Robert Robianto dalam Kenangan Keluarga: Pelayanan hingga Akhir Hayat
SATUHARAPAN.COM – Melayani hingga akhir hayat. Kalimat itu, memang, yang paling pas dan pantas dikemukakan jika mengenang sosok Ir Robert Robianto. Satu bulan lalu, 29 Januari 2018, Tuhan memanggilnya, pada usia 59 tahun, meninggalkan berjuta kenangan, sekaligus teladan atas karya pelayanannya.
Pelayanan, secara khusus kepada Gereja Kristen Indonesia (GKI), baik tenaga, waktu, dan pikiran, telah menjadi bagian dari kehidupan Robert sejak usia muda. Pdt Suta Prawira dari GKI Gunung Sahari, dalam tulisan yang bisa dibaca di media sosial, menggambarkan karya pelayanan Robert sebagai: “…memberi diri bagi Tuhan di usia muda, ketika karier belum begitu mapan, ketika banyak orang masih disibukkan urusan karier dan rumah tangga. Robert menyambut panggilan Tuhan untuk memberi dirinya bekerja di ladang Tuhan…”
Pelayanan total itu juga digambarkan Anita Robianto, istrinya. Bahkan dalam keadaan terbaring di rumah sakit di hari-hari terakhirnya, Robert masih bertanya, adakah urusan surat-surat Penabur (Badan Pendidikan Kristen Penabur, di dalam berbagai dokumen dan situs web resmi dituliskan dengan “PENABUR”, memakai huruf kapital, berkaitan dengan hak cipta, Red), tempat ia melayani sebagai ketua umum yayasan, dan surat-surat lain, yang masih harus ia tandatangani.
Tanggung jawab atas pekerjaan, menjadi nilai yang paling dikenang Christopher Robianto, anak ketiga, dan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga Robert Robianto.
“Papi menunjukkan tanggung jawabnya hingga akhir hayat. Penyakit tidak membuatnya lemah dan tidak berdaya. Ia bukan orang yang terbaring diam dalam penderitaannya, tak berdaya, atau putus asa. Ia tidak menyerah, otaknya masih terus bekerja sampai detik terakhir hidupnya,” kata Christopher, dalam perbincangan di rumah keluarga di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, 17 Februari lalu.
Disiplin, Bertanggung Jawab, Jujur, Berbagi
Tiga anak Robert Robianto, yakni Caroline Robianto, Clara Janice Robianto, dan Christopher Robianto, bersepakat mengenang ayahnya sebagai sosok yang bertanggung jawab, disiplin, dan jujur. “Nilai-nilai itu yang juga ia tanamkan kepada kami sejak kecil,” kata Caroline.
Disiplin, tidak memboroskan waktu, dalam wujud tidak boleh membolos, menjadi bagian dari kehidupan anak-anak sejak kecil. “Pilek, batuk pun, harus tetap ke sekolah. Baru boleh tidak ke sekolah kalau ada surat dokter,” Caroline dan Clara mengenang, sambil tertawa.
“Itu pun benar-benar dilihat. Kalau memang harus tinggal di tempat tidur, baru tidak usah pergi ke sekolah. Tapi kalau dilihat sudah tidak perlu tinggal di tempat tidur, ya harus bersekolah,” Christopher menambahkan, bersahut-sahutan dengan dua kakaknya.
Caroline mengenang ayahnya acap kali mengingatkan untuk tidak memboroskan waktu, hidup terlalu santai. “Ia menggambarkan masa kecilnya, yang sekolah saja susah. Jadi, kami yang mendapatkan kesempatan baik tidak boleh membuang-buang waktu,” katanya.
“Saking disiplinnya, kadang terdengar lucu. Kami sekeluarga punya tradisi berlibur bersama satu tahun sekali ke luar negeri. Nah, bahkan pada hari keberangkatan, kalau misalnya dapat penerbangan sore hari, pagi hari pun kami masih harus pergi ke sekolah,” Clara dan Caroline bersahut-sahutan mengenang.
Walau menilai ayahnya bukan sosok yang romantis, yang menunjukkan kasih sayang langsung dengan sentuhan, tiga anak mengakui ayahnya memberikan perhatian dalam bentuk yang lain. Sabtu dan Minggu adalah hari khusus keluarga.
Setiap hari Minggu, Robert Robianto membawa istri dan anak-anaknya ke gereja, GKI Gunung Sahari di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, walaupun, seperti kata Clara, ada GKI yang lebih dekat dari Kedoya. “Pagi-pagi ia rajin mengetuk kamar-kamar kami, membangunkan, untuk bersama-sama pergi ke gereja,” kata Caroline. Tak ada alasan mencari “bonus” bangun sedikit terlambat karena sebelumnya, misalnya, menghabiskan malam Minggu hingga larut.
“Harus ke gereja bersama-sama. Pagi hari. Baru sepulang dari gereja ia membebaskan kami jika ingin jalan dengan teman-teman,” kata Clara.
