Setelah Paskah
Semoga derita Sang Penebus tidak hanya mengharu biru seperti musim yang silih berganti.
SATUHARAPAN.COM – Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan puncaknya Hari Paskah menjadi rangkaian kegiatan keagamaan umat Kristen. Panitia, paduan suara, pemain drama, pembuat dekorasi, sampai pengisi konsumsi yang sudah mempersiapkan diri dari beberapa bulan sebelumnya, menyambut hari H dengan semangat. Rapat demi rapat, latihan demi latihan, akhirnya selesai.
Adegan drama penyaliban Yesus yang setiap tahun diperagakan dengan polesan beberapa variasi, dibuat sedemikian tragis dan memancing lara. Semakin sedih warga jemaat yang menonton semakin dirasa berhasil, dan membuat senyum para pelaga di belakang layar. Dekorasi batu besar kubur kosong serta nuansa gelap ikut membuat suasana mencekam. Dan puncaknya saat Paskah tiba, lagu-lagu pujian pun beralih ke tempo yang lebih cepat.
Dalam sebuah grup media sosial, seorang teman mengingatkan agar daun-daun palem yang sudah diberkati di gereja, dipasang di patung salib, untuk dibakar pada Rabu Abu tahun berikutnya. Tiba-tiba ada seorang teman yang menanggapi, ”Wah, maaf, karena tidak tahu, daun-daun palem itu sudah dibuang ke tempat sampah.”
Kemudian teman yang lain mengingatkan agar memakai baju putih saat ibadah Kamis Putih, memakai baju gelap saat Jumat Agung, dan baju terang saat Paskah, supaya tidak terjadi kesalahmengertian seperti kasus daun palem yang dibuang ke tempat sampah. ”Oh, untuk ibadah pun ada dress code-nya, bagaimana bila salah dress code?” celetuk yang lain. ”Ya, makanya diinformasikan dulu, supaya kamu enggak salah dress code,” jawabnya. Kesibukan ternyata tidak hanya dirasakan panitia, penatua, dan pendeta, tetapi juga warga jemaat.
Sedangkan grup media sosial yang lain dipenuhi dengan diskusi asal mula kata easter dan passover, ada yang mengatakan tidak boleh mengucapkan happy easter karena dari kata Ishtar, ada juga yang membantahnya. Diskusi yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan biasanya diskusi ini lenyap setelah paskah, kemudian muncul lagi menjelang paskah.
Lalu setelah paskah, apakah yang terjadi? Apakah butiran air mata yang menggenang melihat derita yang telah dilakukan Sang Penebus itu hanya hadir pada perayaan Paskah? Apakah salib besar, mahkota duri, dan kostum-kostum para murid Yesus, hanya menjadi dekorasi Paskah yang sekarang masuk gudang untuk ditampilkan kembali pada paskah tahun berikutnya? Apakah warga lonjakan jemaat yang hadir saat ibadah Jumat Agung dan Paskah akan kembali menurun setelah paskah, kemudian melonjak lagi pada Paskah tahun mendatang?
Selamat menjalani hidup setelah Paskah. Semoga derita Sang Penebus tidak hanya mengharu biru seperti musim yang silih berganti.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...