Rusia Mulai Terapkan Sanksi Ekonomi pada Turki
ANKARA-MOSKOW, SATUHARAPAN.COM – Rusia mulai menerapkan sanksi terhadap Turki pada hari Jumat (27/11) setelah perang pernyataan makin tajam di antara kedua negara menyusul ditembaknya jet tempur Rusia oleh militer Turki, pada hari Selasa (24/11).
Namun Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengingatkan Rusia untuk tidak "bermain api". Rusia mengumumkan menghentikan rezim bebas visa bagi pengunjung Turki, dan mengancam sejumlah langkah-langkah ekonomi balasan terhadap negara anggota pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO) itu.
Insiden hari Selasa itu membuat kedua negara yang posisinya berseberangan dalam konflik Suriah saling melontarkan tuduhan. Namun Perancis justru mendorong untuk koalisi yang lebih luas dalam memperkuat upaya mengalahkan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS).
"Kami menyarankan Rusia untuk tidak bermain api," kata Erdogan dalam pidato di Ankara, merespons pernyataan Rusia yang selama ini mendukung rezim Presiden Suriah, Bashar Al-Assad.
Erdogan Mau Bertemu Putin
Erdogan juga tetap mengatakan dia ingin bertemu langsung dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, ketika kedua pemimpin ini berada di Paris pekan depan untuk pertemuan puncak PBB tentang iklim.
Tapi pihak Moskow menanggapi dengan dingin, dan mengatakan Turki belum meminta maaf atas insiden menembak jatuh jet tempur Rusia di perbatasan Suriah.
Turki mengatakan pesawat tempur SU-24 tersesat ke wilayah udara Turki dan mengabaikan peringatan berulang-ulang . Sementara Rusia bersikeras pesawatnya tidak menyeberang dari Suriah.
Kasus ini adalah yang pertama di mana jet tempur Rusia dijatuhkan oleh militer anggota NATO dalam lebih dari setengah abad.
Salah satu pilot Rusia disebutkan ditembak mati di Suriah setelah terjun dengan payung dari pesawat yang terbakar. Sedangkan pilot kedua ditemukan aman dan sehat, tapi seorang tentara Rusia tewas dalam operasi penyelamatan.
Pesawat jet tempur Rusia, SU-24, jenis yang sama dengan yang ditembak jatuh militer Turki pada hari Selasa (24/11) di sekitar perbatasan dengan Suriah. (Foto: dari Russia Today)
Balasan di Sektor Ekonomi
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengatakan bahwa Turki telah "menyeberangi garis yang dapat diterima" dan memperingatkan insiden ini dapat merusak kepentingan nasional dan regional.
Moskow telah mengesampingkan respon militer, tetapi telah berjanji melakukan tindakan lebih luas dengan menargetkan seluruh sektor ekonomi Turki, termasuk pariwisata, pertanian dan projek-projek energi, dan projek kunci lain.
Lavrov mengatakan warga Turki akan membutuhkan visa mulai 1 Januari, setelah Putin pekan ini memperingatkan warganya untuk tidak bepergian ke Turki, negara tujuan yang sangat populer bagi warga Rusia.
"Rusia cukup prihatin dengan meningkatnya ancaman teroris di Republik Turki," kata Lavrov menambahkan. Ini terkait serentetan serangan berdarah yang dilakukan oleh NIIS dan ekstrimis yang ada di sana.
Perdana Menteri Rusia,Dmitry Medvedev, pada har Kamis (26/11) memberi waktu dua hari bagi menteri untuk bekerja di luar rencana terkait kerja sama dengan perusahaan Turki. Ini keputusan setelah Rusia mengatakan akan memperketat pemeriksaan impor produk pangan atas dugaan pelanggaran standar keselamatan.
Moskow juga telah mengisyaratkan pembalasan bisa memukul dua projek besar dengan Turki: pembangunan pipa gas dan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Berseberangan Tentang Suriah
Kedua negara telah membangun hubungan perdagangan dalam beberapa tahun terakhir dan Rusia merupakan pemasok minyak dan gas terbesar untuk Turki yang miskin energi.
Namun demikian kedua negara berada pada posisi berlawanan dalam konflik Suriah. Ankara mendukung pemberontak yang berjuang untuk menggulingkan Al-Assad, sementara Moskow adalah salah satu sekutu terakhirnya yang tersisa bagi rezim Suriah.
Erdogan, dari partai berkuasa, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan menang dalam pemilu awal bulan ini, mengatakan bahwa Turki tidak "sengaja" menembak jatuh pesawat.
Dia menepis kritik Putin tentang insiden itu sebagai "tidak dapat diterima." Dan menyebutkan bahwa pesawat Rusia sudah dua kali melanggar wilayah udara Turki pada bulan Oktober.
Dia juga menyerang kebijakan Kremlin di Suriah setelah melancarkan serangan udara pada bulan September. Dia mengatakan tindakan itu mendukung ‘’pembunuhan’’ Al- Assad dan tidak menargetkan NIIS.
Erdogan menuduh Putin yang mengabaikan panggilan telepon setelah kejadian itu, namun menolak untuk tunduk pada tuntutan Rusia agar pihaknya meminta maaf.
Juru bicara Putin, Dmitry Peskov, kepada wartawan mengatakan bahwaTurki meminta pertemuan di antara kedua pemimpin, tetapi diamengatakan, "Presiden telah diberitahu tentang permintaan ini ... Itu saja yang bisa saya katakan."
Melawan NIIS
Retorika lain muncul setelah Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu, berusaha untuk meredakan ketegangan dan meminta dunia untuk bersatu melawan NIIS. "Sementara langkah-langkah untuk mempertahankan wilayah kami akan tetap berjalan, Turki akan bekerja dengan Rusia dan sekutu kami untuk menenangkan ketegangan," kata Davutoglu seperti dikutip di Times.
Jatuhnya pesawat telah menyebabkan kesulitan upaya mencapai konsensus tentang penyelesaian politik Suriah. Namun Davutoglu mengatakan bahwa dunia harus bersatu melawan "musuh bersama".
"Fokusnya harus untuk mengatasi kepalanya: ancaman internasional oleh Daesh (sebutan dalam bahasa Arab untuk NIIS), mengamankan masa depan Suriah dan mencari solusi untuk krisis pengungsi saat ini," kata dia.
Tapi pihak Kremlin mengatakan bahwa kekuatan Barat tidak siap untuk berbaris bersama Rusia melawan NIIS. "Pada saat ini, sayangnya, mitra kami tidak siap untuk bekerja dalam format koalisi tunggal," kata Peskov kepada wartawan.
Pernyataannya muncul sehari setelah Putin dan Presiden Prancis, Francois Hollande, sepakat untuk mengkoordinasikan serangan terhadap NIIS, meskipun tetap ada perbedaan tentang masa depan Al-Assad.
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...