Satu Dasawarsa Jazz Mben Senen Menyemai Kreativitas dan Persahabatan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perhelatan Jazz Mben Senen (JMS) pada Senin (17/2) malam di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) menjadi momen istimewa.
Perhelatan tersebut menjadi perayaan satu dasawarsa (sepuluh tahun) Jazz Mben Senen berkiprah mewarnai perjalanan musik khususnya di Yogyakarta dengan memberikan ruang perjumpaan dan berproses bagi kaum muda dari berbagai kalangan.
Persinggungan dengan berbagai pihak selama berproses turut membentuk dan memperkaya khasanah JMS dalam bermusik. Persinggungan tersebut sekaligus memancing kreativitas lain diantara anggota komunitas JMS untuk membangun project-project musik sebagai bagian dari eksplorasi dan memperkaya warna musik JMS. Tercatat hingga saat ini beberapa project masih aktif berkarya diantaranya Muchichoir, Dhanny Eriawan project, Six string project, Tricotado, Berdua Saja, Rintik Gerimis, More on Mumbles, Nilam and the up town boys, DAPS.
“Semoga dengan ulang tahun yang kesepuluh ini nanti ada yang kesebelas, dua belas, dan seterusnya. Setiap datang ke Jazz Mben Senen saya banyak yang tidak kenal pemainnya. Tapi justru saya senang, karena regegerasi terus berjalan dan berhasil.” papar salah satu penggagas Jazz Mben Senen Ajie Wartono dalam sambutannya, Senin (17/2).
Selama sepuluh tahun JMS telah menjadi tempat di mana generasi muda saling berkenalan, saling berkreasi, nge-jamm, dan menjadi gambaran bentuk kerukunan-keguyuban. Di ruang perjumpaan itulah mereka belajar bersama mengasah kepekaan, kreativitas, saling berbagi dalam dialog multi-arah.
Kilas Balik Jazz Mben Senen
Keberadaan Jazz Mben Senen di Bentara Budaya Yogya tidak terlepas dari sentuhan tangan dingin GP Sindhunata (pendiri Bentara Budaya Yogyakarta) biasa dipanggil Romo Sindhu, mendiang Djaduk Ferianto, mendiang Seno, Bambang Paningron, Hatta Kawa, Ahmad Arief Noor, serta Ajie Wartono.
Cikal bakal Jazz Mben Senen berawal dari Jogja Jazz Club yang melakukan kegiatan jam session musik Jazz di Press Corner Yogyakarta yang sejak tahun 1999 diselenggarakan kegiatan Jazz Gayeng dalam format acara festival tahunan untuk menampung dan mengembangkan musik Jazz di Yogyakarta.
Jazz Mben Senen (JMS) sendiri dimulai dari acara jazz on the street yang diselenggarakan pada awal bulan Maret 2003 namun masih belum terjadwal rutin. Gagasan tersebut diprakarsai oleh Agung Prasetyo (Jogja Jazz Club/pimpinan festival Jazz Gayeng). Tahun 2007, penggemar dan pencinta jazz di Yogyakarta menyelenggarakan Jazz on The Street di Boulevard UGM depan gedung Purna Budaya Yogyakarta. Jazz on The Street mulai dilakukan secara rutin setiap satu bulan sekali pada hari Sabtu minggu pertama setiap bulannya.
Setelah berjalan dua tahun, Jazz on the Street atas prakarsa Romo Sindhu bersama Djaduk Ferianto, Bambang Paningron, Hatta Kawa, Ajie Wartono, dan beberapa pencinta jazz di Yogyakarta bersepakat untuk membuat acara jam session rutin seminggu sekali. Dari obrolan yang berkembang, jam session akhirnya disepakati diadakan setiap hari Senin malam di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta. Dari sinilah akhirnya acara tersebut dinamakan "Jazz Mben Senen".
Selama sepuluh tahun JMS telah menghelat 525 episode tanpa putus.
“Pentas JMS selama sepuluh tahun setiap Senin malam tanpa henti, bukan hanya bukti sebuah ketekunan tapi hidup (diakui atau tidak) memang memerlukan musik. Setiap Senin malam, hujan atau tidak, dikunjungi banyak penonton atau tidak, Jazz Mben Senen tetap menunjukkan kreasinya di tempat ini. Di sini Anda berjumpa satu sama lain tanpa memandang latar belakang dalam perjumpaan untuk mempererat persaudaraan. Di tempat yang sederhana ini juga menjadi bukti bahwa kreativitas telah melampaui segala keterbatasan.” jelas budayawan dan pendiri BBY GP Sindhunata dalam sambutannya.
Melihat mereka yang datang pada setiap gelaran yang selalu didatangi kaum muda baik dari Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Jazz Mben Senen menjadi ruang (space) dan tempat (place) persemaian banyak hal.
Dalam perjalanannya, ruang perjumpaan tersebut telah melahirkan banyak project bermusik dibarengi dengan penciptaan karya musik baik oleh project tersebut maupun secara kolaborasi bersama Komunitas Jazz Jogja. Jazz Mben Senen sendiri telah meluncurkan beberapa album diantaranya Swing Ora Jazzmu, Panen Karya, Lain Ladang Lain Jazznya, Sesarengan, Jazz Basuki Mawa Beya. Pada awalnya album tersebut dicetak dalam bentuk cakram padat. Saat ini lagu-lagu tersebut dapat diunduh pada kanal musik Spotify, Deezer, Youtube, JOOX, Soundcloud.
