Setelah Hilangnya Topeng Monyet
Topeng monyet membenarkan kekerasan terhadap yang lain demi kepuasan diri.
SATUHARAPAN.COM – Tentu kita masih ingat salah satu gebrakan Joko Widodo beberapa tahun lalu, saat itu masih Gubernur DKI Jaya. Ia menghapuskan pertunjukan topeng monyet, yang merupakan salah satu hiburan favorit anak-anak, dan merelokasi monyet itu ke tempat perlindungan satwa. Kebijakannya waktu itu sempat melahirkan polemik. Disadari atau tidak, polemik yang muncul dipengaruhi oleh pertarungan nilai.
Pertarungan nilai pertama adalah antara nilai kemanusiaan dan nilai ekonomi pragmatis. Sepintas, topeng monyet menguntungkan semua orang. Penonton pun senang melihat sirkus tanpa harus pergi jauh, dengan uang saweran seadanya. Pawang monyetnya juga senang dapat rezeki. Hanya monyetnya yang disiksa. Namun, pembiaran penyiksaan hewan ini merupakan benih terkikisnya rasa kemanusiaan, yang dapat berkembang menjadi (pembiaran) penyiksaan terhadap orang yang lebih lemah.
Pertarungan nilai kedua adalah antara nilai adat kebiasaan vs nilai kesehatan manusia. Sebagai sebuah tontonan yang bersifat budaya, topeng monyet merupakan pertunjukan seni tradisional sebagaimana tari-tarian dan pencak silat. Namun, tak semua tahu bahwa ini sebenarnya budaya impor yang berasal dari pertunjukan sirkus di Eropa. Di sini karena monyet umumnya tidak divaksin, maka setelah dirazia ternyata banyak yang ditemukan terjangkit penyakit, dari TBC hingga hepatitis C, bahkan D. Penyakit berbahaya ini rawan ditularkan ke manusia. Tak jarang kebiasaan dianggap lebih penting daripada perlindungan kemanusiaan. Jika tiap kebiasaan selalu tabu untuk diubah, maka tidak akan pernah ada perubahan yang lebih baik.
Pertarungan nilai ketiga, yang tak kalah penting, adalah antara nilai (rekayasa) pertunjukan dan nilai otentisitas. Topeng monyet tidak menempatkan monyet sebagai monyet, melainkan sebagai budak yang dipaksa dengan ancaman dan siksaan. Mengejutkan bahwa topeng monyet sebenarnya mencerminkan jiwa para penikmat yang suka yang unik dan heboh, meski tidak otentik.
Itu bahkan terjadi dalam kehidupan beribadah. Itulah latar belakang Allah menegur Sodom, melalui Nabi Yesaya, ”Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya” (Yes. 1:14). Ternyata Sodom saat itu ditegur Allah bukan karena adanya LGBT, melainkan karena kekejaman dan hilangnya kemanusiaan mereka demi mencapai kepuasan diri.
Hilangnya topeng monyet dari DKI, lepas dari setuju atau tidak, mendorong kita untuk melepaskan ”topeng” budaya kekerasan dan mengembangkan kepedulian kemanusiaan.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...