Robohnya Integritas Penegak Hukum Kita
SATUHARAPAN.COM - Saya sesungguhnya tidak lagi terkejut ketika kabar penangkapan oknum pejabat Mahkamah Agung oleh KPK merebak ke publik. Kejadian ini sudah biasa terjadi disini. Di Indonesia! (dengan tanda seru).
Namun tetap saja hati rasanya begitu sakit, bak digebuki dengan palu godam. Tertohok menghadapi realita bangsa yang tak kunjung membaik, seolah mustahil bersih dari perilaku korup. Mahkamah Agung, institusi yang mestinya diisi oleh orang-orang berperilaku agung itu ternyata jauh panggang dari api. Gerbang terakhir penegakan hukum itu luluh lantak oleh uang. Ah, miris!
Daftar Panjang
Peristiwa ini menambah daftar panjang para penegak hukum yang tersandung kasus korupsi di Indonesia. Tahun lalu, KPK juga melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap tiga orang hakim dan seorang panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan dengan kasus serupa, yaitu suap.
Tahun 2013 Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang terjerat kasus penerimaan suap pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten. Di tahun yang sama KPK juga menetapkan dua hakim sebagai tersangka yaitu hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palu, Sulawesi Tengah, Asmadinata, dan hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Pragsono. Keduanya tersandera kasus dugaan penerimaan suap terkait penanganan perkara korupsi pemeliharaan mobil dinas di DPRD Grobogan, Jawa Tengah, yang konon merupakan pengembangan kasus yang menjerat hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Kartini Marpaung, dan hakim Pengadilan Tipikor Pontianak, Heru Kisbandono. KPK juga pernah menangkap Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono di PN Bandung, terkait dugaan suap kepengurusan perkara korupsi bantuan sosial (bansos) di Pemerintah Kota Bandung.
Pada tahun sebelumnya juga ada hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Ibrahim dan hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Bandung, Imas Dianasari. KPK juga menangkap hakim Syarifudin di kediamannya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, sesaat setelah menerima suap dari kurator Puguh Wirawan terkait kepengurusan kepailitan PT Sky Camping Indonesia.
Pun, Jaksa tak ketinggalan. Akhir tahun 2013, KPK menangkap Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), bernama Subri yang menerima suap terkait pemalsuan sertifikat tanah.
Advokat dan penyidik pajak termasuk pula dalam daftar panjang itu, Dan itu belum juga bisa memberikan efek jera. Oknum-oknum pejabat dan penguasa masih saja susul menyusul menjatuhkan diri di kesalahan yang sama. Mereka yang menamakan diri wakil Tuhan tak sedikitpun menunjukkan sifat Ilahi, Sang Kebenaran itu sendiri.
Memperkuat Pengawasan
Barang kali masih segar di ingatan kita, wacana penghapusan Komisi Yudisial yang sempat mengemuka baru-baru ini. Alasan penghapusan itu dikemukakan ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial, Suwardi, yakni bahwa Komisi Yudisial membatasi kekuasaan kehakiman terlalu berlebihan. Ia berdalih bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan lepas dari pengaruh pemerintah. Kekuasaan ini menjadi luruh oleh pasal 24B karena memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.
Namun pandangan itu menjadi tidak kontekstual dengan kondisi penegakan hukum dewasa ini. Naif rasanya jika kita mengabaikan fakta bahwa kinerja para penegak hukum sedang minim kepercayaan publik. Pengadilan sudah babak belur sejak lama. Bagi masyarakat awam, sulit membedakan mana hakim yang benar dan yang pura-pura benar. Semuanya kelihatan benar, samar oleh sumpah yang diucap atas nama Tuhan. Bagai ilalang di antara gandum.
Suap yang terjadi di pengadilan sudah bukan rahasia. Jika hendak menyelesaikan kasus dengan mudah dan cepat, pihak berperkara cukup dengan memberikan sejumlah uang kepada panitera dan atau hakim. Bahkan tanpa harus ikut sidang di pengadilan. Permainan semacam inipun telah dibuktikan oleh Tim Ombudsman Republik baru-baru ini. Investigasi yang dilakukan atas inisiatif sendiri itu menunjukkan data-data yang mengejutkan meski tidak terbilang baru. Hampir semuanya menawarkan jalan pintas: Membayar dengan sejumlah uang di belakang meja. Ada pula oknum panitera yang bersedia “membantu” mempercepat proses peradilan dengan imbalan seksual. Bayangkan betapa amburadulnya!
Di tengah kondisi yang demikian menyedihkan itu, pengawasan dari pihak eksternal menjadi sebuah keharusan. Kekuasaan kehakiman itu tampaknya tidak bisa lagi ‘dimerdekakan’ begitu saja sehingga lepas dari perhatian/pengawasan pihak manapun.
Dalam hal ini, instansi yang diberi kewenangan sekaligus kewajiban untuk melakukan pengawasan oleh Undang-undang Dasar maupun Undang-undang adalah Komisi Yudisial (KY). Pengawasan yang dimaksud bukan berarti bahwa KY mengambil alih kewenangan MA, atau hendak membatasi wewenang hakim. Justru menjadi semacam perpanjangan tangan MA dalam melakukan fungsinya. Sederhananya, KY adalah lembaga yang harus selalu berusaha menjaga dan memastikan bahwa para penegak hukum (dalam hal ini hakim) tetap berada di jalur yang benar dalam mengadili dan memutus perkara. Lagipula, KY dalam temuannya hanya berwenang memberikan rekomendasi, sedangkan yang mengeksekusi adalah MA.
Alangkah elok sebenarnya jika MA dan KY bersinergi menjaga marwah peradilan. Namun apa daya, wajah MA kini tercoreng. Mau tidak mau hal ini akan menimbulkan spekulasi bahwa hasil pengawasan oleh KY pun selama ini tak dieksekusi sebagaimana diharapkan.
Maka kini semakin terang. Peradilan memang harus diawasi. Baik oleh instansi yang diberi kewenangan (dalam hal ini KY), maupun oleh masyarakat sendiri.
Kepada para penegak hukum: Gelar “wakil Tuhan” kiranya tidak menjadi bumerang bagi diri. Sifat keadilan dan kebenaran mutlak yang dari Tuhan itulah yang harus diwakilkan. “Wakil Tuhan” harus takut akan Tuhan. Satunya kata dengan perbuatan. Satunya mulut dengan tindakan.
Dalam 1 Samuel 12:2b-3, dapat dibaca bagaimana Samuel sebagai Hakim dan Nabi menantang umatnya: “Akulah yang menjadi pemimpinmu dari sejak mudaku sampai hari ini. Di sini aku berdiri. Berikanlah kesaksian menentang aku di hadapan Tuhan dan di hadapan orang yang diurapi-Nya: Lembu siapakah yang telah kuambil? Keledai siapakah yang telah kuambil? Siapakah yang telah kuperas? Siapakah yang telah kuperlakukan dengan kekerasan? Dari tangan siapakah telah kuterima sogok sehingga aku harus tutup mata? Aku akan mengembalikannya kepadamu.”
Ia menantang, namun tak jumawa. Tokoh penegak hukum mana kini yang berani bicara secara gamblang seperti Samuel? Bangsa ini menunggu!
Penulis adalah Asisten Ombudsman Republik Indonesia
Editor : Trisno S Sutanto
Banjarmasin Gelar Festival Budaya Minangkabau
BANJARMASIN, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan memberikan dukungan p...