Mengenang bukan Berarti Membeku pada Masa Lalu
Dalam merayakan ulang tahun kesepuluh, beberapa project musik dan kanca Jazz Mben Senen yakni Keyboard Gangbang, Berdua Saja, Everyday, Mokshanova, Tricotado, DAPZ, Magnitudo, Ronarua, Funktone and Brontosaurus, Jazz Big Band, Keledai Timur, Mucichoir tampil secara bergantian memainkan dua lagu dari album-album Jazz Mben Senen.
DAPS misalnya, yang beranggotakan Ardi dan kawan-kawan menampilkan komposisi Lindri (Sesarengan) dan Chilhood (Jazz Basuki Mawa Beya). Album Sesarengan berisikan lagu-lagu berlirik bahasa Jawa yang diaransemen ulang dalam komposisi baru oleh Jazz Mben Senen. Ardi tercatat sebagai drummer yang memulai dari nol saat belajar memainkan drum di komunitas JMS hingga mampu membuat project DAPS.
Dalam album Sesarengan setiap lagu diaransemen JMS dengan salah satu project musiknya. Lagu Lindri diaransemen JMS bersama Jay & The Bangers, Menthok-menthok (JMS/Kenny Mr. Dance), OAE Kerthi Buana (JMS/Danny Bass project), Cublak-cublak Suweng (JMS/Erwin Zubiyan quintet), Gambang Suling (JMS/Yovia project), dan Lesung Jumengglung (JMS/Mucichoir). Hal yang sama dilakukan pada album-album lainnya dengan melibatkan seluruh project yang ada di JMS. Melihat pola pembuatan aransemen dalam album tersebut ada sinergi dan kolaborasi dalam membuat sebuah album yang menjadi gambaran proses yang terus dilalui komunitas JMS.
“Inilah tempat ekspresi generasi muda. Di sini ada kawruh (ilmu) ada pakerten (pemahaman bersama). Saya berharap semakin hari semakin menemukan pencarian tentang estetika bermusik.” jelas salah satu anggota grup musik KuaEtnika Purwanto saat memberikan sambutan kesan-kesan terhadap perjalanan Jazz Mben Senen.
Yang disampaikan Purwanto senada dengan pesan mendiang Djaduk Ferianto saat Jazz Mben Senen merayakan sewindu dua tahun lalu bahwa Jazz Mben Senen adalah ruang untuk berproses dalam banyak hal.
"Saya meyakini hanya di Yogyakarta yang masih terpelihara proses menjadi penting. Pesan dari generasi sebelumnya bahwa apa yang kalian kerjakan ini adalah sebuah investasi kultural, karena kalianlah yang akan menempati posisi penting di kemudian hari. Kontribusi Anda didalam bermain setiap Senin malam di sini, berproses, berinterkasi tua-muda, dan juga dengan penonton. Di sini adalah tempat berproses, berkesenian untuk menemukan identitas diri. Jangan puas menjadi peniru (epigon), temukan diri kalian didalam berkesenian." pesan mendiang Djaduk Ferianto, Senin (29/1) dua tahun lalu.
Kepada satuharapan.com, pengamat-penikmat musik jazz Farid Wahdiono yang rutin menyambangi perhelatan Jazz Mben Senen menjelaskan bertahannya Jazz Mben Senen hingga satu dasawarsa bagi pentas musik yang secara rutin digelar setiap Senin malam, apalagi musiknya itu jazz, tentulah sangat istimewa.
Farid melihat jazz termasuk minoritas dari segi penggemar. Keberlangsungan Jazz Mben Senen tentu saja juga tak terlepas dari dukungan penontonnya, yang setia hadir di tiap Senin malam. Para penonton tentulah menjadi penyemangat yang tidak kecil bagi para pemain untuk terus bermain dan berkreasi.
“Sejauh yang saya tahu, di Jazz Mben Senen ada konsistensi, dan konsistensi itu pastilah butuh energi yang konstan. Itulah yang terjadi pada orang-orang yang terlibat di dalam Jazz Mben Senen. Mereka melakukannya dalam atmosfer yang guyub dan gayeng, penuh paseduluran.” jelas Farid Wahdiono, Selasa (18/2).
Dalam pengamatan Farid regenerasi tumbuh subur di Jazz Mben Senen. Selama sepuluh tahun dia melihat banyak muncul pemain baru, termasuk dari segi usia pun lebih muda.
“Saya kira inilah yang membikin spiritnya terus menyala, dan semoga bakal tambah menyala ke depannya.” pungkas Farid.
Musisi jazz senior dan inisiator Etawa Jazz Agung Prasetyo yang hadir dalam ulang tahun kesepuluh Jazz Mben Senen mengingatkan sepeninggalan (mendiang) Djaduk Ferianto, untuk menjaga kekompakan agar lebih solid lagi. Agung melihat di Yogyakarta banyak tempat untuk musik jazz sehingga perlu dirangkul semua supaya lebih kompak lagi terlebih ketika sudah ada wadah Komunitas Jazz Jogja.
“Saya kemarin baru dari sebuah festival jazz di Prancis. Dibanding Ngayogjazz, (meskipun skalanya besar) festival tersebut tidak ada apa-apanya. Mari kita jaga dan kembangkan tinggalan tersebut (Ngayogjazz).” pesan Agung Prasetyo.
Mengenang bukan berarti membeku pada masa lalu, namun adalah berjuang untuk masa depan.
Selamat ulang tahun, Jazz Mben Senen.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...