Roh-roh Gerak Pentas Panggung Rantau Berbisik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seorang penari laki-laki berbalut kain merah meliuk-liuk di atas medium serupa meja kayu. Gerakannya bebas berirama. Tangan dan kakinya mengebas liar mengikuti lagu alam. Tiga penari lainnya, dua perempuan dan satu laki-laki muncul menyusul. Berjalan pelan bak menghitung langkah, ketiganya menaiki panggung pertunjukan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. Menetak-netak sebilang genggaman piring, seirama dengan gerak tubuhnya.
Dentingan piring yang semula lamat-lamat, berangsur menguat. Dibawanya piring-piring itu ke pojok panggung, ke atas benda persegi yang lebih tampak seperti rak meja. Ditata rapi, kemudian dimainkan. Begitu seterusnya. Sementara, si lakon utama masih asyik ‘bersetubuh’ dengan roh geraknya, di atas meja di tengah panggung. Tak ada suara lain kecuali nada-nada bebas yang sengaja disuarakan dari bibir-bibir penari itu.
Di tengah pertunjukan, muncul seorang penari lain. Dia mencitrakan seorang perempuan paruh baya Minang, masih lincah dan kebasan tubuhnya tegas. Lakon utama perempuan tergambar dari gerakannya menguasai panggung. Selama 60 menit, kelima penari Nan Jombang itu memperagakan tarian Rantau Berbisik.
Rantau Berbisik bercerita tentang dinamika kehidupan perantau Minang di seluruh penjuru Nusantara. Segala gerak, suara, dan ekspresi penari memperlihatkan semua emosi mulai dari semangat, kesedihan, amarah, keletihan, dan perjuangan. Ery Mefri, koreografer sekaligus penata musik Nan Jombang tak hanya memanjakan penikmat seni dalam negeri, tapi juga luar negeri.
Berbagai festival internasional termasuk Darwin Festival, Brisbane Festival, dan Adelaide Oz Asia Festival di Australia, Dance Place Washington DC, The Kennedy Center Millennium Stage Washington DC, FirstWork Providence Rhode Island, Fall for Dance Festival New York, Asia Society New York, dan REDCAT Los Angeles California di Amerika Serikat, dan Festival "Asia Pacific" at Haus Der Kulturen Der Welt di Berlin, Jerman, ditaklukkan.
Kali ini, Nan Jombang mendapat hibah dari Yayasan Kelola. Ia pun berkesempatan mementaskan karya-karya terbaiknya di hadapan para pelajar seni, dari kampus ke kampus di seluruh Nusantara. Seperti hari ini, Selasa (15/9), mereka berpentas di Universitas Negeri Jakarta.
Ery sang koreografer mengajarkan bagaimana pelaku seni memaknai gerak dan bagaimana gerak muncul tanpa keterpaksaan. Ery juga mengajarkan, di sanggarnya, ia tak perlu musik pengantar untuk menunjang gerak para penari. Musik-musik yang timbul dari mulut penari itulah sesungguhnya instrumen yang paling menyatu dengan gerakannya.
“Setiap mereka berdendang, dia melakukan dengan hati. Saya ajar penari seperti itu. Maknanya sesuai apa yang disampaikan tarian itu. Musik tidak pengiring tari. Musik adalah roh dari sebuah tarian karena sekecil apapun gerak pasti ada bunyi. Setiap ada bunyi, di situ pasti ada gerak walaupun kita tak melihatnya. Lirik, tangga nada tidak mungkin kita cari,” ujar Ery.
Begitu pula lah caranya mengajarkan para penari yang ternyata merupakan anggota keluarganya sendiri.
Sementara itu, Yayasan Kelola yang sudah 15 tahun bekerja untuk seni dan budaya Indonesia, mengaku sudah selayaknya mendukung seniman-seniman Indonesia yang diakui secara nasional dan internasional.
“Sebagai bentuk syukur dan perayaan atas pencapaian ini, Kelola menyelenggarakan Festival Kelola 2015 dengan konsep mempertemukan seni yang berkualitas dengan komunitas mahasiswa sebagai generasi masa depan,” ujar Amna Kusumo, Direktur Utama Yayasan Kelola.
Seusai pertunjukan kontemporer ini berakhir, riuh tepuk tangan menggema. Decak kagum dan seruan kekaguman muncul dari mulut-mulut penonton.
Editor : Sotyati
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...