Selamatkan Tradisi-Budaya Sagu untuk Ketahanan dan Kedaulatan Pangan
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Persiapan PON XX yang akan dihelat di Papua masih menyisakan masalah. Dalam persiapan tersebut area dusun sagu di kampung Netar Sentani digusur lahannya untuk pembangunan jalan baru untuk fasilitas pendukung perhelatan tersebut.
Merespon hal tersebut, seniman Papua lintas disiplin seni dan lintas generasi yang diinisiasi oleh Yanto Gomba art, Ignasius Dicky Takndare, Ekojj bersama seniman lain yang tergabung dalam kelompok seni rupa Udeido, Komunitas Sastra Papua (Ko’ Sapa), dan komunitas fotografi Papuansphoto, Sabtu (22/2) menggelar acara kesenian secara on the spots sebagai bagian dari kampanye perlindungan dan penyelamatan hutan-tegakan sagu (Metroxylon sagu Rottb) dari penggusuran, perusakan, serta penebangan hutan sagu yang ada di Kota Jayapura serta wilayah Papua.
“Bersama masyarakat kampung Netar, seniman lintas disiplin seni melakukan aksi-aksi nyata melalui karya sebagai respons dan pembacaan atas realita yang terjadi di sini. Hutan sagu mempunyai peran dan makna yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di pinggiiran Danau Sentani.” jelas Dicky kepada satuharapan.com melalui pesan Whatsapp, Kamis (27/2).
Dicky menjelaskan setiap komunitas berkampanye dengan gaya masing-masing. Komunitas Udeido, melukis di tempat dimana sagu ditebang dan digusur, sementara komunitas fotografer mengambil gambar kerusakan hutan sagu. Komunitas Ko`sapa membuat syair dan pesan moral melalui puisi dan tulisan yang hasil akhirnya akan ditampilkan dalam sebuah pameran seni.
Di bawah teriknya matahari di atas puing-puing dusun sagu yang terbakar itulah anak-anak muda ini menghasilkan karya mereka, mulai dari goresan-goresan garis, warna, hingga kata-kata. Kegiatan diakhiri dengan pameran sederhana karya-karya seni lukis serta pembacaan puisi dan syair oleh beberapa peserta.
Selain kampanye penyelamatan lingkungan hidup maupun pangan lokal, dalam perspektif lain Dicky menambahkan bahwa ada banyak pesan yang hendak disampaikan dalam kegiatan tersebut. Salah satunya proses kreativitas bersama.
“Saya pikir di Jayapura pasti ada banyak seniman. Penting untuk mengajak seniman-seniman Papua untuk lebih peka dan peduli dengan hal-hal seperti ini dan berkenan untuk sejenak menghasilkan karya sekaligus menyuarakan perihal tragedi ini.” tutur Dicky.
Dengan demikian bisa tumbuh pemahaman bahwa sagu tidak hanya sebagai sebatang tanaman. Di dalamnya mewakili semua idiom identitas Papua yang juga mengalami ketersingkiran yang bisa pula terjadi pada sebuah benda, aktivitas, kebiasaan, produk-produk sastra, dan bisa jadi adalah manusianya. Sagu hanyalah satu dari sekian banyak entitas yang tersingkir di atas tanahnya sendiri.
“Selain itu dengan membawa khalayak ke spot tersebut (kampung sagu Netar), kita mengantar mereka untuk lebih dekat dan melihat langsung lokasi kejadian. Itu memberikan pengalaman estetik dan empati yang sangat berbeda dibanding melihatnya lewat media massa dan mengembangkan imajinasi sendiri tentangnya. Dari cara-cara sederhana inilah kita mencoba membangkitkan antusiasme masyarakat untuk peka dan peduli akan hal-hal demikian. Hal tersebut bermakna lebih bagi para seniman sendiri. Karya-karya yang dihasilkan langsung (on the spots) dari sini pasti berbeda dengan yang dikerjakan di rumah. Ada hal-hal yang tidak bisa dirasakan di rumah, seperti panas, anginnya, mungkin serangga yang mengganggu, aromanya, dan lain sebagainya. Pengalaman estetik inilah yang berusaha direkam dalam karya tersebut. Untuk kemudian dikabarkan kepada khalayak sekaligus ajakan berbagi empati.” papar Dicky.
Budaya-Tradisi Sagu bagi Ketahanan Pangan Masyarakat
Di banyak tempat di Indonesia sagu telah menjadi bagian keseharian masyarakat, bukan sebatas bahan pangan. Di Bengkalis-Riau, Ternate-Maluku Utara, Sangihe-Talaud-Sulawesi Utara.Di Musi Banyuasin-Sumatera Selatan, tanaman sagu digunakan salah satu upaya pengayaan area dalam restorasi lahan gambut untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah gambut setempat.
