Serangan Udara Oleh Militer Myanmar, 50 warga Tewas
NAYPYITAW, SATUHARAPAN.COM-Setidaknya 50 orang tewas di Myanmar tengah pada hari Selasa (11/4) dalam serangan udara oleh militer pada acara yang dihadiri oleh penentang pemerintahannya, menurut media dan anggota gerakan perlawanan lokal.
Mengutip penduduk di wilayah Sagaing, BBC Burma, Radio Free Asia (RFA), dan portal berita Irrawaddy melaporkan antara 50 hingga 100 orang, termasuk warga sipil, tewas dalam serangan itu.
Reuters tidak dapat segera memverifikasi laporan tersebut dan juru bicara militer yang berkuasa tidak menjawab panggilan telepon untuk meminta komentar.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengutuk keras serangan itu dan meminta mereka yang bertanggung jawab untuk dimintai pertanggungjawaban, kata juru bicaranya, seraya menambahkan bahwa Guterres “menegaskan kembali seruannya kepada militer untuk mengakhiri kampanye kekerasan terhadap penduduk Myanmar di seluruh negeri.”
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta tahun 2021, dengan serangan oleh tentara etnis minoritas dan pejuang perlawanan menantang kekuasaan militer, yang ditanggapi dengan serangan udara dan senjata berat, termasuk di wilayah sipil.
Seorang anggota Pasukan Pertahanan Rakyat setempat (PDF), sebuah milisi anti junta, mengatakan kepada Reuters bahwa jet tempur telah menembaki sebuah upacara yang diadakan untuk membuka kantor lokal mereka.
“Sampai saat ini jumlah pasti korban masih belum diketahui. Kami belum bisa mengambil semua jenazah,” kata anggota PDF, yang menolak disebutkan namanya.
Setidaknya 1,2 juta orang telah mengungsi akibat pertempuran pasca kudeta, menurut PBB.
Insiden hari Selasa bisa menjadi salah satu yang paling mematikan di antara serangkaian serangan udara sejak jet tempur menyerang sebuah konser pada bulan Oktober, menewaskan sedikitnya 50 warga sipil, penyanyi lokal, dan anggota kelompok etnis minoritas bersenjata di Negara Bagian Kachin.
Pemerintah pro demokrasi Myanmar di pengasingan, Pemerintah Persatuan Nasional, mengutuk serangan itu, menyebutnya sebagai "contoh lain dari penggunaan kekuatan ekstrem (militer) yang membabi buta terhadap warga sipil."
Bulan lalu, setidaknya delapan warga sipil termasuk anak-anak tewas dalam serangan udara di sebuah desa di barat laut Myanmar, menurut kelompok hak asasi manusia, pemberontak etnis minoritas, dan media.
Militer membantah tuduhan internasional bahwa mereka telah melakukan kekejaman terhadap warga sipil dan mengatakan sedang memerangi "teroris" yang bertekad untuk mengacaukan negara.
Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi pada junta dan jaringan bisnisnya yang luas untuk mencoba menghentikan pendapatan dan akses senjata dari pemasok utama seperti Rusia. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...