Sengketa Selandia Baru-Indonesia di WTO akan Diakhiri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perdana Menteri Selandia Baru (New Zealand), John Key, memastikan sengketa perdagangan antara Selandia Baru dengan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO) akan segera memiliki resolusi untuk penyelesaian masalah kedua negara itu.
Hal itu dipastikan setelah John Key setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta, hari Senin (18/7) kemarin.
Key mengaku para pihak akan memilih untuk menyelesaikan masalah kedua negara sebelum diputuskan dalam panel persidangan di WTO.
"Saya merasa jauh lebih percaya diri bahwa yang saya lakukan 24 jam yang lalu bahwa kami akan memiliki resolusi tentang masalah itu," kata Key sebagaimana dikutip nzherald.co.nz, hari Selasa (19/7).
“Para pihak akan lebih memilih untuk menyelesaikan masalah ini sebelum WTO mengambil alih kasus ini,” dia menambahkan.
Langgar Ketentuan WTO
Sebelumnya, Selandia Baru dan Amerika Serikat (AS) mengajukan keberatan atas kebijakan impor pangan Indonesia ke WTO sejak Januari 2013 lalu. AS dan Selandia Baru menuding Indonesia telah melanggar ketentuan WTO karena Indonesia memberlakukan sistem kuota impor dan bea masuk bagi produk berupa daging sapi, buah dan sayur.
Kebijakan yang dituntut ke WTO berasal dari berbagai aturan terkait pertanian di Indonesia yang telah diprotes beberapa kali oleh pemerintah AS dan beberapa negara lain.
Aturan tersebut termasuk UU no. 13/2014 tentang hortikultura, UU no. 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, UU no. 18/2012 tentang pangan, UU no. 19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, dan UU no. 7/2014 tentang perdagangan.
Pemerintah Indonesia pun telah merespon lewat dua kali pertemuan pada Februari 2013 dan Juni 2014 silam dengan memberikan jawaban yang lengkap terhadap keberatan tersebut.
Wakil Perdagangan AS, Michael Froman, seperti yang dikutip dari Reuters mengatakan, tindakan melaporkan Indonesia ke WTO ini untuk kepetingan para petani di AS yang harus menanggung beban akibat pembatasan impor produk hortikultura dari beberapa negara besar, seperti Indonesia.
Menteri Perdagangan Selandia Baru, Tim Groser, menambahkan bahwa akses ke pasar pertanian sangat penting bagi Selandia Baru. “Ekspor pertanian adalah urat nadi ekonomi kami,” kata Groser.
Pembatasan impor yang diterapkan Indonesia meliputi apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah kering, ayam, dan daging sapi.
Perdebatan Data
Permasalahan daging sapi telah menjadi kronis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, masalah harga daging sapi yang tinggi jadi persoalan sepanjang tahun. Ada perdebatan tentang data pasok sapi di antara berbagai kementerian. Akibatnya selalu menjadi persoalan tentang seberapa besar kebutuhan sapi di Tanah Air.
Masalahnya, Indonesia sejak era SBY telah melakukan restriksi terhadap pasok sapi dari luar negeri. Ini berdampak pada negara-negara eksportir sapi, termasuk Selandia Baru.
Dalam enam tahun terakhir akses ekspor sapi Selandia Baru ke RI telah menurun drastis. Dalam catatan stuff.co.nz, pada tahun 2010, Indonesia adalah pasar sapi terbesar kedua bagi Selandia Baru, mencapai 48.823 ton atau senilai US$185 juta.
Seiring dengan tekad Indonesia untuk berswasembada, akses ekspor sapi Australia kemudian dipersempit. Akibatnya ekspor sapi Selandia Baru ke Indonesia jatuh menjadi hanya 8.899 ton pada tahun 2015, turun sebanyak 82 persen.
Secara keseluruhan volume perdagangan Indonesia dan Selandia Baru adalah yang terbesar ke-13 bagi Selandia Baru. Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia memperkirakan bila diakumulasi, dampak dari pembatasan ekspor daging Selandia Baru ke RI mencapai antara US$500 jura hingga US$ 1 miliar.
Akses ekspor buah apel dan bawang juga ikut terdampak oleh pembatasan itu.
Sulit Diprediksi
Chief Executive Horticulture Export Authority Australia, Simon Hegarty, mengatakan, berbagai produk ekspor Selandia Baru telah mengalami pembatasan lewat sistem kuota sejak tahun 2010.
"Berbagai produk masih tetap kita ekspor, tetapi harus melalui berbagai prosedur, membuatnya sulit," kata dia.
Bagi eksportir sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi enam bulan ke depan sehingga membangun hubungan perdagangan yang erat dengan Indonesia merupakan sebuah tantangan.
Indonesia tidak hanya menerapkan pembatasan impor kepada Selandia Baru. Bersama Amerika Serikat, Selandia Baru telah membawa kasus ini ke WTO dan ada 14 negara lain yang ikut.
Indonesia juga telah berkembang menjadi pasar yang penting bagi daging potong, dan jeroan (seperti lidah, hati dan hati), dan juga produk-produk lain seperti kaki sapi.
Namun, pembatasan impor terhadap produk itu telah diberlakukan dalam bentuk kuota, pembatasan produk dan persyaratan perizinan.
Kepala eksekutif Asosiasi Industri Daging Selandia Baru, Tim Ritchie, mengatakan pembatasan dan sistem izin impor yang tidak dapat diprediksi, tidak pasti dan fluktuatif membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menantang bagi Selandia Baru untuk ekspor daging sapi.
"Ini berarti bahwa perusahaan Selandia Baru harus lebih berhati-hati ketika mengekspor ke Indonesia dan cenderung enggan berinvestasi dalam membangun dan mengembangkan pasar karena menghadapi risiko dan ketidakpastian yang signifikan.
"Ini adalah pasar yang penting bagi kami tapisulit untuk membentuk hubungan di sana," kata Ritchie.
Sementara industri susu tidak menghadapi masalah yang sama. Tahun lalu total ekspor susu Selandia Baru mencapai US$ 425M dan terus bertumbuh.
Tahun lalu, perusahaan Selandia Baru Fonterra juga membuka pabrik pengepakan dengan nilai investasi US$ 37 juta, yang merupakan fasilitas namufaktur pertamanya di Indonesia.
Nottage mengatakan kasus sapi adalah yang kedua yang dibawa oleh Selandia Baru ke WTO dalam dekade belakangan. Kasus lainnya adalah tentang akses apel Selandia Baru ke Australia. Dalam kasus itu Selandia Baru menang.
Editor : Eben E. Siadari
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...