Sekolah Sehari Penuh atau Sehari Penuh di Sekolah?
SATUHARAPAN.COM - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, berencana meluncurkan kebijakan sekolah sehari penuh (full day school), dan menyatakan rencana itu tetap berjalan meskipun ada penolakan.
Sekolah sehari penuh ini rencananya diberlakukan untuk tingkat sekolah dasar (SD) dan menengah pertama (SMP). Pada pernyataan sebelumnya, disebutkan bahwa hal itu akan dilakukan di wilayah perkotaan.
Ada banyak penolakan dan juga dukungan untuk rencana ini dan terus menjadi perdebatan. Namun semoga ini buka rancangan menteri baru yang sekadar ingin tampil beda dengan pejabat lama, yang akhirnya hanya mengukuhkan pemeo di dunia pendidikan: ’ganti menteri, ganti kebijakan.’’
Sebuah Pilihan
Sekolah sehari penuh, bahkan sekolah berasrama sebenarnya sudah banyak di Indonesia. Jadi rencana ini bukan hal yang baru. Yang menjadi masalah adalah jika, itu menjadi kebijakan nasional, dan berlaku untuk semua sekolah, dan terutama pada sekolah dasar.
Sekolah sehari penuh haruslah mempertimbangkan bahwa keluarga adalah tempat yang utama dan pertama bagi pendidikan anak, yang tidak boleh dicabut oleh kebijakan kementerian ini. Namun, dimungkinkan menjadi pilihan bagi orangtua, yang karena kesibukan, lebih banyak mempercayakan pendidikan bagi anak mereka pada sekolah.
Oleh karena itu, sekolah sehari penuh seharusnya sebagai sebuah pilihan, dan jangan menjadi satu-satunya pilihan. Untuk siswa SD, sebaiknya tanggung jawab pendidikan lebih banyak berada di dalam keluarga, dan bukan pihak lain (sekolah). Sebab, peran orangtua (parenting) bukan sekadar melahirkan dan membiayai hidup, tetapi juga membangun ikatan keluarga dan menjadi pendidik pertama dan utama.
Prakondisi Sekolah
Sekolah sehari penuh membutuhkan kesiapan, yang tidak hanya pada fasilitas fisik, tetapi juga manajemen dan sumber daya sekolah. Hal ini membutuhkan kajian, karena kenyataan banyak sekolah, swasta maupun negeri, yang untuk standar minimum saja belum memenuhi.
Fasilitas ini bukan hanya tentang perlunya kantin yang menyediakan makanan sehat bagi siswa dan para guru, tetapi juga faslitas lain yang mendukung kegiatan harian anak. Anak-anak membutuhkan ruang lebih banyak untuk pengembangan bakat mereka di bidang olah raga, kesenian, dan jenis kegiatan lain.
Di kawasan sekolah juga harus tersedia fasilitas untuk bermain, dan istirahat, fasilitas menyimpang peralatan bermain, dan pakaian ganti, bahkan fasilitas untuk membersihkan diri setelah kegiatan yang seperti olah raga.
Jika kebijakan ini dipaksakan, penambahan fasilitas ini bisa menjadi beban bagi orangtua siswa, bahkan celah untuk pungutan terselubung yang berlebihan. Pada sekolah negeri, negara bisa menganggarkan, namun untuk swasta, masalahnya lebih kompleks.
Kualitas Guru
Di sisi lain, sekolah sehari penuh bisa menjadi beban belajar bagi siswa, jika tidak didukung kualitas guru dan manajemen sekolah yang baik. Selama ini guru cenderung hanya pengajar untuk menjejali pengetahun, bahkan sekadar informasi. Guru belum menjadi fasilitator proses belajar bagi siswa.
Guru masih terkungkung model tradisional ‘’banking education’’ yang jadi sasaran kritik pakar pendidikan, Paulo Freire, karena siswa dilihat sebagai kontainer tempat guru menuangkan pengetahuan. Proses belajar yang dikelola tanpa kreativitas menciptakan suasana gembira, akan menjadi beban berat bagi siswa, terutama pada siswa SD yang dalam usia pertumbuhan dan membutuhkan suasana bermain.
Anis Basweda, ketika menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan, banyak bicara dan mengritik metode mengajar guru. Sejumlah pakar pendidikan juga menyebutkan cara mengajar para guru masih kuno.
Tanpa pengembangan kualitas guru, sekolah sehari penuh bisa menjadi kontra produktif pendidikan. Oleh karena itu, rencana ini sebaiknya diterapkan pada sekolah yang sudah siap atau kementerian pendidikan dan kebudayaan harus membantu sekolah meningkatkan kualitas guru. Sebab, masalahnya bukan sehari penuh itu anak berada di mana, tetapi sehari penuh itu anak berljar apa dan bagaimana belajarnya.
Fokus Kemendikbud
Kemendikbud dengan menteri yang baru perlu membuat prioritas dalam meningkatkan kinerja institusi ini, apalagi pemerintah Joko Widodo ini sudah setengah jalan. Masalah yang laten di pendidikan adalah pungutan yang terselubung, bahkan terus terjadi di sekolah negeri meskipun disebutkan gratis. Ini yang membuat wajib belajar sembilan tahun belum bisa optimal.
Oleh karena itu, baik kalau menteri fokus atau all out pada mengembangkan manajemen sekolah yang lebih akuntabel sebagai lembaga pendidikan, termasuk mencegah korupsi dan pungutan terselubung.
Kementerian ini termasuk yang terbesar mendapatkan anggaran belanja negara, dan harus menunjukkan keteladanan figur pendidik yang bersih dari korupsi dan pungutan terselubung, Sekolah seharusnya menjadi entitas persemaian karakter luhur, termasuk membebaskan sekolah dari praktik diskriminasi.
Kedua kementerian perlu all out meningkatkan kualitas guru dan fasilitas sekolah di daerah yang masih berada di bawah standar minimal. Ini akan berarti kerja all out dalam mewujudkan keadilan dalam pendidikan. Rakyat akan apresiasi untuk perubahan pada dua hal itu, jika terwujud dalam setengah terakhir pemerintaha Jokowi. Bahkan, hal itu melandasi penerapan sekolah sehari penuh.
Editor : Sabar Subekti
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...