Seribu Warna dan Nada untuk Tuhan: Musik dan Perenungan
SATUHARAPAN.COM – Apabila mendengar kata musik, maka yang terbayang adalah nama-nama terkenal seperti penyanyi papan atas dalam negeri, seperti Anang Hermansyah, Kris Dayanti, dan lain sebagainya, atau musikus luar negeri semacam Phil Collins, Lenny Kravitz, atau Yngwee Malmsteein, dan masih banyak lagi.
Akan tetapi saat ini sebagai bangsa Indonesia yang notabene relijius dan toleran, maka kita juga sesekali diharapkan melihat perkembangan musik rohani di tanah air.
Satu tokoh musik rohani Kristen di Indonesia, yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja adalah Pendeta (Pdt.) Jonggi August Uluan (J.A.U) Doloksaribu, M.Min.
Berbagai prestasi telah dia raih, termasuk salah satu karya fenomenal yang dia hasilkan bersama saudara kandungnya, Nurdin Doloksaribu adalah Music Box Gereja (MBG) yang kini digunakan sebagai pengiring lagu tanpa adanya kehadiran alat musik di sejumlah gereja di Indonesia, tidak hanya gereja yang berbudaya Batak.
Pendeta yang lahir di Toba Samosir ini memasuki masa emiritasi (pensiun) pada 9 Agustus 2014 lalu ini, pernah meraih berbagai prestasi di luar kegiatan rohani sehari-hari sebagai pendeta.
J.A.U yang menggemari musik dia buktikan dengan banyak mengarang lagu, termasuk lagu koor. Banyaknya lagu sebanding dengan penghargaan yang pernah dia raih pada lomba mengarang lagu gereja tingkat dunia United in Mission (UIEM).
J.A.U termasuk pendeta penerjemah paling banyak lagu-lagu gereja ke dalam bahasa Batak Toba Para sahabatnya sesama pendeta dan berbagai tokoh Kristiani Batak lainnya turut memberi apresiasi pada buku yang berjudul Jonggi JAU Doloksaribu: Seribu Warna dan Nada Untuk Tuhan.
Pada bagian pengatar dari editor buku ini (hal vii) dijelaskan alasan para editor memilih judul seribu warna dan nada untuk Tuhan karena JAU tidak hanya menggubah lagu atau bermain musik untuk Tuhan, melainkan juga berkhotbah, melayani, bersaksi dan mederita untuk kemuliaan-Nya. JAU bukan hanya pendeta melainkan juga pengarang lagu.
Jonggi bukan hanya pemimpin, melainkan juga sahabat, murid yang setia. Semua tugas dipersembahkannya dengan riang dan gembira.
Pada halaman editor buku ini dicantumkan nama-nama editor antara lain Pdt. Gomar Gultom, Pdt. Daniel TA Harahap, Pdt. Saut Sirait, Frangky Tampubolon, Hotman J. Lumban Gaol, Pdt. Herman Nainggolan.
Buku setebal 456 halaman ini tidak semua memuji-muji tentang peran seorang pendeta yang ditahbiskan pada 1976 ini dalam wawasan kegerejaan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Indonesia dan peran-peran penting lainnya dalam musik gerejawi, akan tetapi juga sumbangsih tulisan dari beberapa pendeta lain yang juga terkait dalam kehidupan J.A.U Doloksaribu selama hampir lebih dari 40 tahun pengabdiannya sebagai pendeta.
Pada bagian pengantar dari editor buku ini (hal vii) dijelaskan mengapa pendeta yang terkadang akrab disapa Jau (singkatan dari nama lengkapnya) atau Jonggi ini tidak hanya membatasi pada gereja dan musik.
“Kami menerima semuanya dengan sukacita dan menganggapnya kekayaan. Bukankah hidup dan pelayanan JAU sesungguhnya juga sangat kaya dan tidak bisa dibatasi hanya pada satu atau dua bidang saja? Bukankah JAU juga sangat antusias dan menaruh keprihatinan kepada teologi sosial dan isu-isu yang menyangkut lingkungan hidup, kemiskinan, dan pembebasan? Bukankah JAU tidak hanya asyik bermusik, namun secara sadar juga melibatkan dirinya dalam perjuangan menjunjung independensi gereja dan harus membayarnya dengan masuk penjara?,” demikian kutipan yang ditulis beberapa pendeta yang berfungsi sebagai editor dari buku tersebut.
Apresiasi dari Beberapa Tokoh
Dalam acara peluncuran buku ini, Pdt. Saut Sirait, rekan seperjuangan JAU Doloksaribu selama menjalani studi Teologi pada Jumat (8/8) memuji kecerdasan musik yang dimiliki Pdt. Jonggi.
“Sama lah abang ini seperti Bethoven, atau Sebastian Bach (komponis dunia). Karena dia (J.A.U Doloksaribu) mampu menciptakan sejarah dalam perkembangan musik gereja, tidak hanya di gereja Batak saja tetapi di seluruh Indonesia,” kata Saut, saat itu.
