Serat Menak
Karya sastra yang hampir terlupakan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gegarane wong akrami, dudu bandha dudu rupa, among ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen gampang luwih gampang, yen angel-angel kalangkung, tan kena tinumbas arta. Puteri Cina gelasaran melas asih, mara Kelaswara, pedhangen juren wak mami, aja andedana lara.
Kutipan di atas adalah penggalan kalimat dari cerita Menak yang pernah dikenal dan berkembang secara lisan di kalangan masyarakat penggemarnya. Pertunjukan wayang golek sendiri tersebar di berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, maupun Jawa Barat. Wayang golek didasarkan pada sumber cerita yang dipentaskan.
Cerita Menak didalam tradisi tulis terungkap di dalam Serat Menak, karya sastra Jawa bernafaskan Islam yang berisi kisah kepahlawanan tokoh cerita Amir Ambyah yang merupakan transformasi dari sastra Melayu Hikayat Amir Hamzah. Wiracarita lainnya adalah yang bersuasana Hindu dan epos yang berasal dan tumbuh berkembang dari negeri sendiri. Kisah kepahlawanan yang disebutkan pertama adalah Serat Menak, Serat Iskandar, dan Serat Yusuf. Wiracarita Wayang golek purwa yang berpredikat agama Hindu adalah Ramayana dan Mahabharata, sedangkan epos produk negeri sendiri adalah Serat Panji.
Cerita Menak di Indonesia dikenal melalui saduran-saduran yang disusun oleh Yasadipura I didasarkan pada karya versi Kartasura tulisan Ki Carik Narawita yang memiliki kedekatan dengan Hikayat Amir Hamzah. Serat Menak karya Yasadipura I diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam 24 bagian berdasar tokoh utama atau tempat yang menjadi sentral setting.
Pertunjukan Wayang Golek Menak mengangkat cerita Menak dalam bentuk lakon-lakon dan biasanya dipentaskan pada acara perhelatan semisal khitanan, pernikahan, kelahiran, bersih desa. Durasi dan lakon pergelaran biasanya antara 6 sampai 8 jam, namun untuk keperluan yang sifatnya tentatif disesuaikan dengan kebutuhan penanggap semisal untuk menghormati tamu yang dapat dipadatkan 2 jam bahkan ada yang hanya 15 menit.
Selasa (18/8) bertempat di Pendopo Agung nDalem Mangkubumen Yayasan Siswa Among Beksa pimpinan KRT Pujaningrat mementaskan salah satu cerita Serat Menak yakni lakon Menak Malebari yang mengisahkan perkawinan anak Wong Agung dengan anak Prabu Bawadiman dari Malebari.
"Pementasan kali ini sekitar 1,5 jam. Sebenarnya bisa lebih, tapi persiapan kemarin hanya dua minggu sehingga ada beberapa adegan yang dihilangkan namun tetap mempertahankan alur cerita aslinya." jelas KRT Pujaningrat atau biasa dipanggil Romo Dinu sesaat sebelum pementasan.
Setelah perkawinannya dan juga penobatannya sebagai raja di negara Kusnyamalebari, tantangan pertama pada pemerintahan Prabu Jayusman adalah akan direbutnya istrinya yang bernama Dewi Kun Maryati oleh Prabu Mulyatkustur dari negara Kobarsi. Prabu Jayusman merasa sangat dihina oleh Mulyatkustur, maka dilaporkannya perihal/permasalahan ini kepada Wong Agung Jayengrana.
Mendengar laporan tersebut Wong Agung Jayengrana marah dan merasa ditantang oleh Mulyatkustur yang dengan semena-menanya merebut istri orang, maka dengan menahan emosi berbicaralah Wong Agung Jayengrana kepada Adipati Umarmaya agar bersiap-siap dan waspada dikala para bala tentara Kobarsi datang menyerbu. Di negara Kobarsi sang Prabu Mulyatkustur semakin tidak mau tahu bahwa Dewi Kun Maryati telah menjadi permaisuri Prabu Jayusman, maka dengan emosi yang meledak ledak diutuslah Patih Waringatkustur untuk memimpin penyerbuan dalam merebut Dewi Kun Maryati ke negara Kusnyamaleberi.
Pertempuran antara negara Kusnyaamalebari dengan Kobarsi tak terelakkan, semua panglima saling mengadu kesaktiannya, para prajurit bertempur tumpah ruah di medan laga. Namun akhirnya takdir telah menentukan bahwa kebathilan akan sirna oleh perbuatan baik. Hancurlah negara Kobarsi dan takluk di hadapan Wong Agung Jayengrana.
Drs. Suparno (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta) selaku penanggungjawab pagelaran wayang wong gagrag Yogyakarta 2015 menjelaskan bahwa Serat Menak yang terdiri dari 24 cerita menjadi salah satu upaya yang strategis dalam mengembangkan wayang wong gagrag Yogyakarta diantara pementasan wayang wong pakem Ramayana maupun Mahabharata.
Dengan menyadur dari cerita Hikayat Amir Hamzah, meskipun telah mengalami penulisan ulang oleh Yasadipura I namun tetap memerlukan kreativitas dari para seniman wayang wong agar tercapai harmoni antara sendratari Golek Menak dengan lakon cerita yang dipentaskan, menjadi tantangan tersendiri mengingat semakin ditinggalkannya Serat Menak sebagai salah satu khasanah wayang wong di wilayah Yogyakarta. Keunikan wayang wong golek terletak pada tariannya yang kaku dan patah-patah menirukan gaya wayang golek, serta kostum dan tata rias dibuat semirip mungkin dengan karakter wayang golek.
Dalam perkembangan terakhir, Wayang Golek Menak dan Serat/Sastra Menak sebagaimana pertunjukan seni tradisi lainnya seolah mengalami mati suri. Menurunnya minat masyarakat menjadi awal mata rantai mati surinya pertunjukan seni tradisi. Kurangnya atau bahkan mungkin ketiadaan penonton menjadi disinsentif bagi seniman penyaji dalam berkreasi. Panggung sebagai ruang ekspresi menjadi pertaruhan berikutnya, sepinya tanggapan ataupun pertunjukan yang jarang dilakukan menjadi pintu bagi ambang kepunahan. Ketika panggung telah digelar, ketika alunan gamelan mengiringi tari mulai terdengar, apresiasi kehadiran masyarakat di bangku penonton adalah sebuah berkah bagi pelaku seni untuk menahan laju perjalanan pertunjukan seni tradisi dari kepunahan.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...