Siadji Simatupang: Ayah Saya Adalah Pahlawan Bagi Keluarga
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Siadji Sondang Parluhutan Simatupang atau yang akrab disapa Adji, salah satu putera dari Pahlawan Nasional Letjen (Purn.) Tahi Bonar (TB) Simatupang, mengatakan bahwa sosok almarhum TB. Simatupang merupakan sosok pahlawan tidak hanya bagi bangsa, tetapi secara khusus merupakan sosok yang dia anggap sebagai pahlawan bagi keluarga. Siadji mengatakan demikian saat berbincang langsung dengan satuharapan.com pada Sabtu (9/11) di kediamannya di Kemang, Jakarta.
Perbincangan ini erat kaitannya dengan pemberian gelar pahlawan nasional yang telah dilakukan pemerintah kepada tiga pahlawan, yang telah dilakukan Jumat (8/11), oleh Presiden.
Pemerintah telah memberikan tiga gelar Pahlawan Nasional kepada Lambertus Nicodemus Palar, Radjiman Widjodiningrat, dan Letjen (Purn.) TB Simatupang sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 68/TK/tahun 2013, tertanggal 6 November 2013.
“Saya sebagai anak melihat bahwa ayah saya adalah pahlawan bagi keluarganya, sama seperti anak saya melihat saya pahlawan bagi keluarga saya,” kata Siadji.
Siadji bersama dengan kedua saudara kandungnya pernah sempat tidak percaya diri apakah ayahnya akan diberi gelar pahlawan nasional sejak wafat TB Simatupang wafat pada 1990.
Tuhan memberi karunia Pasangan TB Simatupang dan Sumarti Budiardjo empat orang anak, Marsinta Hatigoran, Toga, Siadji Sondang Parluhutan Simatupang, dan Ida Apulia. Salah seorang diantaranya telah meninggal dunia.
TB Simatupang dan Sumarti diberi oleh Tuhan karunia empat orang cucu, mereka adalah Satria Mula Habonaran (anak pertama Siadji), Larasati Dameria (anak kedua Siadji), Kezia Sekarsari (anak dari Ida Apulia), serta Hizkia Tuah Badia (anak dari Marsinta Hatigoran).
“Kami sekeluarga (Siadji dan kedua saudara kandungnya) tidak terbayang juga tentang peristiwa penganugerahan ini, kami tidak bisa menyangka, karena setelah sekian lama sejak ayah saya wafat, kami sempat tidak yakin apakah dia diberi anugerah pahlawan nasional atau tidak,” tutur Siadji.
Semasa kecil dan remaja Siadji dan kedua saudara kandungnya tahu tentang ayahnya merupakan pejuang yang pernah mendapat penghargaan khusus karena berjuang bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman.
“Yang kita tahu bahwa ayah saya dulu ikut perjuangan dan pernah dianugerahi bintang gerilya, nah kalau orang memiliki bintang gerilya, pasti dia akan dimakamkan nantinya di Taman Makan Pahlawan (TMP) Kalibata,” lanjut Siadji.
TB Simatupang pernah menjabat beberapa posisi penting periode Indonesia mempertahankan kemerdekaan, antara lain; Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI, Kepala Staf Angkatan Perang RI, Penasihat Militer Departemen Pertahanan RI.
Siadji mengatakan TB Simatupang mengundurkan diri dengan pangkat Letnan Jenderal dari dinas aktifnya di kemiliteran pada 1959. Sehingga Siadji tidak dapat menguraikan secara mendetail karir militer TB Simatupang, Siadji mengatakan kini banyak sumber yang menceritakan sepak terjang TB Simatupang semasa hidup di dunia militer.
Pada kesempatan tadi, Siadji menolak berkomentar mengenai pemberian gelar ini wajar diberikan kepada TB Simatupang atau tidak.
“Kalau dibilang wajar atau tidak wajar pemberian gelar ini, maka saya tidak dalam kapasitas mengatakan seperti itu. Karena sangat subyektif,” lanjut Siadji.
Siadji dan segenap keluarga bangga terhadap pengabdian yang telah dilakukan ayahnya, hingga diberi gelar pahlawan nasional. Siadji mengaku tidak tahu siapa saja yang terlibat dan mengusulkan gelar pahlawan nasional kepada ayahnya, yang pernah menjadi asisten Panglima Besar Jenderal Sudirman tersebut.