Walaupun bukan ayah yang humoris dan romantis, Clara mengingat ayahnya sesekali melucu. Ia ingat ulang tahun istri dan anak-anaknya. Memiliki tradisi bertukar kado di hari Natal, ia memberikan kado yang bersifat personal.
Robert, menurut ketiga anaknya, juga memberikan perhatian dalam bentuk menyediakan waktu berdiskusi. “Ia memberi kebebasan kepada kami untuk memilih karier. Ia tidak pernah melarang kami dalam hal memilih pacar. Tetapi, ia lebih memberikan pandangan kepada kami, yang akhirnya kami sendiri dapat menimbang baik-buruknya,” kata Caroline dan Clara.
Nilai yang tak kalah penting yang anak-anak teladani dari ayahnya adalah berbagi kepada sesama. Caroline dan Clara mengingat pesan itu sering didengungkan ayahnya sedari mereka kecil.
Membagikan Pengetahuan Pengobatan
Robert kecil tidak pernah sakit menurut kesaksian Syane, ibu Robert Robianto, seperti kenangan yang ditulis Pdt Suta Prawira, dalam tulisan yang beredar di media sosial.
“Robert adalah anak yang hampir tidak pernah sakit dan tidak pernah mengeluh.”
“Pernah sakit panas waktu kelas 2 SD, lalu saya memasak gula merah dicampur kanji, Robert sembuh!!!”
“Robert adalah anak yang ulet, ketika orangtua tidak bisa membiayai kuliah, setelah lulus SMA Robert bekerja di toko beras… dan setiap akhir bulan ia selalu pulang membawa beras, takut adik-adiknya tidak bisa makan…”
Robert anak pertama dari tujuh bersaudara. “Ia yang membuka jalan bagi keluarga, dan juga kami hingga bisa menjadi seperti sekarang ini,” kata Anita, yang berkenalan dengan Robert ketika sama-sama aktif di GKI Gunung Sahari.
“Dia itu jadi inspirasi. Kami bangga dengan teladannya. Dia rendah hati. Tidak memikirkan untuk diri sendiri. Dia paling suka datang ke kedukaan. Di mana pun, kalau bisa hadir, dia akan hadir,” Anita mengenang.
Ketika divonis menderita kanker nasopharynx pertama kali pada awal tahun 2012, alih-alih mengurangi pekerjaan, pelayanannya justru bertambah, menurut penuturan Anita. Ia meyakinkan keluarga bahwa ia sanggup melaksanakan tugas itu dan tahu batas kemampuannya. “Ia seakan ingin memborong semua pekerjaan harus cepat diselesaikan. Bahkan dalam keadaan kesakitan pada akhir-akhir masa hidupnya, ia tidak bisa dipengaruhi untuk mengurangi pekerjaan, dan selalu mengatakan bisa melaksanakannya,” Anita kembali mengenang.
Menjalani pengobatan dengan disiplin, Robert dinyatakan sembuh. Namun, pada 2017, ia terdeteksi kanker lagi. Robert, yang tidak pernah menyerah melawan penyakitnya, rajin mencari informasi tentang upaya pengobatan terbaik baginya. Tetapi, meminjam penggambaraan Caroline, Robert memilih pengobatan yang tidak mengharuskannya tinggal lama di rumah sakit.
Selain rajin mengupayakan pengobatan, Robert menuruti Anita yang memintanya untuk menjaga asupan makanan sehat. “Dia selalu membawa bekal. Rapat di mana pun, bahkan rapat di Bandung, ia membawa bekal. Satu container. Dan, tidak pernah makan jajan di luar,” kata Anita, yang mendapat julukan manis “Suster Anita” atas upayanya merawat sepenuh hati suaminya.
Ia tetap beraktivitas seperti tidak sedang mengidap sakit. Rajin “berburu” pengobatan terbaik, dan bahkan rajin membagikan pengetahuan baru ke teman-temannya dengan bersemangat, seperti menceritakan penyakit orang lain, bukan penyakit dia.
Sesudah berobat ke Jepang, Robert sempat menjalani detoks di Thailand, yang mampu mengurangi sebagian rasa sakitnya. Pada suatu hari Minggu di bulan Januari 2018, sebelum berpulang, Robert seperti biasa mengajak keluarganya ke gereja. “Tidak seperti biasa, ia mengajak untuk cepat pulang. Biasanya kami harus menunggui ia menyalami banyak orang di gereja. Benar, ia memang begitu kesakitan setiba di rumah,” Caroline mengenang.
Pelayanan hingga Akir Hayat
Rekam jejak pelayanan Robert Robianto di dunia pendidikan Kristen di lingkungan GKI tercatat sejak tahun 2002 ketika dipercaya menjabat Ketua Umum Yayasan BPK Penabur, hingga 2006. Saat itu, ia, yang owner sekaligus pemimpin di PT Binareksa Tatamandiri, rekanan bisnis dari perusahaan komputer IBM, masih menjadi Ketua I Bidang Oikmas BPMSW GKI SW Jawa Barat, periode 1999-2003.
