Sambut Hari Santri Nasional 2019 Lesbumi DIY Gelar Bedah Buku
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menyambut Hari Santri Nasional (HSN) 2019 yang jatuh pada 22 Oktober, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) DI Yogyakarta menggelar beberapa rangkaian acara di antaranya Grebeng Santri, workshop, sarasehan, serta bedah buku.
Bertempat di Kafe Basa Basi Jalan Sorowajan-Bantul, Minggu (20/10) malam, digelar acara bedah buku berjudul Islam Berkebudayaan, Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan. Acara bedah buku yang merupakan kumpulan tulisan M Jadul Maula itu menghadirkan antropolog Hairus Salim, Jadul Maula selaku penulis buku, serta Hasan Basri Marwah (pengasuh Ponpes Kaliopak).
Hasan Basri dalam pengantarnya menjelaskan, buku berjudul Islam Berkebudayaan berbicara tentang kebudayaan dalam konteks masyarakat yang beragam di Nusantara.
“Dunia Barat membuat konstruksi bahwa mereka merupakan pewaris dari kebudayaan Yunani-Romawi (dengan tafsir) tunggal, sambil merendahkan kebudayaan yang lain. Dalam konteks Indonesia, induk-induk (budaya) besar itu yang menguasai kita. Saat membicarakan Islam sebagai fenomena kebudayaan selalu dengan cepat dikaitkan dengan kebudayaan Hindu dengan induk kebudayaan yang berasal dari India, atau dengan kebudayaan China, dengan kebudayaan Arab. Ini menjadi pemagaran dalam diskursus perbincangan kebudayaan Indonesia,” papar Hasan Basri mengawali acara bedah buku, Minggu (20/10) malam.
Lebih lanjut Hasan Basri menggarisbawahi, kita gagal membaca kebudayaan sebagai fenomena yang beragam yang hanya mendasarkan pada input-input kebudayaan besar Yunani, Arab, Persia, Mesir. Pada sisi lain Hasan Basri melanjutkan, kita melupakan salah satu unsur kebudayaan yakni manusia dengan kapasitasnya yang tidak pernah bisa diprediksi, di mana manusia mempunyai kemampuan untuk mengkreasi sesuatu yang menjadi bagian dari kebudayaan itu sendiri.
“Buku ini banyak merekonsiliasi kontradiksi yang terjadi selama ini, misalnya hubungan antara Islam di Indonesia (Islam nusantara) dengan yang lain, hubungan antara Islam tradisional dengan modernitas, serta relas-relasi lainnya. Kebudayaan itu pada dasarnya beragam. Menarik ketika Jadul Maula (dengan kultur Jawa) menulis tentang Islam Buton dari beberapa naskah kuno yang ditelitinya, juga menulis tentang Islam di Kalimantan Selatan, dan lain-lain. Banyak kisah (Islam lokal) yang ditulisnya membawa satu simpulan bahwa antara Islam lokal satu dengan Islam lokal lainnya perlu rekonsiliasi dimana relasi yang terjadi ada negosiasi, ada resistensi, ada perlawanan, dan lain-lain. Tafsir-tafsir lokal ini mungkin perlu didialogkan lagi (lebih intensif). Ada tawaran menarik dalam buku tersebut tentang cara baca (atas realitas Islam lokal di Indonesia) yang bisa membuka peluang bagi penelitian lainnya,” jelas Hairus Salim.
Buku Islam Berkebudayaan, Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan merupakan kumpulan tulisan Jadul Maula berjumlah 16 artikel yang ditulis sejak 1999 hingga 2019. Sebagian besar tulisan merupakan kajian literatur naskah sastra kuno nusantara dikaitkan dengan fenomena-realitas Islam dan kebudayaan hari ini.
Dalam tulisan/artikel berjudul Orientasi “Islam Nusantara”: Belajar dari Naskah-naskah Aceh, Jadul melakukan kajian salah satunya dari kitab/manuskrip Tadzkirat al-Tahaqat yang disusun oleh Syekh Syamsul Bahri bertahun 1272 H.
Sementara pada tulisan/artikel berjudul Sejarah Kesultanan sebagai Dasar Kebangsaan Kita, belajar dari naskah-naskah Buton, yang disampaikan dalam sebuah seminar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)- Jakarta, Jadul melakukan kajian literatur manuskrip Hikayat Sipajongga, yang diperkirakan Islam telah masuk ke Pulau Buton sekitar tahun 1503 M.