Hampir sebagian besar masyarakat Papua menjadikan sagu sebagai bagian dari tradisi-budayanya sebelum “termigrasikan” dengan beras sebagai salah satu bahan pokok makanannya. Berbagai program pembangunan kerap berhadapan dengan budaya-tradisi lokal dan tidak jarang meminggirkan bahkan berujung pada peniadaan tradisi-budaya setempat.
Bagi masyarakat di pinggiran Danau Sentani, tiada hari tanpa mengonsumsi papeda yang terbuat dari pari sagu. Lebih dari itu tanaman sagu tidaklah sekedar bahan pangan semata. Ada identitas, pembagian wilayah kesukuan, upaya konservasi lingkungan, terlebih terdapat budaya matrimonial.
Bagi masyarakat sekitar Danau Sentani, seorang suami harus melakukan tokok (tebang) pohon sagu ketika istrinya mengandung 6 bulan agar terdapat jaminan pangan ketika nanti melahirkan. Dalam penyimpanan yang baik, pati sagu bisa bertahan hingga berbulan-bulan. Sisa batang sagu akan membusuk dalam periode tiga bulan sehingga tersedia banyak ulat sagu sebagai sumber protein bagi ibu saat melahirkan bayinya.
Jika ada anak perempuan hendak menikah, keluarga perempuan tersebut akan menebang sagu, dan pati sagu tersebut menjadi hantaran keluarga perempuan kepada besan mereka. Hantaran pati sagu itulah yang nantinya menjadi bahan sajian saat pesta pernikahan.
Sebatang tanaman sagu dengan tinggi 20 meteran bisa menghasilkan 200-300 kilogram pati sagu. Tiap bagian tanaman sagu digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan hidup, misalnya akarnya menjaga tata air, batangnya untuk kayu hingga berbagai kerajinan tangan, serta daunnya untuk atap rumah hingga makanan ternak dan obat, bahkan menjadi sumber berbagai bahan baku industri pangan, kosmetik, energi altenatif (biotanol).
Keberadaan tegakan sagu pada suatu lingkungan menjadi salah satu pilihan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestotasi lahan gambut yang terlanjur rusak. Upaya tersebut selain dilakukan di Musi Banyuasin Sumatera Selatan juga dilakukan BRG di wilayah Kabupaten Merauke beberapa waktu lalu. Selain alasan tradisi-budaya, tanaman sagu memiliki kemampuan menjaga keasaman lahan, kelembaban gambut, hingga penyerapan limpasan air di permukaan maupun di bawah permukaan gambut melalui sistem perakarannya.
Menjadi tidak produktif ketika upaya restorasi gambut dengan tanaman lokal seperti sagu dalam realitasnya harus berhadapan dengan kebijakan pembangunan lainnya semisal alih fungsi lahan untuk perkebunan-pertanian budidaya ataupun program pembangunan lainnya.
Berasisasi yang dilakukan di Papua saat pemerintahan Orde Baru sedikit banyak telah mngubah pola konsumsi masyarakat di sana. Begitupun dengan program lainnya semisal bantuan tunai langsung yang tanpa disadari justru mengancam ketahanan pangan lokal-nasional.
Tingginya konsumsi beras di Indonesia seiring penyeragaman pangan dalam beberapa puluh tahun terakhir membawa konsekuensi pemerintah Indonesia harus menjaga stok komoditas tersebut. Jika tidak terpenuhi, pilihannya adalah melakukan impor. Di sisi lain, bahan pokok makanan lain justru tersedia secara melimpah semisal umbi-umbian, jagung, dan juga sagu. Beras telah menjelma tidak sekedar komoditas ekonomi, namun juga komoditas politik yang bisa berpengaruh bagi stabilitas pemerintahan sehingga harus dijaga.
Indeks ketahan pangan Indonesia dari tahun ke tahun meningkat. Pada tahun 2016 berada di posisi 71 dari 133 negara. Kemudian, naik ke peringkat 69 pada 2017 dan tahun 2018 ke peringkat 58. Singapura yang tidak memiliki lahan pertanian justru menempati peringkat teratas ketahanan pangan. Sebuah ironi bagi negeri agraris.
Mengutip dari artikel hasil penelitian Veronika Kusumaryati (antropolog Universitas Harvard) yang dimuat dalam laman https://indoprogress.com/, disebutkan hampir semua antropolog dan sejarawan Melanesia bersepakat bahwa orang Hubula (dulu biasa disebut dengan orang Dani) memiliki tingkat ketrampilan dan pengetahuan pertanian paling maju di kawasan Asia Pasifik—bahkan mungkin di dunia.
