Seniman-musisi Djaduk Ferianto Tutup Usia
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Ragam budaya Indonesia dapat kita lihat hampir di setiap daerah yang ada di Indonesia, terutama musik daerahnya. Setiap daerah memiliki alat musik khas dengan bentuk dan bunyi-bunyian yang unik yang membedakan daerah satu dengan daerah lainnya.” Kalimat tersebut disampaikan oleh mendiang seniman-musisi Djaduk Ferianto saat menggelar pementasan "Sesaji Nagari", di Concert hall Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (10/3) malam.
Berita duka menyelimuti dunia seni musik dan pertunjukan Indonesia. Seniman-musisi asal Yogyakarta yang banyak memberikan warna dan inspirasi bagi dunia seni musik Indonesia melalui eksperimen berbagai genre musik sejak usia remaja di akhir tahun 1970-an Djaduk Ferianto, Rabu (13/11) dini hari meninggal dunia.
Djaduk meninggal dunia beberapa saat setelah pulang dari persiapan Ngayogjazz 2019 di Kwagon, Godean-Sleman. Informasi dari pihak keluarga menjelaskan bahwa Djaduk meninggal dunia karena mengalami serangan jantung.
Setelah melalui misa pemberkatan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) yang dipimpin oleh romo Gregorius Budi Subanar, Rabu (13/11) sore Djaduk dimakamkan di pemakaman keluarga Dusun Sembungan Kasihan-Bantul.
Terlahir dengan nama Guritno di Yogyakarta pada 19 Juli 1964, Djaduk yang merupakan anak bungsu maestro tari Bagong Kussudiardja mengawali berkesenian sejak usia anak-anak dengan memainkan gamelan terutama instrumen kendang. Pilihan instrumen gamelan kendang disadari ataupun tidak Djaduk telah menunjukkan bakat sebagai pengatur orkestrasi. Pilihan gamelan juga membuka jalan bagi eksplorasi-eksperimentasi bermusik dengan menggali potensi musik tradisi di nusantara.
Selain bermusik, Djaduk juga dikenal sebagai seniman peran bersama Teater Gandrik yang kerap mementaskan kritik-kritik sosial. Bahkan untuk pementasan pada bulan Desember nanti dengan lakon berjudul “Para Pensiunan 2049” rencananya Djaduk bertindak sebagai sutradara.
Eksperimentasi musik menggabungkan instrumen tradisi dengan instrumen modern sekaligus mencampur berbagai warna musik yang dilakukan bersama kelompok musiknya Kuaetnika, Sinten Remen, ataupun Ring of Fire kerap menghasilkan aransemen-komposisi baru dari lagu-lagu yang sudah ada ataupun membuat komposisi lagu baru.
Jazz bukan sekedar bermain (musik) di panggung, tapi sebagai sebuah kehidupan.
Bersama Kuaetnika, Djaduk telah mengeluarkan beberapa album musik sekaligus menggelar konser diantaranya: Nang Ning Nong Orkes Sumpek (1996), Ritus Swara (2000), Unen Unen (2001), Many Skyns One Rhythm (2002), Pata Java (2003), Raised From The Roots, Breakthrough Borders (2007), Vertigong (2008), Nusa Swara (2010), Gending Djaduk (2014).
“Karya seni yang bagus itu karya yang memungkinkan seniman-pelaku seni lain melakukan interpretasi ulang atas karya tersebut dan dipresentasikan kepada publik. Prosesnya bisa beragam. Bisa berkolaborasi dengan seniman-musisi lain,” jelas Djaduk kepada satuharapan.com saat latihan bareng Didi Kempot di PSBK Rabu (24/7) untuk persiapan tampil bersama Ring of Fire untuk tampil di Jazz Gunung Bromo (JGB) 2019.
Dalam project Ring of Fire, Djaduk sering membuat eksperimen menggandeng musisi lain dalam warna musik yang berbeda. Saat penyelenggaraan JGB 2012, Ring of Fire menggandeng gitaris Dewa Budjana dan dalang wayang suket Slamet Gundono. Pada JGB 2015 Ring of Fire menggabungkan jazz dan keroncong dengan mengajak berkolaborasi pesinden Endah Laras dan gitaris Tohpati.
