Selamat Natal
SATUHARAPAN.COM – Sudah agak lama saya tidak menaruh perhatian serius pada Natal, atau merayakannya secara khusus. Maksud saya, seperti laiknya perayaan Natal di keluarga-keluarga lain, dengan menaruh “pohon Natal” yang lengkap diberi kapas, hiasan, dan lampu kerlap-kerlipnya.
Aspek-aspek itu hilang, semenjak saya sadar bahwa pernak-pernik Natal hanyalah ekspresi budaya dari wilayah yang mengalami musim dingin. Misalnya “pohon Natal”. Mengapa harus cemara? Sebab itu adalah evergreen tree, pohon yang tetap hijau di musim bersalju. Di negara tropis seperti Indonesia, mungkin yang pas adalah pohon pisang. Tapi, sependek pengetahuan saya, belum pernah ada perayaan Natal dengan pohon pisang. Tentu tanpa kapas sebagai simbol salju.
Ada alasan lebih substantif ketimbang soal pernak-pernik itu. Dalam sejarah gereja perdana, Natal bukan perayaan penting – atau malah tidak pernah dirayakan sama sekali sampai abad ke-4 Masehi. Bagi komunitas Kristen, bukan kelahiran Yesus yang penting, melainkan sengsara, wafat dan kebangkitannya. Sebab peristiwa seputar Paskah itulah yang menjadi dasar iman dan pewartaan kristiani.
Itu alasannya mengapa struktur tahun liturgis gereja berpusat pada peristiwa seputar Paskah dan mengambil porsi jauh lebih besar ketimbang Natal. Bahkan, seharusnya, peristiwa Natal dibaca dalam konteks Paskah. Kelahiran Yesus bukan sekadar kelahiran seorang bayi di kandang domba nun jauh di masa lampau, melainkan simbol tindakan belarasa Allah sendiri pada umat-Nya yang memuncak dalam peristiwa penyaliban.
Namun akhir-akhir ini, Natal mengusik perhatian saya lagi. Apalagi semenjak muncul fenomena – bahasanya memang mengerikan – yang kerap disebut “perang atas Natal” (war on Christmas). Bukan perang sesungguhnya, tetapi “perang budaya”: mengapa orang di Amerika kini lebih suka mengatakan “Happy holiday” ketimbang “Merry Christmas”? Mengapa eufemisme bahasa itu terjadi? Apa sih salahnya mengucapkan “Selamat Natal” ketimbang “Selamat Hari Libur”?
Sulit mencari jawaban definitif atas pertanyaan itu. Namun, setidaknya, fenomena eufemisme bahasa itu bisa mencerminkan beberapa hal yang patut direnungkan.
Pertama, Natal memang sudah bukan lagi perayaan yang pekat nuansa keagamaannya. Jatuh pada tanggal 25 Desember – tanggal ini diambil dari tradisi pagan tentang puncak musim dingin, sebelum matahari kembali bersinar – yang sudah dekat akhir tahun, Natal merupakan kesempatan berlibur dan berbelanja besar-besaran. Tidak heran jika pusat belanja, dengan Sinterklaas yang gendut lucu itu, merupakan tempat paling awal merayakannya: sudah sejak awal Desember “suasana Natal” terasa di mal-mal. Karena itu tidak heran jika orang mengganti ucapan “Merry Christmas” dengan “Happy Holiday”, kan?
Kedua, boleh jadi, eufemisme bahasa itu juga mencerminkan perubahan masyarakat yang makin menuju masyarakat multikultural, dengan keanekaragaman etnis, kultur, maupun (terutama) keyakinan. Karena itu, ketimbang mengucapkan “Merry Christmas” yang “khas Kristen”, akan lebih netral – atau lebih politically correct, bagi para politikus – untuk mengucapkan “Happy Holiday”.
