Sejarah Sumpah Pemuda: Resolusi Puitis nan Berani
SATUHARAPAN.COM - Periode tahun 1920-an di negeri ini memperlihatkan gejala pengkristalan ide-ide pergerakan dalam memperjuangkan cita-cita bangsa. Perbedaan kedaerahan, kesukuan dan kekhasan masing-masing, yang semula dibesar-besarkan untuk keuntungan orang Eropa, ditempatkan dalam perspektif baru dengan digunakannya identitas nama Indonesia.
Politik etis dari Pemerintah Hindia Belanda, rupanya mengambil peranan penting dalam meningkatkan kesempatan belajar bagi anak-anak elite Indonesia. Kesempatan belajar itu, mau tak mau, membawa ide-ide politik Barat tentang demokrasi dan kebebasan.
Nama Indonesia, yang dicetuskan oleh JR Logan di dalam sebuah artikel yang dimuat di dalam majalah ilmiah pada tahun 1847, memiliki makna politis dalam memperjuangkan kemerdekaan. Organisasi di Tanah Air mulai menggunakan nama itu.
Organisasi yang mula-mula menggunakan nama Indonesia di antaranya Indonesische Studie Club, yang pada tahun 1924 didirikan oleh Dr Sutomo. Kemudian, Perserikatan Komunis Hindia, yang lalu berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Pada 1927, berdiri Partai Nasional Indonesia yang diketuai oleh Sukarno.
Tumbuhnya kesadaran pemuda untuk berpolitik dengan membentuk organisasi, menjadi titik tolak sejumlah tokoh pemuda yang berasal dari berbagai etnis, untuk merencanakan diadakannya kongres bersama.
Hasrat para pemuda itu tercapai dengan diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia I pada tanggal 30 April sampai 2 Mei 1926 di Jakarta. Untuk pertama kalinya muncul istilah “Indonesia Raya”, yang dikemukakan oleh Tabrani, dan gagasan politik yaitu cita-cita menuju “negara kesatuan Indonesia”. Selanjutnya, ketika Muhammad Yamin diberikan kesempatan berpidato, dia mengungkapkan mengenai perlunya memiliki satu bahasa persatuan. Diusulkannya penggunaan “bahasa Melayu”, yang dia nilai sebagai ‘bahasa percakapan dan persatuan yang tepat bagi bangsa Indonesia’. Paul Pinontoan tercatat dalam sejarah sebagai orang Indonesia pertama yang mengucapkan kata-kata ‘proklamasi kemerdekaan Indonesia’ (1926).
Pertama Kali Menggunakan Bahasa Melayu-Indonesia
Gagasan penyelenggaraan kongres pemuda kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Organisasi yang berdiri pada tahun 1926 ini anggotanya kebanyakan mahasiswa hukum dan sebagian mahasiswa kedokteran di Batavia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Dr Keith Foulcher, pengajar Jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Sydney dan Koordinator Program Studi Indonesia University of Sydney, yang melakukan penelitian tentang sejarah Sumpah Pemuda, mengatakan konferensi pemuda kedua tersebut merupakan konferensi pemuda pertama yang menggunakan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Penguasaan bahasa Indonesia yang minim dari peserta kongres, kadang kala menyebabkan terjadinya kesalahpahaman di antara peserta kongres. Dalam laporan surat kabar yang terbit pada masa itu, dimuat pidato-pidato yang disampaikan dalam bahasa Belanda, tapi kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Semua peserta kongres sangat mahir dan mengerti bahasa Belanda, dan pidato pun disampaikan dalam bahasa Belanda, namun mereka kemudian mengulanginya dalam bahasa Melayu.
Ada juga laporan yang sangat menyentuh hati. Karena belum bisa berbahasa Indonesia, beberapa peserta mengajukan pertanyaan dalam bahasa Belanda. Seorang peserta bahkan harus meminta maaf terlebih dulu sebelum menyampaikan pertanyaan, karena sebagai anak Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa, dia merasa belum bisa berbicara dengan menggunakan bahasanya sendiri. Pilihan katanya sangat mengharukan, "belum bisa bahasanya sendiri".
Pada rapat pertama di konferensi pemuda kedua , Sabtu, 27 Oktober 1928, berlangsung di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta Pusat). Kongres dihadiri tokoh-tokoh pergerakan nasional dari partai politik dan berbagai organsasi pemuda dari berbagai daerah.
Dalam sambutannya, Ketua PPPI Soegondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Muhammad Yamin, tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Resolusi Pemuda Indonesia
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Pada hari kedua Kongres Pemuda Indonesia II tersebut yang diisi sejumlah pidato dari berbagai utusan pemuda yang hadir, masih belum cukup untuk mencapai pada kesimpulan.
Muhammad Yamin yang hadir di Kongres sebagai utusan Jong Sumatranen Bond, juga merangkap sebagai Sekretaris Panitia Kongres, merasa membuat rumusan hasil kongres adalah tugasnya. Yamin berpikir keras saat memasuki sesi terakhir kongres.
Sebelum Sunario mengakhiri pidatonya dalam acara yang dihelat di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Yamin yang ketika itu masih berusia 25 tahun, menoleh ke arah Soegondo dan menyerahkan secarik kertas. Dengan suara pelan, kepada sang ketua, Yamin mengatakan tulisan di kertas itu merupakan rumusan darinya tentang resolusi pemuda Indonesia.
Rumusan Sumpah Pemuda yang ditulis Muhammad Yamin terkesan puitis sekaligus berani untuk zamannya. Selain sebagai mahasiswa hukum di Rechts Hooge School di Jakarta, Yamin juga dikenal sebagai sastrawan. Pada tahun yang sama dengan penyelenggaraan Kongres Pemuda II, Yamin menulis naskah drama Ken Arok dan Ken Dedes berdasarkan sejarah Jawa. Ia juga menerjemahkan karya-karya William Shakespeare dan Rabindranath Tagore, serta menyusun sejumlah kumpulan puisi.
Tak lama Soegondo membacanya. Tanpa banyak bicara dia menyatakan setuju dan memberikan paraf. Kertas itu bergeser ke tangan Amir Sjarifudin dari Jong Bataks Bond, yang juga menjadi Bendahara Panitia Kongres. Sama dengan Soegondo, Amir pun menyatakan setuju. Kertas itu pun terus berpindah tangan sampai semua utusan pemuda yang hadir menyatakan setuju.
Pada akhir pertemuan, Soegondo pun membacakan rumusan tersebut di depan utusan pemuda dengan tambahan penjelasan dari Yamin. Malam itu juga, sebelum Kongres ditutup, semuanya sepakat untuk menjadikan rumusan itu sebagai ikrar yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.
Seperti tertulis di Museum Sumpah Pemuda, ikrar itu berisi tiga baris pengakuan dari pemuda-pemudi Indonesia yang berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia
Sumpah Pemuda versi Ejaan yang Disempurnakan:
Pertama, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ketiga sumpah itulah yang disebut dengan Sumpah Pemuda, yang selalu dibacakan pada setiap tahun di acara upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober.
Pada penutupan kongres tersebut, juga pertama kalinya lagu Indonesia Raya diperdengarkan oleh paduan suara dari anggota PPPI yang dipimpin Bintang Sudibyo (Ibu Sud), diiringi alunan biola oleh Wage Rudolf Supratman.
Kemudian peserta kongres melakukan ikrar, satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa, dengan keyakinan dan tekad. Asas itu wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. (kebudayaan.kemdikbud.go.id/semangatpemuda-indonesia.co.id)
Editor : Sotyati
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...