Sekum PGI: Tapol RMS Korban Dendam SBY
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom, menilai penderitaan yang dialami oleh tahanan politik Republik Maluku Selatan (RMS) lebih karena dendam persiden RI sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, karena merasa dipermalukan di hadapan para duta besar negara-negara sahabat.
Ia menilai, proses pengadilan yang dijalani para korban sangat tidak masuk akal. Hukuman dijatuhkan asal-asalan.
"Lembaga pemasyarakatan, ganti memasyarakatkan malah digunakan sebagai sarana balas dendam. Ini adalah masalah ideologi yang seharusnya dihadapi dengan dialog dan argumentasi, bukan kekerasan dan penyiksaan. Apalagi ditambah dengan memenderitakan keluarga dengan ragam kekerasan dan diskriminasi," kata Gomar Gultom, ketika menuliskan kesannya setelah bertemu dengan sejumlah anggota keluarga Tapol RMS.
Tapol RMS kini mendekam di LP Nusakambangan, jauh dari keluarga mereka yang umumnya bermukim di Ambon. Sejumlah anggota keluarga mereka mengunjungi kantor pusat PGI pada hari Kamis (12/5), dan diterima oleh Ketua Umum PGI, Henriette T. Hutabarat-Lebang dan Sekum PGI, Gomar Gultom.
Penderitaan para tapol itu bermula dari acara Hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Lapangan Merdeka Ambon, 18 Juni 2007. Sejumlah penari Cakalele membentangkan bendera Benang Raja yang merupakan simbol gerakan Republik Maluku Selatan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Akibatnya, 78 orang ditangkap dan 68 di antaranya sempat dipenjara. Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ambon menjatuhkan hukuman seumur hidup untuk Johan Teterissa (45), dupuluh tahun untuk Ruben Saiya (24), dan tujuhbelas tahun untuk Yohanis Saiya.
Belasan orang lainnya juga dijatuhi hukuman penjara bervariasi. Beberapa di antara mereka yang divonnis ringan sudah bebas setelah menjalani penjara bertahun-tahun. Beberapa lainnya meninggal di penjara (Simon Saija dan Yusuf Sopacoli)
Gomar mengutip keterangan Arens Saiya yang sudah bebas 2011 lalu dan ikut dalam rombongan pada pertemuan itu.
Arens mengatakan, "Dari lapangan Merdeka, saya diseret dan dikeroyok oleh polisi sejak dari lapanagan sampai Mapolda. Di samapta disiksa lebih lagi, karena katanya kami mempermalukan Presiden......Penyiksaan juga berlangsung dalam tahanan Densus! Kami dipukuli dengan menggunakan popor senjata, balok kayu dan pipa besi. Bukan hanya berdarah-darah, tulang-tulang juga pada remuk.....granat pun dimasukkan ke mulut kami!"
Ternyata yang mendapat siksaan aparat bukan hanya mereka. Isteri dan anak-anaknya yang tidak tahu apa-apa pun mendapat pukulan dan tendangan aparat, sementara suami mereka di penjara. Ini diceritakan oleh Johana Teterisa, isteri Ruben Saiya, "Beta ditendang hingga terpelanting di rumah di hadapan anak-anak. Anak saya pun tak luput dari penyiksaan kejam!".
Menurut Gomar, isu RMS sebetulnya tak lagi menarik minat orang Ambon. Mereka, khususnya dari Desa Arubu (di Pulau Haruku) tertarik dengan ide RMS lebih karena selama ini dianak-tirikan dalam pembangunan. Dan perlakuan aparat, siksaan serta penjara semakin mengentalkan kecintaan pada RMS itu.
"Menjadi pertanyaan, apakah perlakuan yang mereka terima merupakan bagian dari penegakan hukum atau dendam SBY yang merasa dipermalukan di hadapan para Dubes ketika itu? Dan dendam ini lebih lagi mengental dalam diri para aparat di Ambon yang merasa kecolongan? Entahlah!," kata Gomar.
Menurut Gomar, masih terdapat puluhan tahanan politik RMS di LP yang tersebar di Indonesia. Mereka yang ditahan di Ambon lebih beruntung karena dekat dengan keluarga. Beda halnya dengan mereka yang ditahan di luar Ambon. Kemiskinan menyulitkan keluarga berkunjung, walau untuk satu kali kunjungan.
Menurut catatan Gomar, hingga kini mereka yang berada di LP di luar Ambon adalah Ruben Saija, Yohanis Saija, Jordan Saija, Abner Litamahuputty, Romanus Betseran, John Marcus dan Johan Teterisa di Nusa Kambangan. Kemudian ada yang di Porong: Freddy Akihari, Marlon Pattiwael, Jonathan Riri dan di Madiun: Pieter Yohannes.
Gomar mengatakan Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan pernah berjanji akan melepas para tahanan politik Papua dan RMS. "Dalam perjalanan bersama dari Jayapura ke Wamena dan Sorong, saya sempat menyampaikan pesan Andreas Harsono dari Human Right Watch, agar Jokowi memberi perhatian pada tahanan politik pada era SBY. Namun hingga kini baru 5 tahanan politik Papua yang dibebaskan," kata Gomar.
Masalah administrasi dan prosedur dianggap menjadi halangan. Berbagai pihak di pemerintahan mengharapkan pembebasan itu dilaksanakan melalui proses Grasi, yang tentu saja ditolak oleh para tahanan, karena mereka merasa tidak bersalah. Akhirnya Jokowi mengambil terobosan dengan proses Amnesti, yang sudahdimulai tahun lalu.
"Namun untuk Amnesti harus melalui persetujuan DPR. Dan surat Jokowi mengenai hal ini tak pernah direspon oleh DPR walau sudah dilayangkan oleh Presiden sejak tahun lalu.
"Saya berharap pemerintah setidaknya bisa memindahkan para tahanan politik RMS ini ke Ambon, sebagai langkah awal," kata Gomar.
Editor : Eben E. Siadari
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...