Loading...
OLAHRAGA
Penulis: Sabar Subekti 21:09 WIB | Kamis, 07 November 2013

Sepak Bola Melawan Rasisme

Kevin Prince Boateng, pemain AC Milan yang pernah menjadi korban rasisme di lapangan hijau. (Foto: ist)

JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Dunia sepak bola mengurusi juga hak asasi manusia?

Hal ini bukan karena pertandingan sepak bola kurang menarik sehingga harus memasukkan masalah HAM dalam kompetisi mereka, tetapi karena dunia sepak bola yang begitu popular juga diwarnai tindakan rasisme yang melecehkan HAM.

Legenda sepak bola dunia dan Presiden Uni Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA), Michel Platini, mengatakan bahwa "Sepak bola adalah olah raga paling populer di dunia dan mencerminkan nilai-nilai masyarakat di mana olah raga ini tumbuh subur, tetapi sayangnya di sana juga ada prasangka, ketakutan dan ketidakpercayaan."

Platini mengatakan hal itu di Jenewa pada diskusi panel tentang rasisme dan olah raga yang diselenggarakan oleh Kantor PBB untuk urusan HAM yang dirilis ohchr.org Senin (5/11) lalu. Di sana dibahas tentang Deklarasi Durban dan Program Aksi oleh Kelompok Kerja Antar Pemerintah.

Durban Declaration and Programme of Action  (DDPA) diadopsi pada Konferensi Dunia 2001tentang  PBB Melawan Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenophobia dan Intoleransi yang Terkait di Afrika Selatan.

Deklarasi ini mendesak untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi,  pemerintah, Komite dan federasi olah raga regional dan internasional, serta Olimpiade Internasional, untuk mengintensifkan perang melawan rasisme dalam olah raga.

Tujuannya adalah mendidik pemuda dunia melalui olah raga tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun dan dalam semangat Olimpiade, yang membutuhkan pemahaman manusia, toleransi, keadilan dan solidaritas.

Lebih Banyak Tanggung Jawab

Hasil panel  yang dipimpin Ketua HAM PBB, Navi Pillay, mengingatkan peserta untuk membangun database anti – diskriminasi. Database berisi 1.500 dokumen tentang pengalaman menangani  diskriminasi dan rasisme yang terjadi di 90 negara. Pengalaman ini memberikan rekomendasi dan praktik terbaik menghadapi momok rasisme dan preseden hukum yang terjadi.

Dalam dunia sepak bola, masalah rasisme juga terjadi, dan yang paling sering dialami oleh pemain berkulit hitam sebagai korban. Apakah hal itu terjadi sebagai tak tik untuk melemahkan permainan lawan atau memang ada latar belakang merendahkan kemanusiaan.

Platini dalam pertemuan itu mengungkapkan bahwa popularitas sepak bola juga berarti lebih banyak tanggung jawab, termasuk dalam melawan rasisme. Sepak bola harus mempromosikan nilai-nilai yang kondusif untuk membuat masyarakat yang lebih toleran terhadap keragaman.

"Orang-orang yang mengatur olah raga harus melindungi setiap pemain dari segala bentuk diskriminasi di tempat yang mereka anggap sebagai tempat kerja. Dan hal ini terwujud hanya karena mereka layak mendapatkan rasa hormat," kata Platini.

Rasisme pada dunia sepak bola Eropa telah menjadi perhatian dalam dekade terakhir. Pada Januari 2013, mantan pemain AC Milan, Kevin Prince Boateng, memimpin rekan satu timnya di luar lapangan untuk memprotes nyanyian rasis saat pertandingan persahabatan dengan klub profesional Italia, Patria.

Hal ini adalah salah satu dari banyak insiden yang menyebabkan UEFA memutuskan mempertegas undang-undang yang mengatur  masalah ini dan menerapkan kebijakan  "toleransi nol" terhadap segala bentuk diskriminasi dalam olahraga.

Wakil Presiden Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) dan Ketua Satgas FIFA Melawan Rasisme dan Diskriminasi, Jeffrey Webb, dalam sebuah pernyataan vide menyatakan bahwa hal itu  telah menjadi konsensus di antara anggota panel.

"Menanamkan prinsip-prinsip dasar sosial tentang penghormatan masih merupakan tantangan sebagai refleks masyarakat kita dalam permainan kita. Sebagai olah raga paling populer, FIFA memiliki tugas membawa kesadaran dan pendidikan kepada masyarakat," kata dia.

Silent Killer

Sementara itu, mantan manajer klub sepakbola Werder Bremen di Jerman, Wilfried Lemke,  berbicara tentang pengalaman selama 18 tahun sebagai manajer klub. Dia sekarang menjadi Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Olah raga dalam Pembangunan dan Perdamaian.

Dia mengatakan bahwa pemerintah harus terlibat dalam memerangi rasisme, tapi hal itu lebih pada kasus di luar lapangan sepak bola. Rasisme bukan masalah sepak bola, tapi masyarakat. Dan federasi sepak bola telah banyak berupaya.

Sementara itu, Tokyo Sexwale, anggota satuan tugas FIFA melawan rasisme dan diskriminasi dan salah satu pendiri dari Yayasan Nelson Mandela, menggambarkan rasisme sebagai "silent killer" (pembunuh yang diam).

Sexwale pada kongres terakhir,Mei 2013, menyebutkan bahwa FIFA telah memimpin untuk mengimplementasikan beberapa ketentuan Deklarasi Durban dan Progam Aksi. Beberapa proposal kepada FIFA termasuk penerapan kode etik nasional melawan rasisme, menjadi barometer global untuk memantau pelanggaran olahragawan.

Bagi Osasu Obayiuwana, Associate Editor di Majalah Afrika Baru dan juga anggota dari satuan tugas FIFA, korban rasisme harus memainkan peran utama dalam melawan rasisme. Dia mengatakan bahwa tindakan sanksi terhadap pelanggaran rasisme juga harus lebih berat.

Obayiuwana menyebutkan  bahwa rasisme dalam olah raga ada sebelum protes Kevin Prince Boateng. "Jika pelaku tetap aman di luar lapangan sepak bola, dunia sepak bola tanpa kecuali akan terus berjuang menghadapai masalah tersebut,” kata dia.

Dan dunia sepak bola telah memulai mempelopori perlawanan terhadap rasisme di lapangan dan di luar lapangan. Cabang olah raga lain atau bidang profesi lain barangkali perlu belajar untuk mengatasi rasisme yang masi terjadi di dunia ini.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home