RIP Uripto Widjaja, Pendiri Perusahaan Elektronika Pertama di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uripto Widjaja (97) ayah dari Oki Widjaja dan Tina Widjaja, pada hari Sabtu Sunyi, 03 April 2021 sekitar jam 20.45 meninggal dunia di RS Abdi Waluyo, Menteng Jakarta.
Kebaktian Penghiburan untuk Keluarga almarhum Uripto Widjaja dilayani oleh MJ GKI Samanhudi dalam koordinasi dengan BPMSW, BPK PENABUR dan UKRIDA pada hari Minggu (4/4/2021).
Uripto dilahirkan di Blinyu, pulau Bangka, Sumatera Selatan pada tanggal 2 Juni 1924. Anak kedua dari pasangan Oey Khie Djien dan Kong Ngim Tjia ini hidup sederhana.
Ayahnya bekerja sebagai pengrajin timah. Keluarganya pindah ke Palembang dan Lampung untuk memperbaiki ekonomi.
Pada umur 6 tahun, Uripto harus berpisah dengan keluarga dan dikirim ke rumah pamannya di Serang untuk sekolah dasar karena di Kotabumi, Lampung belum ada SD.
Uripto lalu melanjutkan SMP di Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, sekolahnya terhenti dan ia kembali ke Serang.
Begitu perang Asia-Pasifik usai, Uripto melanjutkan sekolah di SMA Perniagaan, namun tidak sempat selesai karena kesulitan keuangan.
Dari Reparasi ke Perakit
Sebagai pemuda putus sekolah, dia harus mulai mencari nafkah. Waktu itu, Uripto memiliki uang sebanyak 700 gulden yang didapatkannya dengan berdagang obat-obatan dengan tentara sekutu.
Rajin, jujur, hemat, dan kalau perlu pelit. Itulah resep kesuksesan Uripto Widjaja,
Pendiri Galva, perusahaan elektronika pertama di Indonesia itu bersama dengan dua temannya, Uripto merintis usaha ini dari nol, mengalami jatuh-bangun hingga akhirnya menjadi perusahaan dengan 4000 karyawan.
Uripto menggandeng Subrata Pranatadjaja dan Okar Senda untuk berkongsi di dalam Firma Radio dan Electric Servis Galva. Nama Galva terinspirasi dari Luigi Galvani (1737-1798), seorang ilmuwan kelistrikan berkebangsaan Italia.
Mereka menyewa bangunan tua di Jl. Hayam Wuruk 27, berukuran 8 meter x 4 meter. Selain sebagai tempat usaha, ruang itu juga untuk tempat tinggal Uripto dan kawan-kawan.
Galva memulai usahanya dengan serba sederhana. Meja dan tulis dibeli yang bekas. Sedangkan meja kerja untuk reparasi dibuat sendiri. Alat ukur yang dipakai hanya multimeter, itu pun hasil dari pinjaman teman.
Meski begitu, Uripto menjalaninya dengan penuh rasa suka, tanpa mengeluh. Pekerjaan mereka adalah mereparasi radio.
“Waktu itu, ada banyak radio yang diputus kumparannya oleh tentara Jepang. Tujuannya agar radio itu hanya menerima siaran dari radio pemerintah pendudukan Jepang,” jelas Uripto.
Mereka memperbaikinya sehingga dapat menerima pancaran siaran gelombang lain. Dia menekuni pekerjaan dengan sungguh-sungguh.
“Kalau di tempat lain servis itu bisa dua atau tiga hari, maka di tempat saya bisa lebih cepat. Kalau bisa diselesaikan dalam 2 atau 3 jam mengapa harus dibuat berlama-lama?” jelas Uripto dengan bersemangat.
Selain reparasi, mereka juga mendapatkan uang dengan jual-beli radio bekas yang diproduksi sebelum Perang Dunia II. Biasanya mereka membeli radio dari orang Belanda yang pulang ke negeri kincir angin itu.
Untuk itu, mereka mencari informasi itu dari iklan “Te Koop” yang dimuat di koran Java Bode dan Nieusgier.
“Jika menunggu koran beredar di tempat umum, maka barang itu bisa dibeli orang lain lebih dulu. Maka saya menunggu di depan kantor redaksi yang tidak jauh dengan tempat usaha saya,” kenang Urpto.
Koran biasanya terbit pukul 15.00. Dengan menyanggong di kantor redaksi, maka Uripto bisa berada di lokasi pemasang iklan lebih cepat daripada yang lain.
Cara lain adalah membeli barang elektronik dari importir, yang kemudian dibawa Uripto ke Sumatera dan Kalimantan dengan menumpang kapal.
Pulang ke Jakarta, dia membawa radio-radio rusak yang tidak dapat diperbaiki oleh teknisi setempat. Radio-radio yang sudah diperbaiki ini kemudian dijual kembali.
