Siklus Kebakaran Hutan Kembali Lagi, Tidak Jelas Solusi Menanganinya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Puluhan warga telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Sementara dari kalangan korporasi baru satu perusahaan saja.
Penegakan hukum ini dinilai kurang mencerminkan fakta di lapangan, dimana kebakaran lahan justru banyak terjadi dilahan milik korporasi.
Kepolisian Indonesia terus memburu pelaku di balik karhutla yang saat ini masih terus berlangsung di sejumlah daerah, yakni Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Sampai Senin (12/8/2019), total tercatat 60 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus karhutla di daerah-daerah tersebut.
"Semuanya 60 (tersangka), dari 68 kasus, 60 kasus masih proses sidik," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (12/8), yang dilansir abc.net.au, pada Selasa (13/8).
Dedi Prasetyo memerinci dari ke- 68 kasus itu, sebanyak 29 kasus ditangani Polda Riau dengan 20 tersangka, 4 kasus ditangani Polda Jambi dengan 2 tersangka, di Kalimantan Barat ada 14 kasus dengan 18 tersangka, dan Kalimatan Timur 22 kasus dengan 21 tersangka.
Dedi menambahkan, sebagian besar dari tersangka adalah pelaku individu yang membakar lahan secara tradisional untuk membuka ladang yang kemudian apinya menyebar dan memicu kebakaran lahan.
Sementara dari pihak korporasi, sejauh ini baru 1 perusahaan saja yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni PT Sumber Sawit Sejahtera (PT SSS) di Riau, yang telah ditetapkan sebagai tersangka karhutla pada 8 Agustus 2019.
"Polisi telah memiliki 2 alat bukti yang cukup untuk menetapkan korporasi ini sebagai tersangka," kata Brigjen Dedi Prasetyo.
Dalam kasus ini, sebanyak 15 orang telah dimintai keterangan oleh polisi mulai dari direksi, manajemen di bawahnya hingga karyawan.
Penegakan Hukum Tidak Adil
Meski demikian upaya penegakan hukum ini dipertanyakan oleh NGO lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), karena dianggap tidak mencerminkan keadilan.
"Walhi menyayangkan minimnya tersangka karhutla dari korporasi, sejauh ini hanya 1 perusahaan, Padahal banyak sekali kalau kita cek, justru karhutla yang meluas itu sebagian besar terjadi di lahan-lahan korporasi.”
"Kalau begini, kesannya polisi hanya cari gampangnya saja." kata Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi.
Yuyun mengatakan, berdasarkan data pemantauan titik panas atau hotspot secara nasional yang dilakukan Walhi dari Januari sampai Juli 2019, terdapat 4.258 titik panas di sejumlah wilayah di Indonesia dimana 2.087 di antaranya terletak di kawasan konsesi dan kesatuan hidrologi gambut (KHG).
Lebih terperinci titik panas yang terletak di atas lahan HGU sebanyak 144 titik api, dan di atas lahan HTI ada 39 titik api.
Yuyun juga menyoroti ancaman yang disampaikan Presiden Jokowi pada rapat kerja penanganan karhutla di istana Negara pada awal Agustus lalu. Jokowi menyatakan Kapolda dan Pangdam TNI yang tidak mampu mengatasi karhutla akan dicopot.
Ancaman itu menurut Yuyun Harmono tidak tepat sasaran.
"Waktu Presiden bilang 'Kapolda dan Pangdam akan saya copot' kalau tidak bisa menghentikan karhutla, ancaman itu jadinya diikuti oleh kapoldanya dengan mencari kambing hitam dan yang gampang ditemukan itu ya masyarakat bukannya menyasar korporasi."
"Seharusnya acaman yang disampaikan Presiden adalah saya akan cabut konsesi perusahaan yang terbukti di lahan konsesinya ada karhutla, itu baru warning yang keras."
"Karena orientasi penegakan hukumnya menjadi jelas yakni harus menyasar perusahaan itu."
Lemahnya penegakan hukum inilah yang menurut Walhi menjadi biang terus berlangsungnya karhutla setiap tahun.
Penegakan hukum yang dilakukan belum menimbulkan efek jera, sehingga perusahaan tidak mau atau tetap lalai menjaga lahannya dari karhutla.
Lemahnya penegakan hukum kepada perusahaan ini, tampak dari sedikitnya perusahaan yang dijerat hukum dalam kasus karhutla.
Di Provinsi Riau misalnya, sebagai salah satu kawasan yang memiliki lahan gambut yang cukup luas ini selalu menjadi langganan bencana karhutla dan kabut asap, namun dalam rentang 7 tahun terakhir, baru 10 perusahaan yang dipidanakan akibat karhutla.
Adapun sanksi yang dijatuhkan beragam mulai dari denda Rp 2 miliar hingga Rp 16,7 triliun.
Karhutla Picu Kabut Asap
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus berlangsung, tapi hasil pantauan Polri menunjukkan titik panas sudah menurun di daerah Kalimantan Selatan, Jambi, Riau dan Sumatera Selatan.
Titik panas justru meningkat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
"Di Kalimantan Tengah dari awalnya 69 menjadi 82 titik hotspot. Kemudian yang di Kalimantan Barat dari 120 menjadi 419 titik hotspot. "kata Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo pada Senin (12/8).
Bahkan hasil pantauan BMKG Pontianak menyebutkan di Kalimantan Barat saat ini ada 1.124 hotpsot dan tersebar di 14 kabupaten/kota. Titik panas terbanyak ada di Kabupaten Sanggau.
Kondisi ini telah membuat sejumlah kota di kedua provinsi itu diselimuti kabut asap.
Di Kota Palangkaraya, Kalteng kabut asap pekat memicu otoritas setempat meliburkan sekolah untuk melindungi kesehatan murid dari dampak kabut asap. Pemerintah Kota Pontianak yang dilanda kabut asap pekat juga berencana menerapkan kebijakan serupa.
Musim kemarau yang lebih panjang yang terjadi pada tahun 2019 ini ditengarai telah membuat jumlah titik panas di tanah air menjadi 70 persen lebih banyak dibandingkan tahun lalu.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau pada tahun ini masih akan berlangsung hingga Oktober mendatang.
Sementara itu, sejak akhir Juli lalu, sebanyak 5.929 personel gabungan telah dikerahkan untuk memadamkan karhutla di lima provinsi, yakni Riau Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Jambi.
Personel gabungan ini berasal dari satuan tugas darat dan udara dari unsur TNI, Polri, BPBD, Masyarakat Peduli Api, dan sejumlah kementerian/lembaga.
Mereka melakukan upaya penanggulangan kebakaran dengan memadamkan titik-titik api melalui darat dan udara dengan cara pengeboman air atau water bombing.
Indonesia tercatat pernah mengalami kebakaran hutan terburuk sepanjang sejarah pada tahun 1997
Karhutla terburuk kembali terjadi pada 2015, dimana karhutla melanda lahan seluas 2,6 juta hektar dan mengakibatkan sejumlah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura dan Thailand terkepung asap selama berminggu-minggu.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...