Dalam tulisan tersebut Jadul mencatat bagaimana Kesultanan Buton sejak abad ke-14 telah mengalami berbagai transformasi penting dalam mematangkan tatanan nilai-sosial sebagai sebuah kesultanan yang berdaulat dalam struktur kekuasaan, tata niaga, serta relasi yang setara ditengah realitas keberagaman dalam prinsip pomae-maeka (takut-menakuti), popia-piara (pelihara-memelihara), pomaa-maasiaka (sayang-menyayangi), poangkaa-ngkataka (hormat-menghormati).
Melalui kajian naskah kuno Babad Tanah Jawi, Serat Tajussalatin, Serat Purwakandha, dan lainnya termasuk sekuel-sekuel dalam Mahabharata maupun suluk-suluk Sunan Kalijaga disebandingkan dengan kitab-kitab/naskah klasik berbahasa Arab itulah Jadul mencoba membuat komparasi sekaligus relasi yang memungkinkan menghubungkan antar naskah-naskah tersebut. Kajian tersebut menjadi menarik ketika justru membuka peluang terbukanya ruang untuk didialogkan dalam berbagai perspektif.
Jadul Maula mengawali pemarapan tentang bukunya berangkat dari realitas hubungan yang tidak berimbang antara perspektif dari luar terutama dari dunia Barat dengan perspektif yang sudah lama tumbuh di nusantara
“Pada era reformasi ada gejala-gejala penguatan identitas Islam di daerah-daerah dengan munculnya perda-perda syariat Islam di Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Jawa Barat. Di daerah tersebut saya melakukan kajian sekaligus advokasi bagaimana memahami sekaligus mengantisipasi gejala-gejala tersebut dikaitkan dengan HAM. Dalam proses tersebut ketika melihat gejala-gejala yang muncul di daerah dari perspektif fikih Islam yang berbahasa Arab dengan persperktif Barat tentang HAM, saya membaca adanya anomali ketika terjadi penolakan-penolakan tersebut dialognya menjadi tidak nyambung. Sepertinya ada kekosongan perspektif yang harus diisi yakni kearifan lokal. Apakah perda-perda yang lahir melanggar-bertentangan dengan HAM atau tidak. Dalam perjalanan itulah saya mengumpulkan naskah-naskah kuno tersebut yang saya tuangkan dalam satu tulisan berjudul Orientasi Islam Nusantara,” jelas Jadul Maula
Lebih lanjut Jadul menambahkan menghadapi gelombang perspektif barat dengan HAM, Indonesia sudah menemukan manusiawi jauh sebelum deklarasi HAM (Declaration of Human Rights). Bagaimana konsep manusia menjalani kebebasannya, bagaimana manusia harus berbuat dalam realitasnya, di nusantara sudah tumbuh lama. Sangat tua.
“Islam berkebudayaan adalah Islam yang dipelajari, dipraktikkan, diamalkan, diwujudkan sebagai upaya agar masyarakat selalu harmonis dengan sesama manusia, harmonis dengan lingkungan, dengan begitu manusia bisa menemukan dirinya manunggal dengan Tuhan,” jelas Jadul tentang konsep buku Islam Berkebudayaan yang ditulisnya saat bedah buku, Minggu (20/10) malam.
Pondok Pesantren, Budaya Literasi, dan Hoax
Bedah Buku dalam rangkaian acara Hari Santri Nasional 2019 merupakan upaya Lesbumi DI Yogyakarta menjaga sekaligus menumbuhkembangkan budaya literasi yang menjadi warna keseharian pesantren. Hingga saat ini Lesbumi DI Yogyakarta masih rutin melakukan kajian naskah-naskah kuno nusantara dalam acara Ngaji Dewa Ruci di Ponpes Budaya Kaliopak. Selain naskah kuno, pada Ngaji Dewa Ruci juga dikaji buku-buku modern terkait dengan Islam, kolonialisme, modernisme, serta pemikiran lainnya.