“Untungnya banyak,” kata Uripto tergelak.
Hingga tahun 1955, Philips adalah satu-satunya perusahaan yang merakit barang elektronik. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan izin merakit bagi perusahaan nasional.
Salah satu izin diberikan kepada Paramo, milik keluarga Kunto. Pada waktu itu, Kunto adalah Direktur Bank Indonesia. Karena tidak memiliki pengetahuan di bidang elektronika, maka Paramo menggandeng Galva sebagai perakit. Pekerjaan perakitan pertama dalam bentuk radio completely-knock-down yang dikerjakan di bekas pabrik tapioka.
Dalam perkembangannya, keluarga Kunto tidak berminat pada bisnis perakitan radio ini. Maka Galva mengambil alih pekerjaan ini. Dua tahun kemudian, Galva naik kelas dari perakit menjadi pembuat radio.
Mereka memproduksi 500 unit radio yang diberi nama Galindra, singkatan dari Galva Industri Radio. Kesuksesan ini diikuti dengan kesuksesan lainnya, sehingga Galva bisa mempekerjakan lebih banyak orang.
Krisis
Selepas peristiwa G 30 S/PKI, iklim usaha memburuk. Angka inflasi meroket tinggi, rupiah terpuruk dan sulit mendapat jatah devisa. Saat itu Galva memiliki cukup banyak mata uang dollar. Mereka tergiur untuk terjun di bidang agribisnis yang sebenarnya tidak mereka kuasai. Mereka berharap meraup devisa dari hasil ekspor kayu, kopra dan karet.
Seperti pepatah “harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”, Galva justru mengalami kerugian yang besar. Keuangan mereka tergoncang. Bahkan pihak bank nyaris melelang seluruh aset Galva untuk membayar hutang.
“Krisis itu sebenarnya salah saya sendiri. Saya sudah diberi banyak oleh Tuhan di bidang elektronik, tetapi malah cari duit di bidang lain yang bukan kerjaannya. Saya ditegur Tuhan karena tidak berterimakasih,” kata Uripto mengakui kesalahnnya.
Pelajaran yang dipetik dari Uripto dari krisis ini adalah pentingnya untuk menekuni core business.
“Kalau mau masuk bidang lain, maka core business itu jangan ditinggalkan,” sarannya.
Uripto mengambil analogi sekolah.
“Krisis itu seperti ujian. Kalau ingin naik kelas, maka kita harus lulus ujian. Sekali-sekali kita perlu diuji. Dalam bahasa Tionghoa, kata untuk krisis adalah wei chi. Wei itu artinya kesusahan atau bahaya. Chi itu kesempatan. Artinya, ada kesempatan di dalam kesempitan,” jelas pendiri sekolah Pahoa di Gading Serpong ini.
Uripto melanjutkan,“Kalau tidak ada kesempitan maka tidak ada kesempatan. Lihat saja pada negara yang aman. Di sana kesempatan untuk mendapatkan uang itu susah. Namun pada negara yang dalam bahaya, kesempatan untuk mendapatkan uang juga lebih banyak. Namun demikian risiko bahayanya juga lebih besar. Itu sebabnya kita perlu pintar dalam menempatkan diri.”
Selanjutnya Uripto memberikan saran bagi pengusaha-pengusaha muda.
“Modal utama dalam berusaha itu adalah rajin, hemat, pintar dan jujur. Dalam falsafah Tionghoa ada kata-kata Lie Ie Liensen. Artinya, seorang pengusaha harus memiliki tata krama, berjiwa ksatria, enggan melakukan hal yang tidak baik pada orang lain dan merasa malu jika telah berbuat salah,”tuturnya.
Pelayanan
Setelah membidani dan membesarkan Galva selama 50 tahun, Uripto menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Oki Widjaja dan Tina Widjaja, anak-anaknya.
Apakah tidak khawatir menyerahkan perusahaan pada anak, mengingat banyak perusahaan keluarga yang ambruk setelah dikelola generasi berikutnya?
“Saya sudah lama menyiapkan mereka. Saya tunjukkan kepada mereka bagaimana bapak mereka bekerja. Mereka bisa lihat sendiri apakah bapak mereka itu jujur atau tidak. Apakah saya bekerja dengan baik atau tidak. Kenyataannya, setelah dipimpin oleh Oki, jumlah karyawan yang semula hanya 1000 orang meningkat menjadi 4000 orang,” jelasnya dengan bangga.
Meski telah pensiun, bukan berarti aktivitasnya berkurang. Uripto tetap aktif di bidang pelayanan yang sudah dilakoninya sejak tahun 1961.
Mula-mula dia terlibat di bidang pendidikan. Motivasinya sederhana. “Saya ingin anak-anak saya dididik dengan baik,” jelasnya.