Saya tidak tahu persis apakah kedua alasan itu yang lalu memicu war on Christmas, saat sebagian kelompok masyarakat mendorong agar orang kembali mengucapkan “Merry Christmas” saat Natal tiba dan membuang eufemisme bahasa. Apalagi, dewasa ini, ada perasaan yang makin kuat berkembang bahwa umat Kristen menjadi sasaran kebencian dan “penindasan” (persecution) di mana-mana.
Wartawan kawakan dari Amerika dan koresponden senior National Catholic Reporter, John Allen, Jr., misalnya, baru-baru ini menerbitkan buku dengan judul provokatif: The Global War on Christians (Image, 2013). Data yang ia sajikan sungguh menggelitik nurani. Dari Irak dan Mesir, sampai Sudan dan Nigeria, dari Indonesia sampai bagian dari benua India, di awal abad ini kekristenan adalah agama yang paling ditindas. Konon, menurut data International Society for Human Rights, 80 persen pelanggaran kebebasan beragama di dunia ini terjadi dengan umat Kristen sebagai korbannya.
“Sebenarnya agak terlambat jika dunia, khususnya umat Kristen, baru sadar mengenai hal ini,” tulis Allen. “Orang tidak perlu beragama apapun untuk sadar bahwa penderitaan umat Kristen merupakan persoalan HAM yang mendesak. Sama seperti orang tidak perlu menjadi Yahudi untuk sadar tentang nasib orang Yahudi Soviet di tahun 1960 dan 1970-an, atau tidak perlu berkulit hitam untuk marah pada apartheid di Afrika Selatan tahun 1980-an, begitu juga orang tidak perlu menjadi Kristen untuk tergerak dengan penyiksaan dan pembunuhan orang Kristen yang meluas sekarang.”
Namun benarkah perasaan terancam itu yang melandasi war on Christmas? Dalam esainya soal ini di Huffington Post, Peter Michael-Preble, seorang imam Orthodoks, menolak alasan itu. Perang sesungguhnya lebih pada makna Natal yang sekarang sudah makin hilang, ketika gereja-gereja sepi di malam Natal tetapi tempat belanja justru penuh sesak, dan para pengungsi, orang miskin, para penganggur, anak yang hamil di luar nikah, dan lainnya tidak lagi diperhatikan.
Sebab pesan Natal yang “revolusioner”, yakni warta tentang belarasa Allah yang justru memilih jalan orang-orang miskin dan tersingkir, sudah lama – meminjam istilah Marcus Borg dalam blog pribadinya – “dikooptasi” menjadi sekadar romantisme belaka. Bagi Borg – dan saya setuju dengannya – kooptasi itulah yang seharusnya dilawan. Di situ, mengucapkan “Selamat Natal” bukan sekadar basa-basi sosial, melainkan sebuah komitmen untuk memperjuangkan inti pewartaan Yesus orang Nazaret: belarasa Allah pada umat-Nya.
Mungkin ironis, perang yang dimaksud Borg itu, dalam konteks Indonesia, justru dicontohkan oleh tindakan sahabat-sahabat Muslim saya. Dari jauh-jauh hari, ketika bulan Desember tiba, mereka sudah mengirim ucapan “Selamat Natal” pada saya dan keluarga. Saya sadar, tindakan mereka bukanlah sekadar basa-basi sosial, melainkan sebuah “tindakan politik”. Di tengah kampanye kebencian untuk “menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan Natal”, bahkan oleh ulama sekaliber Syeikh Yusuf Qardhawi; di tengah pengabaian negara yang membuat jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia serta lainnya tidak dapat merayakan Natal di gereja mereka; di tengah keputusan tokoh MUI untuk melarang orang Muslim mengucapkan “Selamat Natal”, apa yang dicontohkan oleh sahabat-sahabat Muslim saya itu sungguh menyentuh.
Maka Natal pun jadi penuh makna lagi. Karena itu mari kita merayakannya. Selamat Natal!
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...