Ritual “Panas Gandong”, Integrasi Sosial di Maluku
AMBON, SATUHARAPAN.COM – Jarum jam menunjukkan pukul 4.15 WIT, 18 Maret 2014, ketika pengeras suara pada kapal ferry yang ditumpangi mengingatkan kami bagi pendaratan di pantai Negeri Rumahkay, Pulau Seram. Seketika kesibukan terlihat saat 750-an warga Negeri Rutong bergegas mempersiapkan diri. Baik wanita maupun pria dengan sigap mengganti pakaiannya dengan “baju cele” merah berkotak-kotak. Anak-anak dan para bayi dikenakan juga pakaian serupa. Sementara itu sekelompok musisi tifa dan totobuang dengan antusias memainkan lagu-lagu persaudaraan rakyat Maluku. Kapal ferry yang bertolak pada jam 3.00 dari dermaga Negeri Tulehu di Pulau Ambon secara perlahan melambatkan jalannya. Hari masih terlalu pagi bagi kami untuk merapat ke pantai Negeri Rumahkay, namun hal itu tak mengurangi antusiasme warga Negeri Rutong untuk menyatukan identitas mereka. Pakaian, warna, music yang ritmis adalah elemen-elemen pengikat untuk meneguhkan identitas sebagai “Gandong Ade,” yang akan segera berjumpa dengan “Gandong Kaka” dari Negeri Rumahkay.
Ritual “Panas Gandong” Sebagai Instrumen Integrasi Sosial
Ritual Panas Gandong merupakan seremoni adat yang biasanya dilakukan antara dua atau lebih negeri adat di Maluku (terutama di Maluku Tengah). Ritual ini bertujuan untuk menghangatkan kembali relasi mereka sebagai “Orang Basudara/barsaudara” yang percaya bahwa leluhur mereka berasal dari kandungan/gandong yang sama. Dalam relasi gandong, warga negeri Rutong merupakan adik/ade dari warga Negeri Rumahkay. Awalnya leluhur mereka merantau meninggalkan Negeri Rumahkay, kemudian menetap dan beranak pinak di pesisir Timur Pulau Ambon, yang kini menjadi Negeri Rutong. Hubungan basudara harus tetap terjaga, dan ritual Panas Gandong adalah pengikat yang menyekutukan mereka.
Bagi banyak negeri adat di Maluku, relasi Gandong adalah ikon integrasi sosial. Panas Gandong merupakan elemen penanda sekaligus pengingat yang mengokohkan ikatan sosial mereka sebagai orang-orang bersaudara. Dalam dinamika ini orang-orang di Maluku menandai identitas ke-Maluku-annya sebagai yang utama, sebelum identitas-identitas lainnya, termasuk agama. Kearifan lokal ini tetap terjaga. Ia bahkan tak terhancurkan saat konflik “orang Basudara” memorak-porandakan negeri ini di masa lalu. Ketika konflik menggila di tahun 1999-2003 kita tetap bisa menemukan aktivitas-aktivitas tersembunyi antara negeri-negeri adat beragama Muslim dan Kristen yang terikat dalam hubungan gandong. Oleh beberapa lembaga yang bergerak dalam aktivitas resolusi konflik, relasi gandong diadopsi secara maksimal sebagai salah satu elemen pengikat yang mendorong percepatan reintegrasi sosial pascakonflik. Sekalipun relasi gandong secara eksklusif hanya menjadi tali integrasi bagi dua atau lebih negeri adat (yang sama atau berlainan agamanya), namun pola relasi ini dimanfaatkan untuk memperbanyak kumpulan energy positif (circle of trust and peace) yang pembesaran radiasinya dibutuhkan dalam upaya reintegrasi sosial pada masyarakat yang terbelah berdasarkan garis agama.
Dari Memori Bersama Menuju Tindakan Bersama
Kekuatan integrasi sosial dalam ritual panas gandong terletak pada penguatan memori-memori bersama sebagai orang bersaudara. Mengawali perjalanannya ke Negeri Rumahkay, masyarakat Rutong telah menggelar serangkaian prosesi adat di negerinya untuk mengingatkan asal muasal mereka menempati Negeri Rutong. Hal serupa dilakukan oleh masyarakat Negeri Rumahkay. Ketika beberapa “motor ikan” Negeri Rumahkay datang menjemput dan melakukan atraksi “Bailele” (mengelilingi kapal ferry dan angkutan laut lainnya yang membawa seribuan warga Negeri Rutong) terhadap gandong ade Negeri Rutong, sontak kedua saudara secara berbalasan melantunkan secara lagu orang bersaudara. Warga Negeri Rumahkay menyanyikannya dari kapal penjemput, berbalasan dengan warga Rutong yang mendendangkannya dari kapal-kapal mereka.