Saut Sirait beralasan bahwa pencipta lagu dalam suatu negara memiliki peran penting sebagai salah satu faktor penting aktor sejarah peradaban suatu bangsa. Tidak hanya itu, Saut mengatakan sebaiknya di denominasi gereja apa pun sebaiknya harus mau mengakomodir individu yang memiliki keterampilan atau bakat khusus seperti yang dimliki Pdt. JAU Doloksaribu ini.
Sementara dalam halaman (ix) dari pengantar buku ini, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. Andreas Yewangoe turut memberi apresiasi atas kerja keras Pdt. Jonggi.
“Kita sangat menghargai prakarsa dan berbagai usaha yang dilakukan oleh Pdt. J.A.U (Jonggi) Doloksaribu di dalam ia menerjemahkan, mengumpulkan dan menggubah berbagai nyanyian gerejawi, khususnya di lingkungan HKBP. Ia banyak mewarnai Buku Ende yang secara luas dipakai di lingkungan HKBP,” kata Andreas Yewangoe.
“Ia (Pdt. Jonggi) dikenal sebagai pencipta music box gereja (...). Itulah upayanya untuk memberdayakan jemaat. Ia merekam lagu-lagu tersebut di dalam satu laptop dan kemudian dari sana memandu dan mengiringi lagu-lagu tersebut tanpa pemain musik. Upaya seperti ini tidak boleh juga mengurangi daya kreatifitas anggota-anggota jemaat yang berbakat. Rasanya gereja perlu secara sangat serius merencanakan pendidikan ahli-ahli musik, kendati di dalam kenyataanya tidaklah selalu mudah juga. Maka upaya Pdt. J.A.U Doloksaribu dengan music boxnya memang patut dihargai, ketimbang tidak ada sama sekali yang mengiringi lagu-lagu pujian,” lanjut Andreas Yewangoe.
Sumbangan Tulisan
Buku ini terdiri dari beberapa bagian besar, yang pertama yakni kumpulan tulisan para sahabat, yang kedua yakni testimoni tentang Pdt. J.A.U Doloksaribu, yang ketiga adalah tulisan dan khotbah Pdt. J.A.U Doloksaribu, bagian keempat adalah riwayat hidup Pdt. J.A.U Doloksaribu yang ditulis oleh Hotman J. Lumban Gaol.
Salah satu tulisan yang berkaitan dengan spiritualitas pemuda yang ada di buku ini adalah yang ditulis oleh Pdt. Gomar Gultom yang kini masih menjabat Sekretaris Umum PGI.
Tulisan tentang pemuda ini berkaitan dengan Pdt. Jonggi karena menurut pengatar buku ini (hal vi) sosok pendeta yang menjadi suami dari Romauli boru Hutajulu ini tidak bisa dilepaskan dari dua pelayanan gereja HKBP yaitu pelayanan kaum muda (naposobulung) dan pelayanan musik gereja.
Dalam bagian sumbangan tulisan para sahabat, Pdt. Gomar Gultom menulis dengan judul Spiritualitas Pemuda HKBP dan Pelayanan Gereja menyebut bahwa permasalahan kepemudaan dan gereja dewasa ini adalah bagaimana gereja mengembangkan spiritualitas pemuda dalam pelayanan dan pembinaan pemudanya (hal.7).
Spiritual, bagi Gomar Gultom, adalah refleksi dari keterlibatan seseorang dalam sejarah. Itu mengena pada seluruh aspek kehidupan manusia sesehari. Hal ini tidak lepas dari sikap hidup seseorang terhadap Allah, manusia dan lingkungan sekitarnya.(hal.5).
Pelayanan kepemudaan sangat penting ditingkatkan karena merupakan fondasi dari gereja termasuk juga dengan musik. Gomar menambahkan bahwa idealisme dan kemandirian sebagai salah satu faktor penting membentuk mentalitas pemuda menuju kedewasaan.
“Kemandirian pemuda yang merupakan wujud dari kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus sesuai yang tertuang pada Efesus 4:13 antara lain teguh, tidak mudah diombang-ambingkan, bertumbuh dalam segala hal dan rapih tersusun. Dalam menuju kemandirian ini, pertumbuhan tersebut berakar dari dan dalam Kristus, serta ke arah Dia,” (hal.4).
Kemandirian semacam ini, menurut Gomar penting ditekankan dewasa ini karena sekularisme dan liberalisme perlahan-lahan semakin mudah dijumpai pada generasi muda.
Sementara itu sumbangan tulisan lainnya adalah dari Pdt (Em.) Soritua Albert Ernest (SAE) Nababan, Li.D yang menulis artikel tentang kekristenan yang berjudul Beberapa Catatan Sekitar Krisis HKBP dalam Tahun 80-90an.
