Seni Politik Jokowi
SATUHARAPAN.COM – Kata orang pintar, berpolitik itu ibarat seni: bagaimana menjadikan yang tak mungkin menjadi mungkin. Dan untuk itu dibutuhkan kesabaran luar biasa.
Memang, sebagaimana seni pada umumnya, maka berpolitik juga serba tak pasti. Tidak pernah ada hitam-putih dalam dunia politik. Semuanya serba abu-abu, terbuka bagi berbagai kemungkinan yang tak bisa diperkirakan sebelumnya, serba cair dan tak pasti, tergantung pada tarik menarik, tawar menawar, maupun negosiasi-negosiasi lainnya.
Bagi banyak orang, situasi ini sungguh menyebalkan. Sebab kebanyakan orang memang tidak suka hidup dalam serba ketidakpastian. Kita tidak pernah tahu siapa kawan, siapa lawan. Posisi-posisi itu bisa saling bertukar dengan cepat, tergantung situasi dan kepentingan yang sedang dipermainkan. Dalam politik berlaku adagium terkenal: “Tidak ada kawan sejati maupun lawan sejati. Yang ada hanyalah kepentingan sejati. “
Namun, di pihak lain, situasi serba tak pasti ini justru sangat menggairahkan. Kehidupan jadi dinamis, selalu bergerak dan berubah, seperti halnya konstelasi politik. Di situ ada aneka ragam intrik, rumor, kasak-kusuk, lobi-lobi, sampai analisis yang serius maupun abal-abal. Semua itu membuat aktivitas berpolitik terasa asyik dan menggairahkan; begitu asyik dan menggairahkan sehingga hanya dapat dikalahkan oleh aktivitas seks.
Dalam tiga minggu terakhir, kita belajar banyak soal permainan politik yang piawai dan menggairahkan itu, lewat episode perseteruan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Polri. Hampir seluruh perhatian dan energi terserap ke persoalan tersebut. Sebab, seperti pernah saya tulis sebelumnya, krisis yang menimpa institusi KPK merupakan ujian (paling) berat yang harus dihadapi dalam masa 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Banyak orang sebal melihat langkah Jokowi yang kelihatan lambat dan serba ragu. Jika didesak, jawabannya selalu “tunggu”. Padahal, begitu kata para analis, situasinya sudah sangat genting: nasib institusi KPK—garda paling depan pemberantasan korupsi yang sudah jadi penyakit paling kronis di negara ini—berada di ujung tanduk. Jika institusi ini hancur, maka hancur pula seluruh harapan pemberantasan korupsi.
Situasi genting dan menegangkan itu makin terasa ketika Hakim Sarpin Rizaldi, Senin (16/2) lalu, mengabulkan tuntutan pra-peradilan Komjen Budi Gunawan, lalu disusul Mabes Polri yang menjadikan Abraham Samad, Ketua KPK, serta 21 penyidik KPK sebagai tersangka. Hasilnya jelas: KPK pun lumpuh, sehingga para koruptor bisa merajalela. Tidak heran jika sebagian kalangan aktivis menyebut hari itu sebagai “Hari Kebangkitan Koruptor “, dan mereka membacakan tarji bagi matinya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dan yang lebih membuat orang gemas serta geregetan, Presiden seakan adem ayem saja, berdiam “menunggu wangsit “. Padahal posisi politiknya sudah sangat terjepit. Hampir tak ada ruang manuver yang terbuka baginya di tengah impitan kekuatan-kekuatan partai politik, baik di KIH (Koalisi Indonesia Hebat) maupun KMP (Koalisi Merah-Putih), serta individu-individu yang mengepungnya. Seorang teman malah berbisik ke saya, “Harapan perubahan ternyata hanya berumur 3 bulan...”
Selama ini, mungkin karena warisan rezim-rezim sebelumnya, arena politik sering dipersepsi sebagai "pertarungan habis-habisan" model , di mana posisi "kawan" dan "lawan" dapat dibedakan hitam-putih. |
Tetapi situasi dalam sekejap berubah total, saat Presiden mengambil langkah yang tak terduga sebelumnya: tidak melantik Komjen Budi Gunawan, melainkan menyorongkan calon Kapolri baru, yakni Komjen Badrodin Haiti; dan memberhentikan sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sekaligus mengangkat tiga pelaksana tugas KPK, yakni Taufiqurrahman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP. Walau bukan penyelesaian sempurna, namun langkah strategis itu memiliki tiga makna penting.
Pertama, Jokowi kembali mendorong “bola panas “ kasus calon Kapolri ke Senayan. Kini ruang permainan jadi lebih terbuka: rakyat akan menonton dan menilai, siapa sesungguhnya pihak-pihak yang ngotot mencalonkan Komjen Budi Gunawan. Jika mereka bersikeras dan menolak pencalonan Komjen Badrodin Haiti, maka mereka harus berhadapan dengan ketidaksabaran rakyat yang ingin kasus ini segera selesai, agar pemerintah dapat bekerja, bekerja, dan bekerja.
Langkah itu juga, kedua, memberi waktu tambahan (buying time) pada Presiden untuk mengonsolidasikan pemerintahannya. Ini sangat penting, karena Jokowi sadar bahwa stabilitas pemerintahannya akan ditentukan pada sejauh mana ia berhasil mengelola aneka kepentingan yang saling berbenturan. Syukurlah, buying time sebelumnya sudah membuahkan hasil: RAPBN-P yang diusulkan diterima, sehingga postur anggaran pemerintahannya tidak harus mengikuti RAPBN yang disusun rezim sebelumnya. Ini akan jadi titik tolak berharga bagi langkah-langkahnya ke depan.
Akhirnya, ketiga, langkah itu memberi kita gambaran model pemerintahan ala Jokowi yang akan sangat berbeda dibanding model sebelumnya. Selama ini, mungkin karena warisan rezim-rezim sebelumnya, arena politik sering dipersepsi sebagai “pertarungan habis-habisan “ model tumpas kelor, di mana posisi “kawan “ dan “lawan “ dapat dibedakan hitam-putih. Sebuah model either-or. Jokowi memperlihatkan model lain: negosiasi yang melibatkan semua pihak. Dan ia seorang negosiator yang piawai dan prigel. Lihat saja bagaimana ia menemui Prabowo Subianto untuk mencairkan KMP, dan para petinggi KIH di Solo, sebelum menentukan langkah strategisnya.
Kini langkahnya akan diuji lagi di Senayan. Mari kita menonton dan menikmati pertunjukan seni politik itu. Syaratnya, seperti saya kemukakan di atas, perlu kesabaran luar biasa.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI.
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...