SETARA Setuju IDI Tolak Eksekusi Kebiri
SATUHARAPAN.COM – Ketua SETARA Institute Hendardi mendukung Ikatan Dokter Indonesia yang menolak menjadi pelaksana hukuman kebiri.
Bahkan, menurut Hendardi, Senin (13/6) penolakan tidak hanya untuk pelaku anak di bawah umur, tapi juga untuk semua pelaku. “Hukuman Kebiri adalah jenis corporal punishment atau physical punishment atau hukuman badan ala jahiliyah. Hukuman jenis ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk kategori kejam, inhuman, dan merendahkan martabat manusia yang artinya menabrak instrumen internasional, konstitusi, dan undang-undang kita, seperti UU HAM, UU Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, dan sebagainya.”
Penolakan IDI ini didasarkan atas kemanusiaan dan sejalan dengan penolakan segala jenis hukuman badan yang tidak manusiawi yang juga ditentang oleh hukum HAM. Perppu no. 1/2016. “Ini yang pasti akan menjadi persoalan serius Presiden Jokowi di forum internasional,” Hendardi menambahkan.
Ia menyarankan, “Sesungguhnya akan lebih bermanfaat Jokowi memprioritaskan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibanding mendengarkan masukan kelompok-kelompok yang gemar dengan kampanye anti HAM yang hanya haus pencitraan untuk memberlakukan Perppu tersebut.” Hendardi juga mendorong DPR menghentikan pembahasan Perppu.
Kamis lalu, Antara memberitakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak dilibatkan sebagai eksekutor hukuman kebiri yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 karena tidak sesuai dengan kode etik kedokteran.
“Ikatan Dokter Indonesia mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak,” kata Ketua Umum IDI Prof. Dr Ilham Oetama Marsis di Jakarta.
Namun, ia mengemukakan, adanya sanksi tambahan berupa kebiri kimia yang mengarahkan dokter sebagai eksekutor sanksi, maka didasarkan fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia yang juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kedokteran Indonesia membuat IDI menyampaikan agar pelaksanaannya tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor.
IDI mendorong keterlibatan dokter dalam hal rehabilitasi korban dan pelaku. Rehabilitasi korban, menurut Ilham, menjadi prioritas utama guna mencegah dampak buruk dari trauma fisik dan psikis yang dialaminya.
“Rehabilitasi pelaku diperlukan untuk mencegah kejadian serupa dilakukan kembali yang mengakibatkan bertambahnya korban. Kedua, rehabilitasi membutuhkan penanganan komprehensif melibatkan berbagai disiplin ilmu,” katanya.
Kebiri kimia, dinilainya, tidak menjamin berkurangnya hasrat dan potensi perilaku kekerasan seksual pelaku.
Oleh karena itu, IDI mengusulkan agar pemerintah mencari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan.
Editor : Eben E. Siadari
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...