RI akan Jadi Negara Gagal Bila Persekusi Dibiarkan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Persekusi di Indonesia kian marak belakangan ini dan sangat berbahaya bila dibiarkan karena bisa berujung pada jatuhnya republik ini menjadi negara gagal (failed state).
"Persekusi berbahaya tidak saja karena ia menimbulkan ketakutan untuk berpendapat secara bebas dan karenanya mengancam demokrasi, tapi lebih dari itu karena persekusi dapat menjadi konflik horizontal yang meluas dan berujung pada negara yang gagal (failed state) seperti yang telah kita saksikan pada beberapa negara di dunia," demikian siaran pers Koalisi Anti Persekusi, yang diwakili oleh Alissa Wahid Gusdurian), Asfinawati (YLBHI), Damar Juniarto (SAFEnet) dan Muhammad Hafiz (Human Rights Working Group).
Menurut KAP, jumlah korban persekusi hingga saat ini yang dihimpun dari pengaduan dan monitoring adalah mencakup 66 orang korban kasus persekusi; 12 korban kasus diduga kuat persekusi; tujuh korban awal dari persekusi dan dua korban terimbas kasus persekusi.
KAP mengatakan persekusi telah terjadi sejak lama dan di Indonesia. Tercatat tahun 1965 saat orang dengan mudah dibunuh, dianiaya karena dituduh komunis tanpa proses peradilan, Petrus atau penembakan misterius di era 90-an, dukun santet tahun 1998 di Banyuwangi dan persekusi terhadap Ahmadiyah.
Dijelaskan, karaktek persekusi antara lain adalah adanya hak dasar yang dirampas. Lalu pelaku mentarget orang atau orang-orang karena identitas kelompok; orang atau orang-orang karena identitas bersama/kolektif; Kelompok tertentu; Kolektivitas tertentu.
Penargetan tersebut didasarkan atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender atau dasar lain yang secara universal tidak dibolehkan menurut hukum internasional.
Selanjutnya, tindakan yang menjadi karakter persekusi antara lain pembunuhan, penganiayaan, hingga perbuatan tidak manusiawi yang menyebabkan penderitaan fisik maupun mental.
KAP juga menunjukkan bahwa salah satu karakter persekusi adalah meluas atau sistematis. Pelaku mengetahu bahwa tindakannya bagian dari tindakan yang diniatkan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis.
Pada bagian lain siaran persnya, KAP memperingatkan penanganan yang salah terhadap persekusi tidak akan menyelesaikan masalah. Contoh-contoh penanganan yang salah itu, misalnya, melawan persekusi dengan persekusi danmempidanakan korban persekusi. Seharusnya, menurut KAP, sesuatu yang dianggap kesalahan berkata-kata cukup dibalas dengan meminta yang bersangkutan meminta maaf dan mengklarifikasi. "Apabila belum cukup maka yang bersangkutan dapat digugat secara perdata. Pemidanaan dapat terjadi hanya bila terjadi siar kebencian, itupun pemidanaan harus menjadi the last resort. Menjadikan korban persekusi tersangka hanya memberi sinyal bahwa tindakan mereka adalah benar."
Selanjutnya, KAP meminta pemerintah berhati hati dalam memilah mana yang dianggap persekusi mana yang tidak. Pernyataan pemerintah untuk menyensor, menutup medsos ataupun panduan menangani persekusi menurut KAP, dapat mengaburkan batasan antara persekusi dengan penghinaan, pencemaran nama baik.
Padahal, penghinaan terhadap Presiden, wakil presiden dan pejabat lain melalui putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015 dan putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 merupakan delik aduan sehingga baru dapat dijalankan proses hukumnya apabila yang merasa dihina tersebut mengadukan kasusnya.
Kritik terhadap pejabat negara termasuk Presiden dan wakilnya merupakan bagian dari bagian demokrasi yang dijamin konstitusi dimana rakyat memiliki untuk turut serta dalam pemerintahan.
KAP juga menilai keliru bila mempidanakan seluruh pelaku persekusi tanpa membedakan tingkat keturutsertaan mereka dalam tindakan tersebut. "Mereka yang perlu ditindak adalah yang melakukan kekerasan, pengurangan kemerdekaan orang/penculikan. Terlebih otak yang merancang dan menggerakkan persekusi ini."
Berdasarkan hal-hal di atas KAP menyerukan agar kepolisian fokus pada masalah persekusi yang didalamnya mungkin terdapat siar kebencian dan tidak mencampuradukkan penghinaan, pencemaran nama baik termasuk penghinaan kepada Presiden, wakil presiden dan pejabat ke dalam persekusi.
Diserukan juga agar pemerintah tidak melakukan pembatasan kebebasan berpendapat untuk alasan menyikapi fenomena persekusi.
Negara dalam hal ini Komnas HAM serta Kepolisian diminta untuk melakukan investigasi serius atas persekusi yang terjadi dan mengungkapkan fakta serta aktor di balik persekusi ini.
Sementara itu masyarakat diimbau untuk tidak melakukan persekusi atau membalas persekusi dengan persekusi lainnya. Konflik horizontal hanya akan memecah bangsa dan menimbulkan korban dari semua pihak.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...