Romdhane Jadi PM Tunisia, Perempuan Pertama di Dunia Arab
TUNIS, SATUHARAPAN.COM-Presiden Tunisia, Kais Saied, pada Rabu (29/9) menunjuk Najla Bouden Romdhane sebagai perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah negara itu dan dunia Arab.
Saied menugaskan Romdhane, seorang politikus yang tidak dikenal, untuk membentuk pemerintahan dalam beberapa hari ke depan.
Pengangkatannya dilakukan dua bulan setelah Saied memecat perdana menteri sebelumnya, menangguhkan parlemen dan mengambil alih otoritas eksekutif dalam sebuah langkah yang digambarkan oleh lawan-lawannya sebagai kudeta.
Siapa Najla Bouden Romdhane? Dia berusia 63 tahun; lahir pada tahun 1958 di Kairouan, Tunisia. Dia meraih gelar doktor dalam geologi dari Sekolah Pertambangan Paris di bidang teknik gempa.
Dia adalah profesor pendidikan tinggi di Tunis National School of Engineering, menurut kantor berita negara TAP.
Dia menjabat sebagai Pejabat Pelaksana Program Bank Dunia di Kementerian Pendidikan Tinggi Tunisia. Pada tahun 2016, ia menjabat sebagai kepala unit manajemen berdasarkan tujuan untuk pelaksanaan proyek reformasi pendidikan tinggi.
Pada tahun 2011, ia diangkat sebagai Direktur Jenderal yang membidangi Mutu di Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Ilmiah.
Berbagai Respons
Saied menekankan bahwa pengangkatan Romdhane adalah "bersejarah" dan menggambarkannya sebagai "kehormatan bagi Tunisia dan penghormatan kepada perempuan Tunisia."
Namun, penunjukan itu menuai reaksi beragam. Asosiasi Perempuan Demokrat Tunisia menyambut baik penunjukan tersebut, dan presiden asosiasi tersebut mengatakan organisasinya telah menuntut penunjukan seorang perempuan sebagai PM dalam pertemuan pertama dengan Presiden Saied.
Sementara itu, Ilmuwan politik, Slaheddine Jourchi ,mengatakan kepada AFP: “Ketika kita melihat CV perempuan ini, yang merupakan ahli geologi tanpa spesialisasi atau pengalaman lain dalam peran sensitif, saya tidak tahu seberapa baik dia akan mampu menangani masalah yang sangat besar dan kompleks ini."
Jourchi menambahkan: “(Saied) telah menghindari pencalonan politisi atau siapa pun dengan pengalaman politik minimal. Dia tidak ingin saingan atau siapa pun dengan pendapat politik, yang bisa berdiskusi dengannya mengenai keputusan penting yang akan datang.”
Fida Hamammi, koordinator advokasi Timur Tengah dan Afrika Utara di Women's International League for Peace and Freedom, sebuah kelompok aktivis, menulis di Twitter: “Ketika posisi PM benar-benar tanpa kekuatan apa pun, ketika itu terbatas pada wajah dan pelaksana perintah seorang pria maka seorang perempuan dapat mengambilnya! Itulah satu-satunya simbolisme yang ada di sini, dan itu membuatku muak. Tidak ada yang perlu dirayakan di sini,” katanya dikutip Al Arabiya.
Editor : Sabar Subekti
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...