Seluruh detail yang terangkai dalam prosesi adat panas gandong membentuk struktur pengingat yang meneguhkan memori bersama orang bersaudara antara Rutong dan Rumahkay. Elemen-elemennya tampak pada lagu-lagu dan pantun adat yang dinyanyikan secara ritmis, repetitive dan berbalasan oleh kelompok “Jujaro-Ngungare” (muda-mudi) Rutong dan Rumahkay. Ia tergambar pula pada kelompok “Mataina” (ibu-ibu yang telah menikah) Rutong yang membawa keranjang-keranjang tertutup berisikan “barang-barang adat,” untuk diserahkan kepada saudara gandong kaka, Negeri Rumahkay. Sambutan mataina Negeri Rumahkay yang melilit dan mengantar prosesi ade-kaka dalam balutan “kain gandong” (kain putih panjang yang biasanya dipegang ibu-ibu untuk menyambut, melingkari dan mengantarkan prosesi adat menuju suatu tempat tertentu) merupakan elemen lain dalam detail prosesi adat, yang menyatukan ingatan Rutong-Rumahkay terhadap ikatan persaudaraan yang telah ditegakkan para leluhur. Arak-arakan prosesi adat Rutong-Rumahkay mencapai puncaknya ketika mereka diantar memasuki “Baileo” (rumah khusus tempat musyawarah adat) Negeri Rumahkay. Di Baileo, barang-barang adat diserahkan dan relasi gandong memperoleh peneguhan seutuhnya. Di Baileo pula, musyawarah adat dilangsungkan untuk membicarakan aksi-aksi bersama yang melibatkan tanggung-jawab kedua negeri bersaudara.
Segera setelah berakhirnya prosesi adat di rumah Baileo, ‘loudspeaker’ Negeri Rumahkay mengumumkan persiapan pelaksanaan peletakan batu pertama kantor Negeri Rumahkay. Aktivitas bersama dimulai dengan melibatkan kedua negeri gandong dalam suatu keharusan adat sebagai orang bersaudara. Dalam relasi orang basudara, proses saling membantu dalam menghadapi musibah maupun pembangunan bersama adalah kewajiban tidak tertulis untuk dipatuhi negeri-negeri adat yang terikat dalam hubungan gandong maupun Pela (berbeda dengan gandong, hubungan Pela tidak berbasis pada relasi sekandung. Ia merupakan pakta persaudaraan yang diangkat oleh dua negeri karena suatu peristiwa tertentu di masa lampau).
Bekerja-sama dan saling membantu adalah keharusan dan kepatutan etika gandong di Maluku. Saat berlangsungnya proses renovasi gedung gereja Negeri Ullath di Pulau Saparua beberapa bulan yang lalu, negeri-negeri adat di Pulau Buano yang beragama Islam mengantarkan material kayu bagi gereja dalam suatu proses adat menuju gedung gereja Negeri Ullath. Hal ini merupakan kewajiban adat mereka sebagai negeri-negeri Pela dari negeri Ullath. Tindakan serupa tampak ketika Negeri Batumerah di Kota Ambon melakukan pemasangan tiang alif pada masjid mereka. Dalam peristiwa itu warga Negeri Ema yang beragama Kristen, dan terikat dalam relasi gandong dengan Batumerah, memiliki keharusan adat untuk bersama-sama melakukan pemasangan tiang alif masjid. Melanggar kewajiban-kewajiban adat untuk saling menolong dalam relasi gandong (maupun Pela), dipercaya akan membawa petaka bagi kedua negeri bersaudara.
Ritual Panas Gandong tidak saja menjadi elemen penguat memori bersama bagi Negeri Rutong dan Negeri Rumahkay. Ia menjadi instrument pengingat bagi kita untuk tidak melupakan betapa kayanya kearifan-kearifan lokal yang kita miliki. Kearifan-kearifan lokal yang pada gilirannya menyediakan bagi kita modal sosial yang sangat kaya untuk mengelola kemajemukan kita. Rekonstruksi dan revitalisasi lalu menjadi pekerjaan kebudayaan yang harus terus menerus dilakukan oleh para perumus kebijakan publik. Tindakan ini penting dilakukan untuk mentransformasi kekayaan modal sosial ini menjadi etika bersama di ruang publik.
Editor : Bayu Probo
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...