Sidney: Perempuan Dimanfaatkan ISIS karena Jarang Dicurigai
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti terorisme internasional Sidney Jones mengatakan, ISIS memanfaatkan perempuan dalam aksi teror karena kecurigaan publik terhadap mereka rendah.
"ISIS, dengan sengaja menggunakan perempuan karena dianggap sebagai orang yang tidak akan dicurigai kalau masuk daerah tertentu," kata Sidney di Jakarta, Selasa (22/5).
Ia juga membenarkan, ISIS saat ini memberikan peran yang lebih strategis kepada perempuan dalam aksi terorisme.
Sidney mengatakan, ISIS atau kelompok ekstremis lain pada awalnya, tidak melibatkan perempuan dalam aksi kekerasan yang kerap diistilahkan sebagai "jihad".
Kaum Hawa, kata dia, awalnya dimasukkan ke dalam kelompok teroris itu agar tetap ada yang menjaga anak-anak serta keturunan dari para teroris yang tewas dalam melancarkan aksinya.
"Saya kira ada evolusi. Perempuan dalam terorisme kemudian kita lihat sebagai kurir. Ia juga jadi ustazah dan pencari dana untuk melakukan aksi," kata dia.
Namun, berkaca pada kasus peledakan bom yang terjadi di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5), diketahui bahwa saat ini ISIS sudah memperbolehkan perempuan untuk menjadi eksekutor.
Dengan melihat fakta tersebut, Sidney menilai kelak peran perempuan yang bergabung di kelompok teroris akan terus berkembang. Bahkan, kemungkinan juga bisa memiliki posisi yang sentral.
Kemungkinan Libatkan Anak
Sementara itu, mengenai tren aksi bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak, Sidney memperkirakan tidak akan terjadi lagi.
"Kemungkinan kecil (pelibatan keluarga termasuk anak) akan terjadi lagi," kata dia mengomentari tiga keluarga yang tewas dalam tiga peristiwa bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo.
Pihaknya pun, tidak habis pikir ketiga keluarga itu tega mengorbankan anak-anak mereka sebagai bomber karena hal itu di luar kebiasaan kaum ekstremis.
Menurut dia, aksi ketiga keluarga yang mengorbankan nyawa mereka dan keluarganya dalam tiga peristiwa bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, tidak akan diikuti para ekstremis lain.
"Bukan berarti sekarang hingga dua tahun ke depan akan lebih banyak keluarga yang bergerak seperti tiga keluarga di Surabaya, karena orang ekstremis pun tidak mau mengorbankan anaknya," katanya.
Sepekan lalu, pada 13 Mei 2018, kota Surabaya diguncang serangan bom bunuh diri. Bom pertama meledak di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno yang mengakibatkan korban tewas mencapai 14 orang, termasuk para pelaku diduga berjumlah enam orang yang merupakan satu keluarga, sedangkan korban luka-luka tercatat mencapai 41 orang.
Selang 14 jam kemudian, ledakan bom terjadi di Blok B Lantai 5 Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Ledakan itu merenggut tiga nyawa yang merupakan satu keluarga terduga teroris yang akan melakukan serangan bom.
Pada 14 Mei 2018, juga terjadi bom bunuh diri di pintu masuk kantor Mapolrestabes Surabaya yang mengakibatkan empat pelaku tewas, dan masyarakat serta polisi yang ada di sekitar ledakan juga terluka.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, pasca bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, kepolisian dibantu TNI telah melakukan penindakan terhadap 74 terduga teroris di berbagai wilayah di Tanah Air.
“Sebanyak 14 orang di antaranya meninggal dunia karena melawan saat ditangkap,” kata Tito Karnavian seusai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (22/5). (Antaranews.com/nasional.tagar.id)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...