Seret Masjid ke Pusaran Politik Pilpres Rugikan Umat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dewan Masjid Indonesia berpendapat, menyeret masjid ke dalam pusaran politik Pemilu Presiden (Pilpres) akan merugikan umat. Ahmad Yani, Sekjen Departemen Dakwah dan Pengajian DPP Dewan Masjid Indonesia mengaku prihatin dengan politisasi yang terjadi di masjid. Ia khawatir ajakan mendukung capres tertentu mengakibatkan perpecahan bagi umat suatu rumah ibadah, karena pada kenyataannya tidak semua umat yang hadir memiliki kesamaan pendapat untuk memilih satu pasangan capres.
“Bisa jadi timses yang mendekati masjid atau pengurus masjid yang berpolitik,” ujar Ahmad Yani mengutarakan pendapat atas akar penyebab tidak sterilnya masjid dari kampanye, demikian disampaikan dalam acara dialog Agama dan Masyarakat di KBR dan TV TEMPO, Rabu (25/06).
Lukmanul Hakim, khatib sholat Jumat di Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat sempat ramai diberitakan dalam media massa, setelah seusai khotbah Sholat Jumat 20 Juni lalu mendoakan agar capres Prabowo Subianto terpilih sebagai presiden. Padahal, peraturan Komisi Pemilihan Umum KPU melarang kampanye di rumah ibadah.
Selain kasus di khotbah Jumat itu, ada permasalahan yang kurang lebih sama yakni dengan beredarnya tabloid Obor Rakyat yang memfitnah capres Joko Widodo tersebar di pesantren dan masjid-masjid.
Kedua capres, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto, gencar mendekati tokoh agama. Tujuannya agar para tokoh agama itu menggunakan pengaruh mereka untuk mengumpulkan suara bagi para kandidat RI-1 itu.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tegas melarang penggunaan rumah ibadah untuk berkampanye. Anggota Badan Pengawas Pemilu Bawaslu Daniel Zuchron mengatakan tempat ibadah, gedung pemerintahan dan tempat pendidikan tidak boleh dipakai untuk kegiatan yang ada embel-embel berbau kampanye.
“Bahan kampanye itu banyak dan itu sudah diatur. Jadi rumah ibadah, seperti masjid, harus benar-benar steril. Termasuk stiker pasangan capres,” kata Daniel Zuchron.
Tempat Ibadah Tidak Efektif untuk Kampanye
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta Alimun Hanif menyayangkan sikap tersebut karena menurunkan mutu demokrasi. Dalam politik, jelas Alimudin Hanif, ada kecenderungan para politikus meraup suara dengan jalan yang murah dan efektif, di antaranya berkampanye melalui jejaring SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) seperti rumah ibadah. Dengan jejaring itu, isu yang dihembuskan tak ayal berkaitan dengan SARA.
Menggunakan jalur agama untuk merangkul pemilih juga dinilai tidak efektif untuk mendongkrak suara. Hanif membenarkan, ada pasangan capres-cawapres yang menambah keterpilihan, menurut hasil segi, menggunakan pengumpulan suara cara ini. Hanif berpendapat tanpa eksplisit menyebutkan nama capres.
Suara yang datang itu diperkirakan berasal dari kelas menengah dan atas di perkotaan saja. “Pemilih dari kelas bawah cenderung peduli soal ekonomi. Agama menjadi pertimbangan nomor sekian,” kata Hanif.
Anomali Kelas Menengah Kota
Menurut Hanif, ada keanehan dari karakter kelas menengah kota di Indonesia. Kelas menengah tersebut tergolong pemilih rasional yang cenderung berhati-hati menentukan pilihan dan menunda bersikap hingga saat-saat akhir pemilu.
Namun, begitu dihembuskan isu agama, banyak dari kelas menengah ini lantas langsung bersikap reaktif dan dengan mudah mempercayainya. “Tidak semua kelas menengah itu cerdas. Kelas menengah itu hidupnya sekuler, tapi begitu berurusan dengan politik, tiba-tiba jadi puritan dan fundamentalis,” keluhnya tentang watak kelas tersebut.
Hanif mengingatkan, ada banyak faktor seseorang menentukan pilihan pada pasangan capres. Faktor-faktor itu antara lain kelas sosial dan latar belakang pendidikan. Agama, menurutnya, hanya satu dari sekian banyak faktor itu. “Mobilisasi agama asik diperbincangkan, tapi saya pesimis itu pengaruhi suara. Pemilih kita cerdas,” ungkapnya dengan nada optimis.
Bawaslu: Masyarakat Harus Berani Laporkan Pelanggaran
Badan Pengawas Pemilu mendorong masyarakat melaporkan jika menemukan adanya penggunaan tempat ibadah untuk kepentingan kampanye pemilu presiden. “Bawaslu tidak bisa usut kalau tidak ada orang yang lapor. Masyarakat diharap berani,” kata anggota Bawaslu Daniel Zuchron.
Menurutnya, laporan ke Bawaslu atau Panitia Pengawas Pemilu tidaklah rumit. Pelapor cukup membawa bukti, identitas jelas dan siap bersaksi. Laporan akan semakin gampang dibuktikan oleh Bawaslu, jika pelapor memiliki bukti kuat, seperti rekaman khotbah yang mengkampanyekan capres tertentu. Jika pelanggaran terus berulang, Bawaslu akan semakin memperberat sanksi bagi peserta pemilu tersebut. Sanksi paling akhir adalah diskualifikasi dari kepesertaannya dalam pemilu.
Zuchron membeberkan, tindakan kampanye seorang capres tidak mesti eksplisit. “Capres sholat di masjid ya silahkan. Tapi kalau berpidato, itu tidak boleh. Meskipun tidak eksplisit mengajak mencoblos,” kata pria berkacamata tersebut. Meskipun begitu, jika ada pengajian di luar rumah ibadah dan pasangan capres berkampanye, tindakan itu tidak melanggar aturan Undang-undang.
Dewan Masjid Indonesia mengatakan, masjid boleh saja berpolitik dalam menghadapi pemilu calon presiden kali ini. “Masjid boleh bicara politik, tapi jangan kampanye,” kata Ahmad Yani dari Dewan Masjid Indonesia. Ahmad Yani menambahkan, pengurus masjid tidak harus menyebut nama calon presiden, cukup pemimpin yang baik seperti apa. “Masjid harus punya rambu-rambu dan siapa yang melanggar harus dapat peringatan,” katanya mengingatkan. (portalkbr.com)
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...