Sekali lagi: Moratorium Hukuman Mati Demi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
SATUHARAPAN.COM - Eksekusi hukuman mati atas Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu pada 22 September 2006 telah memutus rantai kesaksian dan segala upaya untuk mengungkap pertanggungjawaban mereka-mereka yang terlibat dalam kasus Poso secara menyeluruh. Ketiganya divonis mati oleh PN Palu pada April 2001 dalam kasus kerusuhan bernuansa agama di Poso.
Demikian pun halnya dengan eksekusi hukuman mati teranyar, Freddy Budiman, pada Jumat dini hari 29 Juli 2016 lalu di Nusakambangan dalam kasus peredaran narkoba, telah menutup penyelidikan tuntas dan akurat akan keterlibatan oknum-oknum yang mengitarinya. Hal ini semakin menarik, karena Haris Azhar beberapa jam sebelum eksekusi Freddy Budiman merilis pernyataan Freddy Budiman yang antara lain menyebutkan kerja samanya dengan oknum-oknum di BNN, Polri, dan TNI
Dari kedua kasus ini saja, kita menyaksikan betapa kontraproduktifnya eksekusi hukuman mati dalam proses penegakan hukum. Bahkan, eksekusi hukuman mati bisa dijadikan sebagai alat untuk membungkam seseorang untuk selamanya agar kesaksiannya tak lagi terungkap, demi untuk “melindungi” seseorang atau sekelompok orang yang terlibat dalam kasus terkait.
Hal tersebut masih diperpelik lagi dengan caut marut penanganan hukum di Indonesia. Bukan rahasia umum bahwa dunia peradilan kita sangat sarat dengan “invisible hand”, dimana aktor-aktor peradilan banyak yang terlibat dalam dunia mafia peradilan. Dalam konteks peradilan yang masih diliputi suasana sedemikian, kesalahan penerapan hukum sangat mungkin terjadi. Dan yang paling banyak menelan korban adalah mereka yang miskin dan lemah, karena hukum akan selalu tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Jika yang demikian terjadi, maka eksekusi hukuman mati tidak akan pernah bisa dikoreksi kembali karena sudah berakhir. Kita mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkrach sekali pun ternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam proses penegakan hukum tersebut, semisal salah orang, pengadilan yang tidak fair dan lain-lain. Dalam hal yang demikian, sangat beresiko menjalankan eksekusi hukuman mati, jika seandainya putusan hakim yang dijatuhkan ternyata salah.
Kita mencatat kasus Sengkon dan Karta yang secara gamblang menunjukkan ironi keadilan kita. Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta 7 tahun penjara oleh PN Bekasi (dengan hakim Djurnetty Soetrisno) pada Oktober 1977, dan dikuatkan oleh PT Jabar, atas tuduhan perampokan dan pembunuhan terhadaop suami-isteri Sulaiman-Siti Haya. Sengkon dan Karta menolak BAP tapi karena siksaan polisi keduanya menyerah.
Sesudah mendekam lima tahun di penjara, terbukti kemudian bahwa pembunuhnya adalah Gunel, yang kemudian dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Meski demikian, Sengkon dan Karta tak bias segera bebas, karena mereka tak mengajukan banding sebelumnya. Atas usaha Albert Hasibuan, mereka baru bebas setahun kemudian dengan perintah Ketua MA, Oemar Seno Adji.
Saya kira masih banyak contoh lain. Yang terkini adalah kasus Mary Jane Veloso, ibu dua anak dari Filipina, yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia dalam kasus narkoba, yang berdasarkan fakta-fakta dan indikasi yang ada ternyata adalah korban dari perdagangan manusia.
Atas dasar itu, saya merasa sangatlah tidak etis kalau negara “mempermainkan” hidup manusia. Kehidupan adalah sebuah anugerah Tuhan yang maha agung kepada manusia. Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Sebagai demikian, hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya. Manusia adalah gambar Tuhan, sebagai mandataris Tuhan untuk mengelola dan merawat kehidupan itu sendiri. Merusak kemanusiaan adalah merusak kehadiran Tuhan sendiri di muka bumi ini.
Tak berlebihan kalau disebutkan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam kondisi yang bagaimana pun, sebagaimana diamanatkan melalui Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat 1: “hak untuk hidup….adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Sersungguhnya, hak ini telah menegaskan kepada kita bahwa konstitusi Republik Indonesia tidak lagi mengijinkan terjadinya praktek hukuman mati dalam negara kita.
Sementara itu, saya memahami bahwa negara menjalankan dan menegakkan hukum adalah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam terang ini, hukuman diharapkan adalah untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut. Itu pulalah yang dicerminkan dengan penggantian kata “penjara” menjadi “lembaga pemasyarakatan”. Oleh karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Dalam hal hukuman mati, peluang untuk memperbaiki diri ini menjadi tertutup, selain menimbulkan kesan bahwa sanksi hukuman mati lebih merupakan “pembalasan dendam” oleh negara. Bila hukuman mati ini dipertahankan, maka akan terlihat adanya frustrasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustrasi itu dilampiaskan kepada terhukum.
Saya kira, ini –antara lain-- yang mendorong negara-negara di dunia yang sebelumnya mempraktekkan hukuman mati meninjau ulang pemberlakuan hukuman mati ini. Terlihat kecenderungan yang memperlihatkan semakin besar dari berbagai Negara yang beradab untuk mencabut hukuman mati dari sistem peraturan dan perundang-undangan mereka, atau setidaknya dalam bentuk moratorium eksekusi hukuman mati. Mayoritas negara di dunia sekarang ini telah menerapkan abolisi secara de facto dan de jure. Tinggal Indonesia dan 55 negara lainnya yang masih menerapkan hukuman mati sementara 142 lainnya sudah menghapusnya. Peradaban manusia yang makin meninggalkan praktek-praktek kekerasan dan prinsip balas dendam semakin dilihat sebagai lingkaran yang tak pernah menyelesaikan masalah.
Hal ini didorong pula oleh keraguan atas dampak hukuman mati yang bisa menjadi efek jera yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut. Efek jera hukuman mati ternyata hanya mitos pembenaran bagi praktek hukuman mati tersebut, karena dalam kenyataannya tidak juga. Imam Samudera, Amrozi Bin H. Nurhasyim, dan Ali Ghufron telah dieksekusi mati, tapi dalam kenyataannya mereka malah menjadi sebuah simbol baru bagi perekrutan orang-orang muda untuk mau “mati syahid”. Aksi terorisme tidak berkurang dengan eksekusi tersebut. Peredaran narkoba juga makin marak pasca beberapa gelombang eksekusi hukuman mati oleh pemerintahan Jokowi. Tak ada jaminan sama sekali bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera dan mengurangi aksi terorisme maupun peredaran narkoba di masa mendatang.
Saya kira sudah saatnya Negara –atas pertimbangan-pertimbangan di atas-- mencabut hukuman mati dari sistem perundang-undangan Indonesia, atau setidaknya moratorium eksekusi hukuman mati. Yang kita butuhkan saat ini adalah pembenahan dunia peradilan secara menyeluruh dan kepastian penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Hal inilah yang lebih memungkinkan untuk mengurangi berbagai bentuk tindak pidana, termasuk terorisme dan peredaran narkoba, yang telah begitu masif mendorong masyarakat dan penegak hukum ramai-ramai mendukung permberlakuan dan eksekusi hukuman mati ini.
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...