RUU PRT Tak Masuk Prolegnas, Relawan Gelar Mogok Makan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Beberapa pihak menyayangkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pembantu Rumah Tangga (PRT) tidak masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI Tahun 2015 untuk dibahas dan disahkan. Sebagai bentuk keprihatinan, beberapa relawan menggelar aksi puasa atau mogok makan yang telah dimulai sejak 7 Maret 2015 lalu.
“Sebagai mana dulu yang dilakukan rakyat ketika pemimpin negeri sudah sewenang-wenang, tidak mau mendengarkan rakyat, maka rakyat berpuasa atau tapa mendatangi alun-alun tempat pemerintahan untuk menyampaikan keprihatinan dan protesnya. Demikian pula yang kita lakukan sekarang, mengadopsi mogok makan/pantang makan sebagai bentuk keprihatinan dan protes bersama terhadap DPR dan pemerintah,” kata Koordinator Aksi Mogok Makan Lita dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Selasa (24/3).
Beberapa pihak telah bergabung dalam aksi mogok makan yang bertajuk Serbet dan Wajan Raksasa PRT yaitu PRT dalam negeri dan migran, buruh perempuan, aktivis perempuan, buruh, petani, ibu dan bapak rumah tangga, dosen, guru, wartawan, pelajar, mahasiswa. Aktivis maupun buruh yang ada di luar negeri seperti di Belanda, Hong Kong, Malaysia dan Singapura pun ikut bergabung dalam aksi mogok tersebut.
RUU PRT yang sudah ada di DPR sejak 11 tahun lalu, masa pembahasan Prolegnas 2015-2019 sudah disepakati Komisi IX sebagai Prioritas Prolegnas 2015. Namun, dalam Rapat Panja Baleg DPR 5 Februari 2015 RUU PRT secara mengejutkan dihapus. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri juga menolak RUU Perlindungan PRT dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 Kerja Layak PRT. Bahkan, Menaker membuat rencana untuk menghentikan pengiriman buruh migran.
“Yang sangat disesalkan adalah DPR dan pemerintah dalam hal ini Menaker saling melempar tanggung jawab pembahasan RUU PRT dan Ratifikasi KILO 189.”
Setelah masa reses, para aktivis tersebut mendatangi DPR dan Menaker dengan membawa simbol alat kerja seperti serbet, wajan, ember, sapu dan sikat untuk mengingatkan bahwa aktivitas publik, perekonomian masyarakat dari kelompok terkecil keluarga hingga perekonomian nasional bisa berjalan dan tumbuh karena PRT yang menggerakkan alat kerja tersebut di jutaan rumah tangga namun tidak pernah diakui sebagai pekerja, peran, kontribusi, perlindungan serta pemenuhan atas hak-haknya.
Dalam siaran persnya, relawan tersebut mengingatkan DPR dan pemerintah untuk tidak melakukan pembohongan, pengabaian dan diskriminasi terhadap PRT di dalam negeri dan migran, mendesak DPR dan Menaker untuk tidak saling menghindari dan melempar tanggung jawab dalam pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan PRT dan Ratifikasi KILO 189 Kerja Layak PRT.
Kemudian mendesak DPR untuk bertanggung jawab dengan menempatkan RUU PRT dan Ratifikasi KILO 189 Kerja Layak PRT dalam Prolegnas 2015 dan segera melakukan pembahasan dan pengesahan, mendesak Presiden Joko Widodo untuk menepati Nawa Cita Visi Misi mengenai perlindungan PRT melalui UU Perlindungan PRT dan memastikan Menaker menjalankannya, dan mendesak Menaker untuk menghentikan rencana Roadmap Penghentian PRT Migran.
Tidak hanya di Jakarta, aksi mogok makan ini juga dilakukan oleh para relawan dari Jawa Timur yang tergabung dalam Solidaritas Aksi Mogok Makan Mendukung Advokasi UU PRT mengatakan bahwa selama ini PRT telah memberikan sumbangan besar bagi jalannya roda pembangunan di segala bidang. Bahkan PRT Migran telah memberikan sumbangan dalam bentuk devisa negara, menambah peredaran uang dan memperkuat ekonomi desa melalui pengiriman uang, mengurangi jumlah pengangguran, membiayai pendidikan, kesehatan dan biaya tumbuh kembang anak-anaknya untuk memutus rantai kemiskinan.
“PRT dalam negeri juga memberikan sumbangan dalam bentuk mengurangi beban kerja rumah tangga, merawat dan memelihara rumah, mengasuh dan merawat anggota keluarga dan memberikan kesempatan bagi kaum politisi, profesional dan buruh untuk bekerja menjalankan perannya memperoleh upah, kedudukan dan kehormatan,” kata Koordinator Slidaritas Aksi Mogok Makan di Jawa Timur Iva Hasannah.
Namun, lanjut dia, betapapun besarnya sumbangan PRT untuk negeri ini mereka tetap tidak diperhitungkan sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang berhak atas perlindungan hukum dan menikmati Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini mengakibatkan PRT hidup dalam situasi rentan terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan, menjadi korban dari tindakan koruptif birokrat dan penyalur tenaga kerja serta mengalami juga pelanggaran HAM.
Para aktivis dan relawan berharap bahwa penyelenggara negara baik DPR dan pemerintah seharusnya hadir dan memberikan perlindungan hukum bagi PRT.
Solidaritas Aksi Mogok Makan Mendukung Advokasi UU PRT ini terdiri dari 30 orang perwakilan dari unsur NGO, akademisi, masyarakat sipil yang berasal dari Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Lamongan dan Jombang. (PR)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...