Sejak 7000-9000 tahun yang lampau, orang-orang Hubula sudah mendomestifikasi babi dan menanam puluhan jenis ubi dan tanaman lain di kebun-kebun subur mereka di Lembah Baliem. Ketika Indonesia datang, kata “terbelakang”, “kotor,” dan “malas” mulai diperkenalkan sebagai karakter orang Hubula, kata-kata yang tidak dikenal sebelumnya di kawasan ini.
Perempuan masih melihara babi dan membuka kebun, tapi dibandingkan dengan dokumentasi tahun 1960an yang direkam antropolog Karl Heider (1972 dan 1997), misalnya, telah terjadi penurunan jumlah babi, pesta babi dan produk pertanian dari Lembah Baliem. Justru sekarang produk seperti beras, cabai (rica), bahkan komoditi paling penting di Wamena seperti babi, didatangkan dari luar Lembah Baliem.
Dengan menurunnya keinginan berkebun (yang juga dampak dari tidak dilihatnya pertanian sebagai pilihan karir anak-anak muda Papua yang bersekolah tinggi), menurun juga tingkat indepedensi dan otonomi mereka. Orang Papua semakin tergantung makanan dari luar dan distribusi berbagai dana tunai.
Pemberian bantuan langsung tunai maupun dalam bentuk raskin yang dilakukan pemerintah telah mengubah banyak hal. Satu-satunya bentuk bantuan yang cukup menonjol dan menciptakan persoalan hingga pedalaman adalah program penyaluran beras untuk rumah tangga miskin (raskin). Program ini sudah dimulai di seluruh Indonesia dari tahun 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian berubah menjadi raskin pada tahun 2002.
Meski tampaknya bertujuan baik, Veronika membuat tesis yang cukup penting bahwa program ini memiliki dampak yang negatif di tanah Papua karena pertama, beras adalah makanan yang diperkenalkan dari luar dan tidak ditanam oleh sebagian besar orang Papua sehingga pemberian raskin dianggap tidak sensitif terhadap budaya Papua. Kedua, kualitas beras yang dikirim dan diberikan ke orang Papua sangat buruk sehingga kebanyakan beras hanya dibuang atau diberikan ke ternak babi.
Dihubungi satuharapan.com secara terpisah Rabu (26/2), sosiolog Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta pengampu matakuliah Politik Pangan Puji Qomariyah menjelaskan secara sosiologis, masyarakat Indonesia memiliki kearifan lokal yang berlaku secara turun temurun dalam pola konsumsi bahan pangan, termasuk mengonsumsi sagu. Secara geografis ketersediaan lahan kering lebih luas dibandingkan lahan basah, dimana lahan kering sangat potensial untuk tanaman nonberas.
Kelangkaan beras, tingginya harga beras, impor beras yang terkendala stok negara pengekspor yang lebih mengutamakan kebutuhan dalam negerinya, sebenarnya tidak menjadi masalah krusial, jika diversifikasi pangan menjadi budaya semua wilayah di Indonesia. Adanya penyeragaman kebutuhan pangan nasional dengan konsumsi beras menjadi masalah baru bagi ketahanan pangan di Indonesia. Revolusi hijau yang menguntungkan petani dalam jangka pendek, menghasilkan swasembada beras, telah mengubah pola konsumsi masyarakat Indonesia yang tidak menguntungkan.
“Nasi dari beras menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia, selain nasi beras menjadi makanan kelas dua. Pola makan yang banyak mengkonsumsi nasi juga berpengaruh secara signifikan pada perkembangan penyakit degeneratif yang dialami masyarakat Indonesia. Diversifikasi pangan dengan konsumsi pangan nonberas akan menunjang ketahanan pangan.” jelas Puji Qomariyah.
Penggusuran dusun sagu di Netar untuk keperluan pengadaan lahan bagi jalan untuk persiapan PON XX sendiri pun sebenarnya kontradiktif dengan upaya pemda setempat yang telah mengeluarkan regulasi yakni peraturan pemerintah daerah (perda) untuk mencegah terganggunya lahan atau hutan sagu. Pertama, Perda Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu dan Perda Provinsi Papua Nomor 27 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Pokok Berkelanjutan.
Ajakan Dicky bersama komunitas seniman Papua adalah ajakan untuk membuka mata agar bisa menemukan lebih banyak realitas yang terjadi serta mencari solusi yang lebih bermartabat.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...