SETARA: Revisi UU Terorisme adalah Pemikiran yang Malas
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, menilai wacana pemerintah merevisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidak Pidana Terorisme untuk menambah wewenang Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai pemikiran yang malas dan ingin mencari jalan pintas saja.
"Itu pemikiran yang mencari short cut dan juga malas," ujar Bonar usai konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, hari Senin (18/1).
Dia menjelaskan, kewenangan intelijen yang ditambahkan seperti penangkapan dan penahanan sosok yang dianggap berpotensi melakukan aksi terorime akan mengganggu kewenangan sipil dan hak asasi manusia (HAM).
Selain itu, menurut Bonar, di beberapa negara, kewenangan seperti itu sering disalahgunakan pemimpin yang berkuasa sebagai senjata menangkap lawan politik. "Tidak bisa demokrasi dibatasi dengan alasan apa pun," ucapnya.
Bonar mengatakan, penambahan wewenang BIN untuk menangkap dan menahan seseorang sebenarnya bertentangan dengan prinsip negara demokrasi. Sebab, bahan penyidikan intelijen tidak dapat dibuka di pengadilan.
Akibatnya, seseorang yang ditahan tidak dapat mencari kepastian hukum.
"Malaysia memang tidak terdengar ada aksi teror karena intelijen punya wewenang lebih. Tetapi, di sana, seseorang bisa ditangkap selama dua tahun tanpa proses peradilan," kata Bonar.
Bonar juga menilai, rencana revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidak Pidana Terorisme perlu memperhatikan hal-hal tersebut agar tidak merugikan masyarakat. Penegak hukum dan intelijen juga disarankan untuk lebih meningkatkan kemampuan sumber daya dalam menangkal aksi terorisme.
Merusak Sistem
Senada, Ketua SETARA Institute, Hendardi, juga menolak usul agar BIN memiliki kewenangan menangkap setiap orang yang dicurigai akan melakukan aksi teror. Menurutnya, usulan itu berpotensi merusak sistem penegakan hukum di Indonesia.
"Ketidakmampuan BIN mendeteksi potensi teror bukan karena keterbatasan kewenangan tetapi karena kinerja institusi ini yang belum optimal," katanya.
Dia mengingatkan , tugas BIN adalanh mengumpulkan informasi dan berkoordinasi dengan aparat hukum lain untuk menindak. Dengan kata lain, peran vital BIN terletak pada koordinasi.
"Kalau BIN jalan sendiri, maka sulit BIN bisa berkontribusi dalam penanganan kasus-kasus seperti ini. Gejala BIN jalan sendiri tampak jelas dalam penanganan kelompok Din Minimi di Aceh," tuturnya.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...