“Kita semua sekeluarga bangga dan bersyukur bahwa pengabdian yang dilakukan ayah kami sampai diberi gelar pahlawan nasional.
Tetapi dalam prosesnya kita tidak tahu siapa saja yang terlibat dalam pemberian gelar pahlawan nasional tersebut, beberapa minggu yang lalu saya sudah dengar,” lanjut Siadji.
Siadji bersama dua saudara kandungnya berpesan kepada anak-anaknya untuk meneladan sikap gigih dan pantang menyerah dari almarhum TB. Simatupang.
“Bagi kami sekeluarga besar kalau bisa mengikuti pengabdian ayah kami, baik pada saat perjuangan melawan belanda maupun saat mengisi kemerdekaan,” kata Siadji.
Memberi Manfaat
Menurut Siadji pengabdian seseorang kepada negara, sudah seharusnya diberi apresiasi penghargaan yang baik kepada siapa saja yang berkontribusi, mau dan mampu memberikan hasil karyanya bagi orang banyak.
“Pemberian gelar ini menurut saya tidak untuk siapapun, ini merupakan suatu penghargaan dari negara bagi mereka yang berjasa bagi negara. Jadi, sederhana saja, bukan soal manfaat atau tidak bermanfaat. Jadi ini merupakan apresiasi bagi perjuangan kemerdekaan, sekaligus memberi semangat bagi generasi sekarang yang mengisi kemerdekaan,” kata Siadji.
Siadji mengatakan penghargaan ini tidak ditujukan bagi keluarga semata, tetapi memang sosok pahlawan saat ini tidak hanya ada di keluarga besar TB Simatupang saja, tetapi di setiap keluarga di Indonesia, setiap orang dapat menjadi sosok pahlawan bagi keluarganya masing-masing.
“Penghargaan ini bukan sebuah penghargaan yang khusus untuk keluarga, jadi siapa pun mendapat manfaatnya terlihat bagi semua orang. Melalui penghargaan ini kita dapat meneladani bahwa negara ini memang menghargai orang-orang yang mempunyai kesempatan dan kemampuan berbagi dan berbakti bagi negara,” kata Siadji.
Saat ditanya mengenai pandangan para cucu tentang sosok opung (kakek) yang kemarin menerima penganugerahan Pahlawan Nasional dari Pemerintah Republik Indonesia tersebut, Siadji menjawab bahwa para cucu sudah diberitahu, tetapi kebetulan sedang tidak di Indonesia.
“Kalau mengenal secara personal kedekatan para cucu, mereka belum terlalu banyak mengenal siapa opungnya, karena cucu pertama dan kedua pak TB Simatupang, anak saya yang pertama, Satria Habonaran lahir tahun 1988, sekarang jadi dokter di Kalimantan sementara anak saya yang kedua, Larasati Dameria, lahir tahun 1989, sekarang sedang di Belanda. Nah, saat itu mereka belum tahu banyak bahwa tentang kakeknya tokoh besar, karena saat itu usia mereka belum cukup dewasa, sedangkan opung mereka telah wafat pada 1990,” tutup Siadji.
Tahi Bonar Simatupang atau yang akrab dipanggil Pak Sim, lahir di Sidikalang, Sumatera Utara pada 28 Januari 1920. Pak Sim adalah tokoh militer, dan gereja di Indonesia.
Pak Sim menghembuskan nafas terakhir pada 1 Januari 1990, saat beliau memasuki usia 69 tahun.
TB. Simatupang menamatkan pendidikannya di HIS Pematangsiantar pada 1934, dan kemudian dia juga menamatkan pendidikannya di MULO Tarutung 1937, kemudian dia menyelesaikan studinya di AMS, Jakarta pada 1940. Simatupang mendaftarkan diri dan diterima di Koninklije Militaire Academie (KMA)— akademi untuk anggota KNIL, di Bandung dan selesai pada 1942, bertepatan dengan masuknya tentara Jepang ke Indonesia yang kemudian merebut kekuasaan dari pihak Belanda.
Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Simatupang turut berjuang melawan penjajahan Belanda. Ia diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI (1948-1949) dan kemudian dalam usia yang sangat muda (29 tahun) ia menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950-1954). Pada tahun 1954-1959 ia diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Ia kemudian mengundurkan diri dengan pangkat Letnan Jenderal dari dinas aktifnya di kemiliteran karena perbedaan prinsipnya dengan Presiden Soekarno pada waktu itu.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...