Semangat Belajar Anak Yaman di Tengah Perang
TAIZ, SATUHARAPAN.COM – Siswa kelas lima sekolah dasar, Amr Khalil, 12, duduk di lantai bersama 30 anak lain seusianya. Pandangan matanya terfokus pada gurunya, pikirannya terlalu sibuk untuk merasakan sakit di punggungnya saat duduk di lantai yang kurang nyaman.
Khalil adalah salah satu dari ribuan siswa di kota Taiz yang kini menuntut ilmu di dalam rumah-rumah warga setelah sekolah mereka rusak akibat perang. Sekolah tersebut kemudian berubah menjadi tempat penampungan bagi keluarga yang mengungsi karena perang berkecamuk di Yaman dan digunakan milisi Popular Resistance berjuang melawan kelompok pemberontak Houthi.
Khalil adalah seorang siswa di Sekolah Nema Rasam, di mana lebih dari 2000 siswa dipaksa keluar oleh milisi Popular Resistance yang menggunakan sekolah sebagai tempat pertahanan mereka. Sekarang siswa di sekolah itu pergi belajar di tempat yang tidak layak, bahkan tidak punya kursi untuk duduk.
Karena ada aksi kekerasan dan sekolah ditutup, lebih dari 350.000 anak-anak tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka di tahun ajaran lalu, sehingga total anak-anak yang tidak bersekolah di Yaman mencapai lebih dari dua juta anak, menurut UNICEF. Sekolah Nema Rasam adalah salah satu dari 2108 sekolah yang menurut UNICEF sudah tidak bisa dipakai lagi sebagaimana fungsinya karena konflik.
Khalil tidak bisa belajar tahun lalu karena dia tidak bisa menemukan sekolah yang aman, tapi tahun ini, dia bersikeras untuk sekolah.
“Saya ingin belajar. Saya tidak suka tinggal di rumah, tapi rasanya saya tidak mungkin bisa melanjutkan sekolah karena punggung dan kaki saya sakit,” kata dia kepada Aljazeera.
Naseem Salah, seorang guru di Nema Rasam mengatakan rumah dekat sekolah itu berada sebenarnya bisa digunakan karena kondisi aman dari kota. Tetapi kamar di rumah itu sangat kecil dan bangunan itu tidak memiliki halaman yang luas untuk bermain anak.
“Setelah satu bulan belajar, beberapa siswa mulai mengeluhkan sakit di tulang belakang atau kaki mereka karena duduk di lantai. Jadi saya pikir jika ada kursi akan sangat baik untuk mereka,” kata dia. ”Para siswa tidak dapat menemukan kesempatan yang baik untuk belajar sendiri di rumah mereka karena tidak akan bisa konsentrasi. Bahkan mereka sendiri tidak bisa berjalan dengan baik ketika menaiki tangga.”
Ada lebih dari 600 siswa di rumah itu. Anak perempuan bersekolah di pagi hari, sedangkan yang laki-laki di sore hari. Pembagian tersebut terjadi karena rumah itu bukan dirancang untuk sekolah.
Kepala Sekolah Nema Rasam, Ahmed Al Qadasi mengatakan tidak ada pilihan lain dan mereka tidak ingin anak-anak berhenti belajar. “Kami mengadakan pertemuan dengan ayah siswa dan mereka setuju dengan penggunaan rumah tersebut. Mereka juga bersedia membantu membayar sewa rumah itu karena pemerintah tidak dapat membantu kami,” kata Qadasi kepada Aljazeera.
“Kami membeli beberapa alat tulis seperti papan tulis dari sumbangan orang tua murid. Dan kami masih membutuhkan beberapa kebutuhan lainnya seperti kursi dan buku pelajaran,” kata dia.
Kepala Pendidikan Media dan Pusat Studi di Taiz, Ahmed Al Bohairi mengatakan meskipun kota Taiz memiliki 206 sekolah umum, hanya 37 sekolah yang masih berfungsi tahun ini akibat perang. Sekolah swasta juga ada di Taiz, tetapi kebanyakan keluarga tidak mampu menyekolahkan anak mereka di situ mengingat kondisi ekonomi di negara itu juga semakin terpuruk.
Banyak siswa di Taiz tidak mendaftar sekolah tahun lalu karena hanya 12 sekolah yang buka di kota itu pada tahun 2015 dan sekitar 468 sekolah tutup di seluruh provinsi. “Sekolah-sekolah yang sebagian rusak akibat perang (baik di Taiz maupun di daerah lainnya) telah dibuka kembali tahun ini,” kata Bohairi.
Menurut UNICEF, pada hari biasa, jumlah anak yang tidak sekolah bisa mencapai dua juta orang.
Beberapa orang tua takut jika anak-anak ada di sekolah yang sudah ditutup bisa membahayakan keselamatan mereka. “Anak-anak yang berada di luar sekolah berisiko direkrut milisi,” kata perwakilan UNICEF untuk Yaman Julien Harneis. Sejak konflik Yaman meningkat pada bulan Maret 2015, PBB menyatakan setidaknya ada 1210 anak-anak, di mana sebagian masih berumur delapan tahun, direkrut oleh para milisi untuk melawan Pemerintah.
Dia menambahkan bahwa anak-anak telah tewas dalam perjalanan ke sekolah atau saat di sekolah dan meminta mereka yang terlibat dalam perang untuk “tidak melibatkan anak-anak dan sekolah.”
Milisi Popular Resistance telah menggunakan 30 sekolah di kota Taiz, termasuk sekolah-sekolah besar seperti Zaid Al Moshki dan Nema Rasam untuk melatih pejuang baru mereka.
“Taiz dikepung oleh pasukan Houthi, jadi kami tidak memiliki tempat untuk melatih pejuang. Jadi kita menggunakan sekolah mereka,” kata salah seorang milisi Popular Resistance kepada Aljazeera yang enggan disebut namanya dengan alasan tidak berwenang bicara kepada media.
Sumber itu menegaskan bahwa para pejuang meninggalkan beberapa sekolah di kota tahun ini dan mereka akan meninggalkannya setelah mendapatkan tempat yang baru.
“Siswa itu adalah anak-anak kami dan kami tidak ingin membuat mereka tidak sekolah. Jadi kami bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk sekolah alternatif di rumah, aula atau bahkan di hotel,” kata dia.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...