Seusai mengetuai Yayasan BPK Penabur, Robert mengemban tanggung jawab sebagai Ketua BPK Penabur Jakarta, 2006-2010, jabatan yang kembali ia pegang pada periode 2010-2014. Dalam buku The Amazing Journey BPK Penabur Jakarta, Robert Robianto sempat mengungkapkan kegentarannya memimpin BPK Penabur Jakarta yang keduanya kalinya, mengingat peran pentingnya. Namun, ia bersyukur dikaruniai rekan pengurus yang sehati, sepikir, sepenanggungan, yang ia sebut dream team. Masa kepemimpinan pada periode kedua itu ia sebut periode emas, masa indah yang selalu tercatat di relung hati. “Mari kita bersatu hati untuk mewujudkan BPK Penabur yang semakin baik, semakin admired,” tulis Robert dalam kata sambutan buku tersebut.
Di sela-sela kesibukan mengelola BPK Penabur Jakarta, ia dipercaya menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Pendidikan Kristen (MPK) 2007-2011, Anggota Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Maranatha (2008-2013), Ketua Yayasan Lembaga Perguruan Tinggi Theologi Indonesia (2009-2013), Ketua Badan Penasihat Majelis Pendidikan Kristen (2011-2016). Di luar dunia pendidikan, ia dipercaya menjadi pengurus Yayasan Kesehatan PGI Cikini (2010-2015).
Selepas dari jabatan Ketua BPK Penabur Jakarta, pada 2014, Robert mengemban tugas kembali menjadi Ketua Umum Yayasan BPK Penabur. Masa jabatan itu berakhir tahun 2018 ini, namun Tuhan telah memanggilnya sebelum karya pelayanannya usai. Masih berkaitan dengan BPK Penabur, Robert juga dipercaya mengemban tugas menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Alumni Penabur Indonesia (Alpenindo), periode 2017-2022.
Rekam jejak pelayanan Robert di lingkungan gereja ternyata diawali jauh sebelum itu. Pdt Suta Prawira mencatat Robert menjadi penatua pada usia 36 tahun. “Berarti, sebelumnya ketika ia menjadi penatua di GKI Pasirkaliki, Bandung, tentu jauh lebih muda lagi,” tulis Pdt Suta Prawira.
Robert meneruskan pendidikan di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, di Fakultas Teknik Sipil begitu lulus dari SMAK 1 Penabur. Demi tidak ingin merepotkan orangtuanya, ia berkuliah sambil mengajar, di antaranya di sebuah sekolah Kristen di Bandung.
Kesempatan Berfoto Bersama
Berefleksi pada perjalanan kehidupan ayahnya, Caroline, Clara, dan Christopher memahami jika ayahnya selalu menekankan pentingnya pendidikan. “Sambil menggambarkan betapa dulu ia bersusah payah agar dapat bersekolah, ia menekankan betapa pentingnya bersekolah bagi kami, yang mendapat kemudahan untuk bisa bersekolah,” kata Caroline.
Berpulangnya Robert Robianto juga membukakan mata hati anak-anak, gambaran menyeluruh dari sosok ayah. Bukan hanya mereka, tetapi begitu banyak orang yang juga merasa kehilangan, yang dapat mereka lihat dan ikut rasakan selama masa perkabungan.
Masing-masing merasa kehilangan, masing-masing juga menyimpan kenangan manis. Banyak kenangan teramat manis di akhir hidup Robert, juga bagi keluarga. Caroline menceritakan pada tradisi tukar kado di Hari Natal, secara kebetulan ayah dan ibunya mendapatkan kesempatan bertukar kado. “Kado terakhir. Seperti ada tangan yang mengatur,” katanya.
Robert bahkan juga sempat mengajak Anita menonton film. “Berdua. Papi tidak terlalu suka menonton film. Di gedung bioskop biasanya tidur,” kata Caroline, tertawa.
Christopher, yang sedang menyelesaikan pendidikan di Jepang, menceritakan bagaimana ia dapat menghabiskan waktu bersama ayahnya di lapangan golf.
“Sejak lama Papi ingin saya juga berolahraga golf seperti dia. Tetapi saya tidak suka. Pada masa-masa akhir hidupnya, saya mendapatkan kesempatan menghabiskan waktu berdua dengannya di lapangan golf. Walaupun tidak main, saya menemaninya main golf, dan menyetir kendaraan untuknya. Kami berbicara tentang banyak hal,” Christopher mengenang.
Negara Jepang, tempat Robert menjalani pengobatan, juga memberikan kenangan indah bagi Keluarga Robert Robianto. “Kami pergi sekeluarga pada bulan Juli. Kami sempat berfoto bersama-sama,” kata Caroline.
“Kami tidak pernah berfoto keluarga sejak terakhir kali kami, anak-anak, masih kecil-kecil. Tidak pernah ada kesempatan. Dan, Tuhan memberikan kesempatan kepada kami untuk berfoto bersama,” kata Christopher, tentang foto keluarga terakhir dalam balutan busana tradisional Jepang.
Anita, juga Caroline, Clara, dan Christopher meyakini, campur tangan Tuhan membuat segala sesuatu berjalan dengan meninggalkan kenangan indah.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...