Ketika tampil di JGB 2019, bersama kelompoknya Ring of Fire project Djaduk berkolaborasi dengan penyanyi campursari Didi Kempot dan peniup saksofon Ricad Hutapea. Saat latihan untuk persiapan JGB 2019 di PSBK Rabu (24/7), empat lagu Didi Kempot yang diaransemen ulang, Ring of Fire memberikan warna yang sangat berbeda dari lagu aslinya. Secara keseluruhan komposisi aransemen ulang lagu Didi Kempot dimainkan Ring of Fire project dalam warna musik Amerika Latin rumba.
Pada lagu Stasiun Balapan diawali dengan permainan perkusi tambuco dalam warna musik rumba bersamaan dengan permainan drum maupun perkusi lainnya.
Lagu Kangen Kowe diaransemen dengan warna musik rap/hip-hop dan progressive rock, sementara di lagu lainnya berjudul Banyu Langit dalam aransemen etnik tradisional Reog Jawa Timur dengan memasukkan unsur musik pengiring yang dominan dengan permainan kendang pada intro lagu sementara Djaduk sendiri memainkan alat tiup tradisional slompret bergantian dengan pukulan tambuco.
Satu lagu Didi Kempot berjudul Sewu Kutho diaransemen ulang Djaduk dalam tempo beat yang agak cepat dengan dominan permainan perkusi dan warna musik rumba. Menariknya pada lagu tersebut dari awal hingga akhir musik dimainkan dalam tempo yang tetap.
Keempat lagu tersebut rencananya akan ditampilkan Djaduk bersama dengan kelompok musiknya di Ngayogjazz 2019 berkolaborasi dengan Didi Kempot dan pesinden Soimah Pancawati. Sayang Tuhan berkehendak lain.
Komunitas Jazz Yogyakarta dengan program reguler Jazz Mben Senen yang telah memasuki tahun ke-10 dan digelar tanpa putus di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta adalah salah satu bukti sentuhan tangan dingin Djaduk dalam memberikan semangat bagi seniman-musisi muda untuk terus bergerak, berlatih, dan berkesenian. Dari program mandiri Jazz Mben Senen telah lahir banyak project anak-anak muda yang telah pula melahirkan banyak album musik.
Di luar musik dan seni peran, Djaduk juga menggeluti dunia fotografi sebagai salah satu hobi sekaligus upaya dirinya merekam catatan perjalanannya dalam visual foto. Bulan Desember tahun lalu Djaduk mempresentasikan karya-karya fotonya dalam pameran tunggal fotografi bertajuk “Meretas Bunyi” di Bentara Budaya Yogyakarta.
Membicarakan mendiang Djaduk tentu tidak bisa melepaskan dari perhelatan jazz di Yogyakarta “Ngayogjazz”. Tahun ini Ngayogjazz yang akan dihelat pada Sabtu (16/11) merupakan perhelatan tahun ketiga belas dengan selalu mengambil ruang-kawasan perdesaan sebagai panggung bersama dimana Djaduk Ferianto merupakan salah satu penggagasnya.
Dengan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Ngayogjazz dimana masyarakat tidak semata-mata menjadi tuan rumah yang hanya menonton, namun sekaligus tuan rumah yang menyambut tamunya dengan sajian a'la desa: masakan setempat yang beragam, akomodasi, dan tentu saja keramahan. Ngayogjazz menjadi penegasan bahwa desa menjadi wilayah yang paling jazzy dan multikultur dalam hubungan yang bermartabat: suguh, lungguh, senang ketika kedatangan tamu.
Dua tahun lalu saat Ngayogjazz 2017 dihelat di Dukuh Kledokan Desa Selomartani, Kalasan-Sleman Djaduk menegaskan bahwa "Jazz itu bukan sekedar bermain (musik) di panggung, tapi sebagai sebuah kehidupan. (Dengan penyelenggaraan Ngayogjazz yang selalu dihelat di desa-desa) di situlah kita (bisa) belajar tentang kearifan lokal dari desa: guyub, greget, gayeng."
Selamat jalan, Bung. Semoga semakin greget dan gayeng di alam keabadian sana.
Mengapa Rusia Ingin Rebut Kota Strategis Ukraina, Pokrovsk?
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Pasukan Rusia berada sekitar tiga kilometer (1,9 mil) di sebelah selatan kot...