Selain kajian dalam waktu terakhir Lesbumi DIY mencoba menumbuhkan kembali semangat penulisan di pesantren dengan mendorong santri-santri muda untuk membuat tulisan dan dibukukan. Langkah tersebut penting sebagai bagian tetap menghidupkan budaya literasi di ponpes.
Kajian literasi sebagai bagian dari budaya literasi sesungguhnya sudah cukup lama terbangun di dunia pondok pesantren dengan berbagai metode pendekatan. Di Pondok, para santri dapat menelaah sendiri (muthalaah) pelajaran yang telah dipelajari, saling mengingatkan bacaan (mudzakarah), berdiskusi (mutharahah), dan saling berbagi pandangan (munadharah). Hal ini dilakukan dalam rangka mencari kebenaran dan membangun budaya musyawarah di kalangan santri, bukan hanya sekedar debat kusir tanpa hasil. Dan semua itu diawali dari satu langkah: membaca dengan benar dan tuntas.
Keberadaan pembimbing menjadi syarat utama proses pembelajaran di pondok pesantren. Adanya pembimbing yang bisa berasal dari santri yang lebih senior, pengurus pondok, lurah pondok hingga kiai selain menjaga ketersambungan sanad ilmu yang dipelajari juga sebagai ikhtiar menjaga konsistensi pesan-makna yang terkandung di dalamnya agar tidak terlalu berjauhan.
Budaya literasi sebagai bagian proses pembelajaran di pondok pesantren membuka ruang yang cukup luas adanya perbedaan pendapat dibarengi dengan argumen yang mendasar. Salah satunya melalui kebiasaan/tradisi bahtsul masail dengan berbagai rujukan. Perdebatan maupun perbedaan pandangan-pendapat setajam apa pun sebagai bagian dari proses pembelajaran maupun upaya mengungkap kebenaran dalam berbagai perspektif dibenarkan sejauh dalam dialog yang sehat dan dalam pengawasan-bimbingan.
Berhenti hanya dengan membaca judul berita, fenomena inilah yang kerap terjadi dalam dunia yang terhubung hari ini. Menelaah lebih lanjut tentang isi berita, narasumber, tanggal kejadian, hingga sumber berita yang bisa dipertanggungjawabkan sudah jarang dilakukan ketika berita-berita bertebaran dan silih berganti dalam rentang waktu yang sangat singkat.
Keengganan menelaah-menelisik berita lebih dalam telah menjebak masyarakat dalam era post truth yang dengan mudahnya mengambil kesimpulan cepat dan instan dari judul berita yang dibacanya. Bisa ditebak, masyarakat hanya beranjak dari satu keriuhan ke keriuhan berikutnya dalam kontestasi penyebaran berita bohong (hoax), dengan tanpa disadari turut mengkonsumsinya.
Hari ini media sosial merupakan kontributor utama akulturasi budaya global. Sehingga segala macam informasi dan budaya dari belahan dunia manapun bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Di sinilah budaya literasi menjadi penting untuk menyaring segala macam informasi dan berita. Literasi memiliki makna yang lebih luas yang mencakup pemahaman yang baik terhadap berbagai aspek kehidupan.
Fenomena hoax seakan telah mengantarkan masyarakat yang hidup di abad informasi sekarang ini menjadi masyarakat yang reaksioner, yaitu masyarakat yang dengan sigap tanpa pikir panjang larut dalam gelombang hoax. Masyarakat lantas mempertontonkan dunia bawah sadarnya yang berpotensi destruktif terhadap apa pun, menegasikan liyan, atau malah memberangus liyan yang dianggap berseberangan. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi kemudian adalah konflik sosial hasil dari reproduksi berita palsu yang berpotensi memicu kebencian.
Pada akhirnya, menurunnya tingkat literasi bisa ditengarai dengan rentannya ikatan kebinekaan, munculnya prasangka ideologis, dan isu primordialisme, sehingga membentuk persepsi yang membunuh kebenaran dan rasionalitas, dan semakin hilangnya penghargaan terhadap martabat kemanusian.
Selamat Hari Santri. Selamat menumbuhsemaikan budaya literasi untuk kehidupan yang lebih bermartabat.
Editor : Sotyati
Lebanon Usir Pulang 70 Perwira dan Tentara ke Suriah
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Lebanon mengusir sekitar 70 perwira dan tentara Suriah pada hari Sabtu (27/1...