RI-Freeport Tak Tanggungjawab Pencemaran Lingkungan di Papua
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Walhi Papua dan Foker LSM Papua, mengatakan Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia (PTFI) tidak bertanggungjawab terhadap pencemaran lingkungan di Timika Papua khususnya di tanah ulayat adat suku Amungme dan Kamoro.
Eksekutif Daerah Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan, mengatakan pada suatu kesempatan pertemuan di kantor Yayasan Lingkungan Hidup (YALI) Papua, PT Freeport Indonesia pernah menjawab sebuah pertanyaan,’siapa yang bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan yang terjadi di area konsesi?’.
Menurut dia, perwakilan Freeport tersebut mengatakan bahwa bukan urusan mereka terhadap persoalan tersebut.
“PT. Freeport merespons pertanyaan itu, melalui seorang perwakilannya, bahwa soal pelanggaran HAM dan pencemaran lingkungan bukan urusan kami (PTFI); itu urusan pemerintah Indonesia,” kata Aiesh Rumbekwan dalam siaran pers, hari Kamis (23/2).
Dia mengatakan, kedatangan dan pertemuan antara PT. Freeport dan YALI Papua tersebut merupakan bagian dari publikasi hasil studi YALI Papua yang menunjukkan adanya unsur logam berat berbahaya di dalam pangan lokal (tambelo) masyarakat Kamoro, yang terdampak limbah tailing.
Tahun 2016, Walhi Papua melakukan monitoring di wilayah pesisir suku Kamoro, Kampung Pasir Hitam. Hasil dialog dengan masyarakat setempat menunjukkan adanya permasalahan tentang akses pemenuhan hidup sehari-hari.
Menurut Aiesh, masyarakat setempat menceritakan bahwa sebelum Freeport melakukan operasi tambang di Papua, aktivitas masyarakat setempat tidak mengalami gangguan. Hasil tangkapan ikan yang dulunya selesai mencari bisa ditinggal tanpa es batu sebelum dibawa ke pasar.
Namun saat ini setelah mencari atau menangkap ikan, jika tidak segera memasukkan es batu (pendingin) maka ikan-ikan tersebut akan membusuk.
“Perairan yang dulunya kami lalui untuk pergi ke pasar menjual (memasarkan) hasil tangkapan tanpa ada masalah, tapi saat ini mengalami kesulitan untuk menyebrang karena wilayah tersebut telah dangkal,” katanya.
Menurut Walhi, pendangkalan ini terjadi sebagai akibat dari limbah tailing sehingga apabila air pasang surut, maka masyarakat akan menunggu air kembali naik untuk membantu mereka menyeberang dengan perahu.
“Untuk menunggu air naik kembali, kami harus menunggu dari pagi hingga siang hari. Dengan kondisi seperti ini beberapa ikan sudah tidak layak dijual (membusuk),” katanya.
Oleh karena itu, Walhi Papua dan Foker LSM Papua, menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia (PTFI) memperbaiki berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di tanah ulayat adat suku Amungme dan Kamoro yang menjadi penerima dampak langsung kondisi lingkungan fisik yang berubah karena eksploitasi pertambangan dari aktifitas PTFI.
“Cerita duka atau permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat seperti yang telah disebutkan di atas merupakan faktanya,” katanya.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...