Awalnya dia mencari sekolah SD untuk anaknya, Tina Widjaja. Dia mendaftarkan Tina ke SD Santa Maria, namun ditolak karena tidak beragama Katolik. Akhirnya, Tina bersekolah di SD Kristen Pembangunan.
Setelah dibaptis di GKI Kelinci (sekarang GKI Samanhudi), Uripto dipercaya oleh gereja untuk menjadi wali penghubung di BPK PENABUR kompleks Pembangunan. Saat itu kondisi sekolah memprihatinkan.
“Gaji guru hanya cukup untuk seminggu. Gedungnya jelek kalau tertiup angin bisa ambruk,” kenangnya. Uripto lalu mengumpulkan para orangtua murid.
“Kalau kalian ingin anak-anak kalian pintar, maka kita harus menyejahterakan guru lebih dulu. Bagaimana mungkin mereka bisa berkonsentrasi mengajar jika mereka harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup?” kata Uripto.
Gayung pun bersambut. Para orangtua dan pengelola sekolah bahu-membahu untuk membenahi sekolah.
Semangat perubahan itu bergulir di sekolah-sekolah yang dikelola oleh BPK PENABUR. Para pengurus punya kerinduan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada para murid. Maka tak heran kalau BPK PENABUR menjadi pelopor dalam berbagai bidang.
“Pada tahun 1960-an, mana ada sekolah yang sudah memiliki bimbingan konseling yang dipimpin oleh profesor Singgih Gunarsa, selain di PENABUR? Di mana ada sekolah yang mempunyai dokter untuk memeriksa kesehatan siswa selain di PENABUR,” tutur Uripto dengan bangga.
Dengan pemeriksaan psikologis maka siswa dapat diarahkan untuk memilih jurusan yang tepat. Demikian juga dengan adanya pemeriksaan kesehatan maka diketahui siswa-siswa yang mengalami kesulitan belajar karena gangguan kesehatan.
Sekolah kejuruan PENABUR juga menjadi sekolah pertama di Indonesia yang memiliki laboratorium bahasa dan fasilitas audio visual.
“Semua upaya ini bukan karena kami berambisi menjadi sekolah favorit. Kami hanya ingin melayani anak-anak dengan sebaik-baiknya. Kalau anak diperhatikan dengan baik, maka para orangtua merasa senang menyekolahkan anak mereka di sini. Dengan demikian status favorit itu adalah akibat dari pelayanan kami, namun bukan tujuan utama,” katanya.
Pembenahan itu tak selamanya berjalan mulus. Kadang ada kerikil yang mengganggu. Contohnya, pernah beredar rumor bahwa Uripto menggunakan uang SPP untuk kepentingan Galva.
“Mereka tidak tahu bahwa Galva justru yang mengeluarkan untuk menalangi gaji guru dan karyawan,” terang Uripto.
Ia berkisah, karena kesulitan keuangan, para guru dan karyawan biasanya menerima pembayaran gaji dengan cara dicicil. Hal itu karena pihak sekolah menunggu setoran uang SPP dari siswa.
Karena prihatin dengan kondisi ini, maka Kentjana Widjaja, abang Uripto, membayarkan gaji mereka lebih dulu dengan menggunakan uang perusahaan.
“Setelah SPP siswa terkumpul, maka barulah uang itu disetorkan ke Galva untuk mengembalikan dana talangan. Namun orang-orang hanya melihat penyetoran ke Galva ini saja sehingga mereka mengira bahwa uang sekolah digelapkan oleh Galva,” lanjut Uripto sembari tersenyum.
Rumor itu akhirnya mereda setelah Uripto menjelaskan duduk perkaranya pada sidang klasis.
Selepas membenahi BPK PENABUR, kini Uripto bergiat di yayasan Oikumene-PGI yang berusaha menyelamatkan dan memberdayakan aset-aset PGI.
Uripto berhasil menyulap Wisma PGI di jalan Teuku Umar menjadi tulang punggung pendanaan PGI. Selain itu juga telah membenahi Pondok Remaja di Cipayung dan Salib Putih, Salatiga.
Masih di bawah payung yayasan ini, Uripto kini sedang melapisi telaga-telaga di Gunungkidul dengan bahan yang tahan bocor sehingga dapat menampung air hujan sebagai sumber air minum.
Memasuki usia senjanya, Uripto tetap bugar kadang masih menekuni olahraga renang, golf dan fitness. Apa rahasia kebugarannya?
“Kesehatan tubuh itu anugerah Tuhan. Kita harus menjaganya dengan baik. Caranya adalah dengan pola hidup teratur: 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk tidur dan 8 jam untuk rekreasi.”
Di usia 88 tahun, Uripto masih bersemangat dan memiliki ingatan yang jernih saat berbincang-bincang dengan Griya Kreasi Indonesia di Wisma PGI seperti dilansir dari gemakreasimagz.blogspot.com.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...