SEPAHAM Minta Ketegasan Presiden Terkait Semen Rembang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersikap tegas menunjukkan komitmen penegakan hukum, HAM dan penyelamatan lingkungan dengan menghentikan izin dan operasi tambang dan pabrik semen Rembang, Jawa Tengah.
Melalui rilis pada Sabtu (11/2) di Jember, Jawa Timur, SEPAHAM menilai bahwa pemerintah sudah seharusnya menghentikan izin berikut operasi pertambangan semen PT Semen Indonesia sesuai amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA) pada 5 Oktober 2016 yang mengabulkan gugatan warga penolak pabrik semen termasuk membatalkan dan mencabut SK Gubernur Jawa Tengah tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk.
Upaya warga petani Rembang yang menghendaki tegaknya hukum atas putusan PK Mahkamah Agung tersebut harus kembali berhadapan dengan cara-cara kekerasan yang diduga dilakukan oleh pendukung tambang. Kekerasan tersebut terjadi pada Jumat (10/2) malam dalam bentuk perusakan tenda posko perjuangan penolak pabrik semen dan pembakaran mushola.
Menurut SEPAHAM peristiwa itu seharusnya tidak terjadi bila Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mematuhi putusan MA dalam bentuk mencabut izin, bukan addendum. Karena permohonan warga sebagai penggugat adalah mencabut izin, dan hal tersebut telah dikabulkan seluruhnya.
Pada awal Agustus 2016 sebenarnya Presiden Jokowi sudah meminta penghentian rencana pembangunan pabrik semen itu hingga dibuat kajian baru mengenai dampak pembangunan dan operasi pertambangan pabrik semen di wilayah pegunungan Kendeng tersebut. Tetapi instruksi Jokowi kepada Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, faktanya di lapangan diabaikan. Pembangunan terus berjalan dan berulangkali menyatakan kesiapan untuk beroperasi.
Demikian pula setelah Putusan Peninjauan Kembali MA, Gubernur justru abai dengan membuat addendum AMDAL dan izin baru dikeluarkan. Sementara di sisi lain, situasi buruk penyelenggaraan pemerintahan ini seakan dibiarkan oleh pemerintah pusat, atau Presiden Joko Widodo, melalui Kantor Kepala Staf Kepresidenan, sehingga tidak lagi peka atas kenyataan penolakan dan kekhawatiran kerusakan lingkungan.
Situasi ini menurut SEPAHAM memperlihatkan rusaknya sistem birokrasi yang patuh dalam kerangka negara hukum Indonesia. Peradilan seakan bukan lagi tempat untuk encari keadilan sosial dan keadilan ekologis bagi masyarakatnya, karena penyelenggara pemerintahan dengan mudahnya berakrobatik secara administratif dalam mengeluarkan kebijakannya.
Oleh karena itu SEPAHAM juga mendesak Pemerintah Pusat beserta jajaran terkait untuk mengevaluasi secara lebih hati-hati, bijak, dan kokoh, terhadap semua rencana usaha pertambangan dan meneguhkan upaya perlindungan hak-hak konstitusional warga negara serta hak atas lingkungan.
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...