Tidak hanya tentang masalah yang terjadi di dalam gereja, atau umat Kristen saja tetapi SAE Nababan menyoroti beberapa kebijakan tentang hubungan antar agama yang terjadi di Indonesia pada awal rezim Orde Baru. Termasuk juga negara yang terlalu sering ikut campur dalam urusan keagamaan, tidak hanya sebatas kalangan HKBP, tetapi juga umat Kristiani pada umumnya.
“Kebiasaan yang sudah dimulai pada zaman Orde Lama yaitu mengundang penguasa menghadiri sidang-sidang sinode dan konperensi atau seminar gereja dengan meminta memberi sambutan, tradisi ini diteruskan oleh Orde Baru bahkan ditingkatkan. Belakangan ‘kata sambutan’ secara-diam-diam diganti menjadi ‘pengarahan’, istilah militer yang secara sistematis memasuki kamus dunia sipil.” (hal.115).
Tidak hanya itu, SAE Nababan mengkritisi diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri pada 1969 yang berusaha mengatur kebebasan beragama di Indonesia dimana salah satu poin yang dianggap memberatkan yakni pemerintah mengatur syarat-syarat mendirikan rumah ibadah yang menggantungkan kebebasan beragama. (hal.114).
Berkaitan dengan itu, kesaksian Gomar Gultom tentang semangat kepemudaan yang membara untuk melawan rezim penguasa nampak dalam diri Pdt. Jonggi seperti yang tertuang pada artikel kesaksian pada halaman 225 berjudul. “Hidup Di Penjara: Harga Yang Harus Dibayar Untuk Menjejeri Langkahnya”.
Pdt. JAU atau Jonggi dijebloskan dalam penjara militer karena memimpin demonstrasi di depan Markas Komando Angkatan Darat I Bukit Barisan. Para demonstran yang semuanya merupakan pendeta mempersoalkan tentang masuknya salah satu pejabat militer dalam struktur kepemimpinan HKBP.
Sebagaimana tertuang dalam halaman 225 yang menyebut bahwa “para demonstran menginginkan Panglima Kodam I Bukit Barisan agar mencabut Surat Keputusan No.3/ XII/ 1992 tentang pengangkatan Pdt. Dr. Sountilon M.Siahaan menjadi pejabat Ephorus (pejabat tinggi) HKBP. Sesuatu yang dianggap absurd, baik dalam tata negara maupun tata gereja.
Panglima ABRI (kini TNI), Mayjend. Pramono melantik Pdt. Dr. Sountilon Siahaan menjadi pejabat Ephorus HKBP pada 31 Desember 1992 di Seminarium Sipoholon. Setelah melakukan pengintaian sejak lama, tentara akhirnya menangkap Pendeta JAU usai memimpin pemberkatan pernikahan jemaatnya pada 16 Januari 1993. (hal.229).
“Pendeta JAU dimasukkan ke dalam sel. Selama dua bela hari pertama, tidak selaipun dia dapat berhubungan dengan dunia luar, tidak juga menerima kunjungan. Badannya yang terasa remuk redam, dan luka memar yang memenuhi sekujur tubuh pun tak mendapat pengobatan sama sekali. Praktis dia dibiarkan! Dia ketakutan luar biasa, dan smeuanya serba tak ejlas dan tak pasti. Satu-satunya yang menghiburna adalah, bahwa di penjara bukan karena tindakan kriminal. Dia menghibur diri dengan usahanya memikul salib sebagai konsekuensi kesetiaanya mempertahankan eksistensi gereja di tengah kungkungan pemerintahan yang hegemoni dan militeristik. Dia juga menguatkan diri dengan mengingat beberapa nasehat yang sering dia terima dari Pdt. SAE Nababan antara lain: ‘Kalau kau merasa ketakutan, jangan ajak temanmu ikut takut, dan jangat buat temanmu takut!”. (hal.229).
Tidak ada tanggal yang jelas kapan Pdt. JAU Doloksaribu dibebaskan dari tahanan, pada halaman 231 menyebutkan bahwa Pdt Jonggi akhirnya dibebaskan dari tahanan karena tidak bisa diperpanjang lagi, sesudah diperpanjang berkali-kali.
Bagian ini terpenting dalam buku ini, karena menurut Gomar Gultom, JAU Doloksaribu kokoh memperjuangkan fondasi dasar dari HKBP. Lebih dari itu, Pdt. Jonggi adalah contoh koknkrit seseorang yang berhasil menyembuhkan lukanya, tetapi ada puluhan, ratusan bahkan ribuan warga yang hingga kini tidak berhasil mengatasinya karena terterkan oleh pengalaman yang traumatis. (halaman 232).
Bagian yang menarik lainnya dari buku ini adalah ditampilkannya beberapa khotbah Pdt. JAU Doloksaribu yang antara lain berjudul Pelayanan Remaja dan Pemuda HKBP Masa Kini, Pentingnya Nilai-Nilai dalam Pelayanan Oleh Pdt. JAU Doloksaribu, Peranan Musik dalam Pembinaan Jemaat, Khotbah Sulung Mahasiswa Tingkat IV pada Ibadah Pagi 23 Mei 1973.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...