Saksi yang Bersaksi
Menjadi saksi bukanlah kewajiban, melainkan keniscayaan.
SATUHARAPAN.COM – Pada Minggu Adven III ini mata hati saya terpancang pada kalimat ini: ”Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes” (Yoh. 1:6). Jelaslah: Yohanes Pembaptis adalah utusan Allah. Bicara soal perutusan, yang mengutus pasti lebih tinggi kedudukannya ketimbang yang diutus.
Yohanes Pembaptis sendiri bukan pribadi sembarangan. Banyak orang menganggapnya Mesias, Elia, atau nabi yang akan datang. Tentu bukan tanpa sebab. Sikap maupun gaya hidupnya membuat orang mau tak mau menilainya tinggi.
Namun, di atas semuanya itu, yang lebih penting ialah Yohanes Pembaptis tidak mengutus dirinya sendiri. Dia utusan Allah. Dan sebagai utusan Allah, dia berupaya setia dalam panggilannya—bahkan dengan nyawanya.
Panggilannya tertera jelas dalam kalimat berikutnya: ”ia datang sebagai saksi untuk bersaksi tentang terang itu, supaya melalui dia semua orang menjadi percaya” (Yoh. 1:7). Itulah panggilan Anak Zakharia. Dia adalah saksi. Panggilan seorang saksi ialah bersaksi. Bukan mempersaksikan dirinya, melainkan bersaksi mengenai terang itu.
Pertanyaan bagi kita—para pengikut Kristus—siapakah yang kita wartakan: diri sendiri atau Kristus? Kemuliaan diri atau kemuliaan Kristus yang menjadi tujuan kesaksian hidup kita? Gamblangnya: bila bercerita, siapakah yang menjadi pusat cerita? Diri sendiri atau Kristus?
Harus saya akui, tak jarang diri saya menjadi lebih dominan. Itu berarti saya tengah menjadi saksi bagi diri sendiri.
Padahal, kalau dipikir-pikir, mengapa pula mempersaksikan diri sendiri? Bukankah orang bisa melihat dengan jelas siapa diri kita sebenarnya? Mengapa pula kita mesti menjadi saksi bagi diri sendiri? Tetapi, ya di sini soalnya: kadang kita merasa perlu menjadi loudspeaker atau pelantang bagi diri sendiri.
Yohanes Pembaptis tidak demikian. Dia menjadi pelantang bagi Yesus Kristus. Ia adalah saksi yang bersaksi. Tak sedikit orang senang menyandang sebutan ”saksi Kristus”. Pertanyaannya: apakah dia sungguh bersaksi mengenai Kristus?
Selanjutnya, penulis Injil Yohanes mencatat: ”Ia bukan terang itu, tetapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu” (Yoh. 1:8). Kata ”harus” yang dipakai menyiratkan bahwa menjadi saksi bukanlah kewajiban, melainkan keniscayaan—tidak bisa tidak.
Yohanes Pembaptis memang bukan terang itu. Kenyataan bahwa dia bukan terang, memanggil dia harus memberitakan terang tersebut. Di sini terdapat logika yang menarik disimak: jika kita bukan Sang Terang, maka kita pun dipanggil pula untuk memberitakan Sang Terang.
Dan itu hanya mungkin terjadi tatkala kita memercayai apa yang kita katakan.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...