianggap bukan pidana dan kemudian dianggap pidana oleh KPK? Apakah ini berarti bahwa Sangkaan Polri terhadap Bambang Widjojanto menyuruh memberi keterangan palsu itu bukan pidana, dan kemudian oleh Polri dianggap pidana?
Situs Wikipedia Indonesia menyebutkan bahwa kriminalisasi mengalami neologisme, dan berarti keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan.
Jika menggunakan penjelasan dalam Wikipedia, lalu kita bertanya: ‘apakah ada pemaksaan interpretasi perundang-undangan untuk menjadikan Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto, dan (kemudian juga) Adnan Pandu Praja, sehingga mereka dinyatakan (tersangka) pelaku kejahatan?
Tentang hal ini pernyataan Presiden Jokowi tidak jelas arahnya. Apalagi kalau dikaitkan dengan sesumbarnya dalam kampanye untuk sebagai presiden menjalankan ‘revolusi mental’. Revolusi mental mesti tegas dijalankan bahwa korupsi adalah korupsi, adalah kriminal, dan tidak boleh ada koruptor yang kebal hukum.
Oleh karena itu, pernyataan ini tidak boleh menjadi pesan agar kasus korupsi yang dimaksudkan untuk di-peti es-kan, karena melibatkan pihak yang kuat atau berkuasa, dan ada kepentingan politik. Sebab, Republik Indonesia telah babak belur oleh korupsi yang telah mendarah-daging dalam pemerintahan dan birokrasi, bahkan di lembaga penegak hukum.
Alat dan Memperalat
Pernyataan kedua Presiden Jokowi adalah agar ‘Polri dan KPK tidak sok di atas hukum’. Pernyataan ini bukan hal baru, karena sudah terlalu sering rakyat berteriak tentang Indonesia sebagai negara hukum, tetapi banyak kasus hukum digunakan untuk kepentingan mereka yang memegang amanat menjalankan atau menegakkan hukum.
Kritik keras sering dilontarkan terhadap proses penyusunan hukum hingga pelaksanaannya. Dan korupsi adalah kejahatan yang paling nyata dan masif di mana hukum telah diperkosa. Lahirnya KPK sebagai lembaga ad hock adalah tuntutan reformasi untuk menghabisi korupsi, tetapi Polri dan Kejaksaan Agung dinilai tidak memadai untuk menjalankan amanat itu, dan diminta untuk mereformasi.
Masalahnya memang bukan pada lembaga, tetapi mental adalah tentang manusia di lembaga itu. Hal yang sama untuk tidak melihat bahwa konflik terjadi itu antara KPK dan Polri sebagai institusi, tetapi antara manusia di dalam kedua institusi itu.
Hal itu terjadi karena ada logika terbalik yang digunakan dalam lembaga penegak hukum. Lembaga, dan orang-orang (pejabat paling tinggi hingga paling bawah) di dalamnya adalah aparat (alat) untuk menegakkan hukum, tetapi terlalu masif pemandangan dan pengalaman rakyat tentang hukum telah menjadi alat bagi mereka untuk kepentingan mereka sendiri.
Situasi sekarang bahkan lebih parah, karena ada indikasi kuat bahwa manusia di lembaga penegak hukum sudah menjadi alat bagi kepentingan politik praktis. Jadi, Presiden Jokowi tidak seharunya mengecilkan situasi sebenarnya dengan hanya meminta untuk ‘tidak sok di atas hukum’. Sebab, banyak kasus hukum dijadikan alat oleh aparat, dan bahkan aparat penegak hukum diperalat untuk kepentingan politik.
Revolusi Hukum
KPK telah berusia 12 tahun. Itu berarti setidaknya sudah 12 tahun Kejaksaan Agung dan Polri diminta untuk mereformasi diri hingga layak menjadi lembaga pemberantas dan pencegah korupsi. Namun dalam kurun waktu ini, justru muncul kasus korupsi di kedua lembaga ini. Ada jaksa menerima suap, kasus rekening gendut pejabart Polri, dan korupsi oleh jenderal polisi.
Ini berarti reformasi penegak hukum belum berjalan sesuai amanat, terutama terkait pemberantasan korupsi. Namun sebaliknya justru muncuul serangan yang bertubi-tubi kepada KPK, termasuk oleh politisi di parlemen. Ini membuat situasi pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum dalam krisis yang serius.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi harus tegas demi kepentingan utama sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara untuk tegas menjalankan ‘revolusi mental’ di bidang ini. Dan hal itu harus tanpa kompromi membersihkan Kejaksaan Agung dan Polri dari orang-orang korup dan orang-orang yang memperalat hukum; tanpa kompromi membebaskan lembaga itu dan orang-orang di dalamnya dari kepentingan politik dan kembali menjadi alat negara. Kedua lembaga kemudian harus menunjukkan sebagai kekuatan nyata memberantas korupsi di seluruh pemerintahan di Indonesia.
Setelah itu terwujud, KPK menjadi tidak relevan dan lembaga ad hock ini boleh dibubarkan. Untuk mencapai itu, revolusi (dalam pengertian perubahan yang mendasar) harus dilakukan di lembaga Polri dan Kejaksaan Agung. Selama situasi Polri dan Kejasaan Agung tidak berubah, KPK harus ada, dan berarti Indonesia terus dalam situasi darurat korupsi dan penegakkan hukum.
Jadi, ini saatnya revolusi mental berhenti diwacanakan, tetapi dijalankan. Gerakan spontan rakyat berkumpul di gedung KPK, dan juga aksi melawan korupsi di berbagai kota menunjukkan rakyat juga siap dengan revolusi mental ini. Masalahnya sekarang, pemimpin dan jajaran Polri, Kejaksaan Agung, pemerintah, birokrasi dan politisi parlemen, siapkah mereka untuk revolusi ini?
Untuk Tuan Presiden Jokowi dan Tuan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menjanjikan ‘revolusi mental’, pertanyaan itu tentu saja terlalu memalukan jika ditujukan kepada Tuan berdua.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...