Sering Bolos Kerja, Royani Akhirnya Dipecat Mahkamah Agung
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Terhitung sejak hari Jumat pekan lalu (27/5), Royani, supir pribadi Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman, telah diberhentikan dari pekerjaannya oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA).
“Betul, Royani telah dipecat oleh Bawas MA sejak hari Jumat pekan lalu,” ujar Suhadi, Juru Bicara MA, saat dikonfirmasi via telepon, pada hari Senin (30/5).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membutuhkan keterangan Royani sebagai saksi dalam pengusutan kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan tersangka Edy Nasution, Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, KPK ingin mengetahui sejauh mana keterkaitan Nurhadi dengan kasus ini.
Namun, diketahui, Royani dalam jadwal pemeriksaannya di KPK pada tanggal 29 April 2016 dan tanggal 2 Mei 2016 selalu mangkir tanpa memberikan alasan.
Ketika dikonfirmasi mengenai alasan pemecatan Royani, Suhadi mengatakan Royani telah kerap kali membolos dari pekerjaannya.
“Sudah 42 hari yang bersangkutan tidak masuk kerja tanpa alasan yang jelas,” ujar Suhadi.
Hingga kini, dikatakan oleh Ketua KPK, Agus Rahardjo, Royani masih dalam pencarian penyidik KPK.
“Royani merupakan pihak yang penting. Sudah banyak data yang ditemukan oleh penyidik. Kita akan tetap berusaha menemukan Royani,” ujar Agus, di Jakarta, hari Senin (30/5).
Suhadi turut menyatakan bahwa MA akan tetap merekomendasikan kepada Royani untuk segera memenuhi panggilan penyidik KPK sebagai saksi dalam penuntasan kasus ini.
“Jika yang bersangkutan datang ke MA, kami akan mengimbau agar dia mau memenuhi panggilan KPK, tapi jika tidak, MA tidak mempunyai intel atau orang untuk mencari Royani,” katanya.
Penyidik KPK menduga ada pihak yang berupaya menyembunyikan Royani agar terhindar dari pemeriksaan. Bahkan, penyidik menduga ada campur tangan dari Nurhadi dalam upaya tersebut.
KPK, dalam pengembangan kasus ini juga menduga terdapat lebih dari satu pengamanan perkara yang dilakukan oleh Edy. Salah satu yang diduga diamankan oleh Edy adalah terkait pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Kymco Lippo Motor lndonesia.
Saat ditanya ihwal ada tidaknya pemanggilan terhadap petinggi Lippo, Agus belum mengiyakan.
“Belum-belum,” ujar Agus singkat.
Dalam kasus ini, dikatakan pula oleh Agus bahwa telah dilakukan pendalaman kasus dengan keterangan-keterangan yang diperoleh dari saksi.
“Dari pemeriksaan sudah banyak hal kan. Data dari Lippo dan saksi-saksi kemarin kan sudah banyak,” katanya.
Sebelumnya, tim satgas KPK pada hari Rabu (20/4) menangkap Edy dan Doddy Arianto Supeno, pihak swasta, dalam operasi tangkap tangan (OTT) di sebuah hotel di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Edy diduga menerima uang suap terkait pengajuan peninjauan kembali dua perusahaan dalam perkara perdata dua perusahaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Uang suap yang diamankan bersama keduanya kala itu sejumlah Rp 50 juta dalam bentuk pecahan uang Rp 100.000. Namun, sebelumnya, pada bulan Desember 2015, telah ada pemberian pertama sebesar Rp 100 juta dari total komitmen pemberian suap sebesar Rp 500 juta.
Doddy yang diduga sebagai pihak perantara pemberi suap disangkakan dengan Pasal 5 Ayat 1 Huruf a Pasal 5 (1) Huruf b dan atau Pasal 13 UU Tipikor Nomer 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Nomer 20 Tahun 2001 Jo Pasal 64 KUHP Jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUH Pidana.
Edy yang diduga sebagai pihak penerima suap disangkakan dengan Pasal 12 a dan atau b dan atau Pasal 13 UU 31 UU Tipikor Nomer 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Nomer 20 Tahun 2001 Jo Pasal 64 KUHP Jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUH Pidana.
Selain itu, KPK telah menggeledah rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Penyidik KPK menyita Rp 1,7 miliar yang terdiri atas US$ 37.603 atau Rp 496 juta; Sin$ 85.800 atau Rp 837 juta; 170 ribu yen atau Rp 20,244 juta; 7.501 riyal atau Rp 26,433 juta; 1.335 euro atau Rp 19,9 juta; dan Rp 354,3 juta.
“Ini adalah kewenangan penyidik KPK dan sampai sekarang masih diselidiki uang tersebut,” ujar Yuyuk Andriati Iskak, pelaksana harian Kabiro Humas KPK, hari Kamis (28/4), di gedung KPK Jakarta.
Selain melakukan penggeledahan di rumah Nurhadi, penyidik KPK kala itu juga menggeledah tiga lokasi lain, yakni kantor PT Paramount Enterprise International yang berlokasi di SCB Gading Serpong Boulevard Kelapa Dua Serpong, kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan kantor Nurhadi di Mahkamah Agung.
Dari tiga lokasi lain itu, penyidik KPK menyita dokumen dan sejumlah uang.
Nurhadi sudah dilarang berpergian ke luar negeri selama enam bulan mulai tanggal 21 April 2016. KPK mencekal Nurhadi agar ketika sewaktu-waktu penyidik membutuhkan keterangan, Nurhadi sedang tidak berada di luar negeri.
Editor : Bayu Probo
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...