Rupiah Melemah, Neraca Perdagangan Februari Surplus
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2015 mengantongi surplus sebesar 738,3 juta dolar Amerika Serikat yaitu selisih positif antara ekspor sebesar 12,29 miliar (sekitar Rp162,71 triliun) dolar dan impor sebesar 11,55 miliar dolar (sekitar Rp152,91 triliun).
"Neraca perdagangan Februari mengalami surplus sebesar 738,3 juta dolar AS, yang dipicu oleh surplus neraca migas sebesar 170 juta dolar AS dan surplus neraca non-migas sebesar 570 juta dolar AS," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin pada konferensi pers kepada para pewarta yang diselenggarakan di Gedung 3, Badan Pusat Statistik, Jl. Dr. Sutomo, Jakarta, Senin (16/3).
Suryamin mengatakan secara kumulatif, pada periode Januari-Februari 2015, neraca perdagangan mengantongi surplus sebesar 1,48 miliar dolar AS. Surplus neraca perdagangan secara kumulatif tersebut, merupakan selisih positif ekspor periode Januari-Februari 2015 sebesar 25,64 miliar dolar AS dan impor sebesar 24,16 miliar dolar AS.
Jika dilihat dari kinerja ekspor sendiri, pada Februari 2015 mengalami penurunan sebesar 7,99 persen jika dibandingkan dengan ekspor Januari lalu yang tercatat sebesar 13,35 miliar dolar AS.
Secara kumulatif, ekspor Indonesia pada Januari-Februari 2015 mengalami penurunan sebesar 11,89 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, dimana pada periode tersebut tercatat ekspor sebesar 29,10 miliar dolar AS.
Sementara dari sisi impor, pada Februari 2015 juga mengalami penurunan sebesar 8,42 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 12,61 miliar dolar AS. Secara kumulatif, impor pada periode Januari-Februari 2015 tercatat mengalami penurunan sebesar 15,83 persen, dimana pada periode yang sama pada tahun sebelumnya tercatat impor sebesar 28,70 miliar dolar AS.
Dampak Depresiasi Rupiah
Sementara apabila dikaitkan dengan depresiasi rupiah yang oleh Bank Indonesia diharapkan akan menaikkan ekspor, Suryamin mengakui memiliki pengaruh, meskipun masih bervariasi. Ia mengakui ada beberapa komoditas yang merespons positif pelemahan rupiah. Namun, kata dia, beberapa komoditas lain justru tidak terpengaruh oleh depresiasi rupiah.
"Ekspor tidak serta merta naik. Tapi memang ada beberapa komoditas yang merespons dengan pelemahan rupiah ini," kata Suryamin, sebagaimana dikutip oleh ipotnews.
Suryamin menyebutkan bahwa ekspor beberapa komoditas atau produk meningkat seiring dengan pelemahan rupiah seperti kendaraan dan bagian-bagiannya, yang naik 7% pada Februari. Kemudian furnitur, timah, nikel, kapal laut dan alat-alatnya, serta beberapa produk manufaktur seperti perangkat optik, dan lainnya.
"Dari 98 komoditi atau produk itu, ada 25 yang merespons penurunan atau pelemahan rupiah. Tapi yang lainnya biasa saja atau bahkan ada yang menurun, seperti besi dan baja, dan lainnya," kata dia.
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia, Anton H. Gunawan, menilai BI sangat peduli terhadao defisit neraca transaksi berjalan yang sudah berlangsung sejak kuartal IV-2011. Defisit terutama akibat kinerja ekspor yang terus menurun. Bahkan sejak 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Penyebabnya, ekspor Indonesia selama ini mengandalkan produk komoditas yang di pasar internasional harganya cenderung turun.
Kinerja perdagangan yang terus turun tersebut tidak mampu mengimbangi defisit neraca jasa dan neraca pendapatan yang melebar. Dalam laporan Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis BI, neraca jasa dan neraca pendapatan memang senantiasa mengalami defisit.
Defisit neraca jasa akibat meningkatnya pembayaran jasa transportasi barang impor dan jumlah warga negara Indonesia yang bepergian ke luar negeri. Sedangkan defisit neraca pendapatan lantaran peningkatan dividen dan bunga utang yang diperoleh investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Pada 2014, defisit neraca transaksi berjalan tercatat sebesar 2,95 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) sedikit turun dibandingkan defisit pada 2013 sebesar 3,18 persen. Tahun ini, sejumlah ekonom memperkirakan defisit akan berada di kisaran 3 persen, sedangkan BI memprediksikan berada di angka 3,2 persen.
“BI sangat takut dengan defisit neraca transaksi berjalan (melonjak),” kata Anton, sebagaimana dikutip oleh KataData.
Kekhawatiran BI pun sudah terlihat dalam kebijakan moneternya sejak 2013, yakni dengan beberapa kali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate). Kebijakan ini diambil karena kinerja ekspor yang terus turun, sehingga BI mesti membuat kebijakan yang dapat memastikan aliran modal dapat masuk ke pasar keuangan dalam negeri (capital inflow) yang dapat dipakai untuk membiayai defisit tersebut.
Namun BI tidak dapat terus menggunakan instrumen suku bunga lantaran besarannya yang sudah cukup tinggi. Selain itu, tren sejumlah negara yang menurunkan suku bunganya dan melemahkan mata uangnya terhadap dolar AS ikut menekan rupiah.
“BI tidak punya instrumen lain untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan, selain membiarkan rupiah melemah,” kata Anton. “Tampaknya BI lebih comfort (nyaman) dengan rupiah di atas Rp 13.000.”
Sasaran BI menjaga nilai rupiah yang lemah, kata Anton, utamanya adalah untuk menekan impor, terutama impor konsumsi. Bukan ingin menaikkan ekspor yang mayoritas berupa produk komoditas. Ini sudah terlihat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa impor barang konsumsi yang turun 20,25 persen pada Januari.
Editor : Eben Ezer Siadari
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...