Sidang Penetapan Upah Provinsi Jakarta, Wakil Buruh Walk Out
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Demo buruh di depan gedung Balai Kota DKI Jakarta yang tengah berlangsung beberapa hari ini. Pada Rabu (30/10), sidang penetapan UMP (Upah Minimum Provinsi) dari Dewan Pengupahan, menurut Priyono selaku Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta, buruh yang hadir hanya seorang, namun ia langsung melakukan walk out.
"Baru unsur pemerintah, pengusaha, pakar dan akademisi. Yang dibahas penjelasan tentang pertumbuhan ekonomi khususnya di DKI. Mestinya hari ini ada penetapan ump untuk tahun 2014, tapi kita lihat nanti keputusannya, karena saya belum tahu." tandas Priyono.
Salah satu perwakilan dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), Asrial Chaniago mengatakan, "Kita hari ini bicara mengenai KHL (kebutuhan hidup layak). KHL pada minggu lalu sudah disepakati Rp 2.299.000. Hari ini rencananya menetapkan UMP tapi karena unsur buruh tidak ada yang datang, sehingga itu tidak memenuhi kuorum sidangnya, maka sidang harus ditunda,"
Asrial menjelaskan bahwa tadinya pihaknya berharapkan bisa memutuskan hari ini, tapi unsur buruh tidak datang, hanya ada satu yang datang, yaitu Pak Usman.
"Ini sudah ditunda dua kali, diskorsing dua kali. Ini yang ketiga. Kalau sampai sidang ketiga mereka juga tidak datang, kita harus mengambil sikap, ini mau diteruskan atau ditunda besok. Cuma ingat, bahwa maksimal besok harus diputuskan, karena Gubernur harus mengumumkan tanggal 1 November. Kita punya tatib (tata tertib), kalau sidang diundur-undur terus ada tatibnya mengatakan bahwa dua unsur boleh memutuskan UMP, karena kalau tidak begitu, satu unsur ini bisa menggagalkan sidang," tuturnya.
Asrial juga menjelaskan, ada tatib yang mengatakan jika satu unsur karena beberapa alasan tidak bisa hadir berulang-ulang, itu bisa diputuskan oleh dua unsur. "Buktinya tahun lalu, Apindo sendiri walk out terus, tapi tetap diputuskan dua unsur tersebut. Jadi dalam tatib, kalau tiga kali tidak datang, akan bisa diputuskan oleh dua unsur." tegas Asrial.
Mengenai KHL sendiri menurut pendapat Asrial, itu adalah hasil survey fakta di lapangan, ada beberapa komponen yang beda penafsiran. "Misalnya rumah, survey mengatakan hanya Rp. 565.000, tapi serikat mengatakan satu juta. Ini kan, kembali ke persoalan, di daerah mana surveynya? Berapa besar kamarnya? Misalnya kamar di Setiabudi dengan Pulogadung beda harganya, di Setiabudi dua juta per bulan, sedangkan di Pulogadung 300, hal begitu yang harus kita cermati. Akhirnya terjadi negosiasi Rp. 671.000 kalau tidak salah, jatuhnya KHLnya jadi Rp. 2.299.000,"
Mengenai angka 3,7 juta yang dituntut buruh, berdasarkan Asrial, itu disurvey oleh buruh ke pasar. Pihaknya pun membenarkan bahwa mereka mendapat angka segitu, tapi ia pun masih mempertanyakan metodenya seperti apa. "Mereka menggunakan komponen KHL lebih banyak termasuk pulsa handphone, lisptik, termasuk komponen misalnya kredit motor, ini pasti akan lain surveinya."
"Hanya saja masalahnya komponen KHL ditentukan oleh pemerintah lewat Kemenakertrans, seharusnya anggota Dewan Pengupahan dari unsur pekerja mematuhi itu, jadi tidak perlu ditambahkan dengan yang lain,"
Oleh karena itu, lanjut Asrial, kembali kepada aturan yang ada, kalau para buruh menginginkan survei dengan 83 komponen, silahkan ajukan ke pemerintah dan ubah Permanakertrans-nya dulu.
Tim survey mewakili tiga unsur, yaitu serikat buruh, pemerintah dan pengusaha. Mereka ke pasar menggunakan jumlah 60 komponen, sampai komponen terkecil misalnya pakaian dalam, daging dan lain sebagainya. Kemudian mereka mendapat angka dan disepakati bahwa ini adalah hasil survey.
Berdasarkan informasi terakhir dari Asrial, keputusan sedang Dewan Pengupahan diundur sampai Kamis (1/11) pukul 15.00 WIB.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...