Sastra dan Budaya Menjembatani Asia Tenggara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dirjen Kebudayaan Kemenbud Hilmar Farid menyebutkan sastra dan budaya sudah lama menjembatani hubungan antar negara Asia Tenggara. Hal ini dapat ditemukan dalam sejumlah kemiripan karakter tokoh-tokoh sastranya.
“Kita memiliki banyak cerita tentang hubungan ini. Panji, legenda pangeran dari Jawa Timur ini adalah tokoh di Malaysia, Kamboja, Thailand, yang dikenal dengan nama yang berbeda. Lalu yang klasik adalah Ramayana, Mahabarata sebagai tradisi kesusastraan tingggi,” kata Hilmar Farid dalam pidato ASEAN Literary Festival 2017 di Jakarta pada Kamis (3/8).
Hilmar Farid menjelaskan adanya kemiripan kepercayaan pada karakter roh dan hantu perempuan yang meninggal karena melahirkan anak, kuntilanak. Kisah ini banyak tersebar di kawasan Asia Tenggara. Di Thailand, Kalimantan, Malaysia, maupun Filipina. Bahkan karakter ini menjadi sangat populer di tayangan televisi, film, dan sastra.
Hubungan antar negara Asia Tenggara pada akhirnya tidak saja dalam urusan diplomasi, ekonomi, dan politik tetapi juga memiliki arti yang lebih jauh dan mendalam.
Sementara sastrawan kontroversial Malaysia Mohammad Faizal Musa yang dikenal dengan nama pena Faisal Tehrani memaparkan jembatan hubungan antar budaya di negara Asia Tenggara.
Dia mengenal banyak nama sastrawan Indonesia. Seperti Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Kuntowijoyo, Hamka, dan Seno Gumira Ajidarma.
“Pramoedya Ananta Toer menjadi tokoh yang terkenal di Malaysia. Satu teks bacaan resmi di sekolah kami. Saya pertama kali membaca ‘Keluarga Gerilya’ saat berusia 14 tahun,” kata Mohammad Faizal Musa dalam kuliah umum (general lecture) ASEAN Literary Festival 2017.
Dia menceritakan orang Malaysia bangga dapat mengenal karya besar Pramoedya Ananta Toer di saat nama sastrawan itu justru tidak dikenal di negaranya, Indonesia. Hal itu dia ketahui dari perbincangan dengan seorang penyanyi muda Indonesia.
Faisal Tehrani juga menyebutkan karya sastrawan besar Jose Rizal dari Filipina sampai ke toko buku di Kuala Lumpur, Malaysia, setelah diterbitkan di Jakarta.
Para sastrawan yang disebutkannya itu yang memberinya kekuatan sebagai penulis.
Faisal Tehrani menggambarkan karya sastra sebagai alat perjuangan karena sastrawan selalu berada di tengah situasi negara dan masyarakatnya saat berkarya.
Seperti situasi tempat negaranya berasal, yang melarang sejumlah bukunya.
“Mengapa saya menulis. Untuk menuangkan keindahan, pemikiran kritis, kebebasan berekspresi dan menentang penindasan, memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia, dan demokrasi,” jelasnya.
“Saya menulis karena saya menuntut pemulihan penuh hak-hak yang telah mereka bajak,” kata dia.
Dia percaya tidak ada cara lain untuk memperjuangkan haknya sebagai sastrawan selain dengan jalur hukum atau tindakan revolusioner.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...