Silang Paham tentang Minoritas
SATUHARAPAN.COM - Pasca pemberian World Statesman Award oleh Appeal of Conscience Foundation (ACF) di New York kepada presiden SBY 30 Mei yang lalu masih menyisakan silang paham tentang arti minoritas, antara SBY dan mereka yang mendukung pemberian award tersebut dengan mereka yang mengeritiknya. Franz Margnis-Suseno, SJ adalah salah satu yang mengeritik keras dengan mengirim surat protes langsung kepada ACF.
Sementara presiden SBY dan para pendukungnya menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menjaga harmoni dan perlindungan terhadap minoritas, meskipun mengakui masih banyak pekerjaan rumah, para pengeritiknya menganggap preisden SBY sangat sedikit, untuk tidak dikatakan abai, terhadap nasib minoritas. Tulisan ini akan mencoba mencari titik di mana akar silang paham tersebut.
Definisi minoritas
Akar silang paham itu tampaknya bermula dari definisi tentang minoritas. Dalam perspektif SBY, minoritas hanya dilihat dari sisi jumlah dan formal negara. Maka wajar jika dalam pidato saat menerima award tersebut SBY menyebut agama-agama formal di Indonesia dan kepercayaan lainnya. SBY juga menghitung jumlah rumah ibadah agama-agama formal, sembari tidak lupa menyebut secara eksplisit bahwa jumlah gereja di Indonesia “lebih banyak dari Inggris Raya maupun Jerman.”
Dengan penyebutan tersebut SBY hendak mengatakan bahwa minoritas di Indonesia terlayani dengan baik. Sementara itu, Sekretaris Kabinet Dipo Alam sebagai pendukung, melalui akun twitternya, menjawab kritik Magnis dengan menulis: "Masalah khilafiyah antar umat Islam di Indonesia begitu banyak, jangan dibesarkan oleh yang non-Muslim, seolah simpati minoritas diabaikan." (Tempo.co 22/5/13).
Dalam perspektif SBY tersebut, Syiah di Sampang, Ahmadiyah di berbagai daerah yang terdiskriminasi serta Parmalim di Sumatera Utara, misalnya, tidak dimasukkan ke dalam kategori minoritas. Karena Syiah dan Ahmadiyah menjadi bagian dari Islam yang mayoritas, dan jika Islam sudah dilayani, lalu mengapa harus memperhatikan mereka yang justru menyimpang dari mayoritasnya sendiri. Demikian juga Parmalim yang terpinggirkan oleh sikap gereja tertentu di Sumatera Utara. Jika Kristen sebagai minoritas sudah terlayani, mengapa harus memperhatikan Parmalim yang menyimpang dari Kristen itu sendiri.
Minoritas terlayani dan terdiskriminasi
Hans van Amersfoort dalam bukunya “’Minority’ as a Sociological Concept” (2010), misalnya, memberikan beberapa ciri minoritas yang tidak hanya dari segi jumlah. Di antaranya adalah anggotanya tidak diuntungkan dalam suatu sistem masyarakat dan negara sebagai akibat dari tindakan diskriminasi terhadap mereka; mereka merasa memiliki kekhasan daripada mayoritas dan rasa kepemilikan bersama suatu tradisi dan bersifat turun temurun; memandang dirinya sebagai “yang lain” dari kelompok mayoritas.
SBY maupun pendukungnya, dengan demikian, sedang menyebut minoritas yang merasa nyaman dan terlayani dan mengabaikan minoritas yang tertindas dan terdiskriminasi. Sedangkan para pengeritiknya, termasuk Romo Magnis, sedang menyebut minoritas yang tidak terlayani dan bahkan terdiskriminasi. Karena itu, Romo Magnis justru menyebut Syiah dan Ahmadiyah, dan tidak menyebut Katolik, agama yang dia peluk, karena dalam konteks ini tidak sedang tertindas dan terdiskriminasi.
Sudah waktunya pemerintah dan presiden SBY menempatkan minoritas dalam perspektif kewarganegaraan dan hak asasi manusia jika ingin merealisasikan janji dalam pidatonya: “Kami tidak akan mentolerir setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manapun dengan mengatasnamakan agama.“ Mari kita tunggu!
Penulis adalah Koordinator Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace-Universitas Indonesia (AW Centre-UI)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...