RMI-NU Ajak Jadikan Pesantren Pilihan Utama Pendidikan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Gerakan Nasional Ayo Mondok, KH Luqman Harits Dimyati, mengatakan gerakan yang dicanangkan itu merupakan ikhtiar kalangan pondok pesantren di Tanah Air, khususnya yang tergabung dalam Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU), untuk mengajak masyarakat menjadikan pesantren sebagai pilihan utama bagi pendidikan putra-putrinya.
"Gerakan ini merupakan upaya serius para pengasuh pesantren untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa pesantren bukan sekadar alternatif, namun menunjukkan pesantren adalah lembaga pendidikan unggulan, baik dari segi prestasi akademik maupun dari segi kemampuan manajerial, leadership, dan networking," kata Luqman di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin (1/6).
Pesantren, seperti dikemukakan Luqman, mewarisi tradisi keislaman Wali Songo yang menyebarkan Islam damai, santun, toleran, dan sangat menghormati tradisi lokal.
"Sebagaimana Wali Songo, pesantren selalu mengedepankan akhlaqul karimah. Di pesantren, para kiai membimbing para santri untuk mendalami dan mengamalkan nilai-nilai keislaman yang berpadu dengan tradisi, budaya, dan kearifan lokal, sehingga menghasilkan pribadi-pribadi yang cinta Islam, berkomitmen penuh terhadap NKRI, toleran dalam beragama, dan menyebarkan Islam rahmatan lil'alamin," kata dia.
Dakwah Wali Songo, seperti dikatakan Luqman, pada hakikatnya proses pendidikan umat yang dilestarikan pesantren. Karena itu, pendidikan pada dasarnya bukan sekadar transfer ilmu. Pendidikan adalah proses membina generasi menjadi pribadi mandiri, matang, dan dewasa, baik secara intelektual, sosial, maupun spiritual.
"Pendidikan membangun generasi yang berkarakter. Nah, sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan tersebut. Prestasi akademik menjadi obsesi utama mencari uang, nyaris abai dalam membangun karakter," kata dia.
Dengan kecenderungan demikian, tidak mengherankan pelajar maupun mahasiswa terlibat dalam tawuran, minum minuman keras, dugem, narkoba, sebagaian pernah berhubungan seks pranikah, curang dalam ujian nasional, dan semacamnya," dia menambahkan.
Untuk itu, kata Luqman, sebagian pesantren tetap konsisten dengan salafiyah (tradisional) murni, yakni hanya mendalami kitab kuning yang berisi khazanah keislaman klasik.
"Pesantren semacam ini jumlahnya cukup besar, lebih dari 30 persen dari total 27.230 pesantren (data Kemenag tahun 2012, Red). Pesantren-pesantren inilah yang menghasilkan ulama-ulama besar yang disegani berkat penguasaan khazanah keislaman yang sangat dalam," katanya.
Karena itu, kata Luqman, dengan adanya Peraturan Meteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014, Nomor 18 Tahun 2014, lulusan pesantren (dengan persyaratan tertentu) diakui sederajat dengan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (SMP), dan Madrasah Aliyah (SMA), sesuai dengan level pencapaiannya.
"Lulusan pesantresn bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (termasuk ke perguruan tinggi negeri). Dengan kebijakan itu, lulusan pesantren punya akses luas untuk bisa melanjutkan pendidikannya tanpa terhambat problem administratif seperti sebelumnya," katanya.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...