Saksi Paparkan Uang Miliaran Mengalir ke Kementerian PDT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Saksi Teddy Renyut yang merupakan direktur PT Papua Indah Perkasa menyatakan mengeluarkan miliaran rupiah kepada beberapa pihak di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.
"Dalam BAP nomor 1 Saudara menyampaikan `Sampai saat ini jumlah uang yang dikeluarkan untuk memperoleh pekerjaan di Kementerian PDT sebagai berikut yaitu pertama Budiyo sebesar Rp 3,2 miliar yang diserahkan bertahap pada 2013 untuk mendapat proyek talud (tanggul laut) Biak tahun 2014, Budiyo adalah anak buah Ardi yang mengurus anggaran kementerian PDT di DPR, apakah benar?`" tanya jaksa KPK KMS Roni dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin (15/9).
"Iya benar," kata Teddy yang menjadi saksi dalam sidang perkara dugaan penerimaan hadiah sebesar 100 ribu dolar AS (sekitar Rp 1,1 miliar) kepada Yesaya Sombuk agar memberikan proyek pembangunan Tanggul Laut (Talud) di kabupaten Biak Numfor dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubah (APBN-P) 2014 pada Kementerian PDT.
Ardie yang dimaksud adalah staf khusus menteri PDT yaitu Sabilillah Ardie yang juga sudah dicegah bepergian keluar negeri sejak 7 Juli 2014 lalu.
"Rencananya (proyek) didapat pada 2014, tapi ternyata pada 2014 itu anggaran di-freeze, mau diganti di APBN-P," tambah Teddy.
Uang sebesar Rp 3,2 miliar tersebut menurut Teddy sudah diberikan semua.
"Saat ini saya tagih kepada mereka karena saat ini tidak ada proyeknya," ungkap Teddy.
Teddy juga mengaku memberikan uang Rp 290 juta untuk membayar tiket rombongan menteri PDT Helmy Faishal Zaini untuk pergi ke luar negeri.
"Betul (membayar tiket rombongan menteri PDT). Saat itu Ardie meminta saya secara lisan. Beliau sempat mengancam kalau saya tidak bantu beliau, beliau lepas tangan untuk mengurus proyek yang punya saya, yang sudah saya keluarkan Rp 3,2 miliar termasuk untuk Biak itu," tambah Teddy.
Namun Teddy pada awalnya tidak mengetahui kepada siapa peruntukkan tiket itu.
"Saya enggak ngecek tiketnya atas nama siapa. Saya mengethaui setelah diproses penyidikan atas nama menteri dan istrinya. Pak Helmy Faishal Zaini, itu saya baru tahu di penyidikan," jelas Teddy.
Teddy juga mengaku memberikan uang sebesar Rp 6 miliar untuk memperoleh proyek APBN-P 2014 di Kementerian PDT melalui Adit yang menurutnya adalah calo di kementerian tersebut.
"Adit itu orangnya Pak Muamir, Pak Muamir itu salah satu kerabat menteri PDT, jadi saya mempercayai lewat itu," ungkap Teddy.
Adit yang dimaksud adalah Aditya El Akbar, berstatus pegawai negeri sipil sedangkan Muamir adalah Muamir Muin Syam ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa keduanya telah dicegah oleh KPK sejak 7 Juli 2014.
"Saya sudah bertemu langsung Pak Muamir, beliau menyerahkan penyeetoran uang lewat Adit, saya pernah urus proyek sama Ardie pada 2013, sekali," jelas Teddy.
Teddy juga memberikan Rp 65 juta melalui Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Bappeda) Biak Numfor Yunus Saflembolo kepada DPR dan Bupati Biak Yesaya Sombuk Rp 950 juta masih terkait proyek talud.
Kemudian Teddy juga memberikan Rp 100 juta kepada Yesaya Sombuk untuk keperluan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi.
"Saya dihubungi beliau (Yesaya), butuh bantuan dana. Saya mengantarkan sekitar Rp 100 juta kepada beliau sesuai dengan BAP, waktu beliau masih di MK. Saya biasa dengan orang Papua sering berikan bantuan, bukan hanya kepada terdakwa saja," ungkap Teddy.
Teddy pun menilai bahwa pemberian uang di kementerian tersebut diperbolehkan.
"Pengalaman saya selama beberapa tahun kenapa saya bisa mengurus proyek sampai di kementerian, karena pengalaman dari Papua, proposal selalu ditolak kalau tidak ada pakai duit. Kalo tidak ada uang di depan itu pasti ditolak dan pembangunan infrastruktur kita di Papua sangat memprihatinkan. Jadi memang apabila proyek tembus ke daerah harus pake duit. Pada saat itu di PDT kondisi seperti itu, kita ikuti saja sistemnya," jelas Teddy.
Teddy tertangkap tangan oleh petugas KPK saat memberikan uang SGD 100.000 (dolar Singapura) atau sekitar Rp 946 juta kepada Bupati Biak Yesaya Sombuk pada 13 dan 16 Juni 2014, dana itu digunakan untuk melunaskan utang pilkada.
KPK mendakwa Yesaya Sombuk dengan pasal 12 huruf a UU subsidair pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dan dakwaan lebih subsidair Yesaya didakwa dengan pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Ancaman terhadap pelanggar pasal tersebut adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 4-20 tahun dan denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...