Sistem Lisensi untuk Melindungi Hak Cipta Musik Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia saat ini menjadi surga pembajakan musik. Maraknya pembajakan musik di Indonesia tidak terlepas banyaknya tersedia kemudahan dari karya tersebut diduplikasi. Hal inilah yang menjadi pendorong untuk diadakannya Diskusi Interaktif yang mengangkat tema Masa Depan Lisensi Musik Indonesia pada Rabu (5/6) lalu, bertempat di Pre-function Hall A, Jakarta Convention Center (JCC).
Diskusi ini terselenggara atas kerjasama Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Pusat Pengembangan Hukum dan Bisnis Indonesia (PPHBI) dan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia. Menghadirkan moderator Prof. Tjut Nyak Deviana Daudsjah, dan pembicara Ketua DPP HIPPI Bidang Hukum dan Kelembagaan, Dr. Dhaniswara K. Harjono, SH,MH, MBA, Perwakilan dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, Jusak Irwan Sutiono, Wakil dari Direktorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI.
Lisensi musik yang berkaitan erat dengan Hak Kekayaan Intelektual, sebagai salah satu produk hak cipta, merupakan suatu bentuk perjanjian yang konteksnya tunduk pada kebebasan berkontrak. Seperti tercantum pada Pasal 138 Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata. Namun isinya tetap dibatasi oleh Undang-undang (UU) no 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Lisensi musik merupakan media pengalihan karya cipta yang dilakukan oleh pemilik karya cipta kepada industri musik. Ini bertujuan agar karya cipta tersebut dapat ditampilkan dalam suatu wujud benda, yang memudahkan pendistribusian kepada konsumen. Pemberian lisensi ini ditampilkan dalam perjanjian baku.
“Perjanjian sangat menentukan. Karena itu, perhatikan secara detail isi kontrak,” kata Jusak.
Permasalahan yang sering terjadi adalah apa isi perjanjian dan masalah yang muncul setelah perjanjian tersebut disepakati. Banyak orang yang menilai karya musik di Indonesia belum mampu dilindungi dengan baik oleh pemerintah.
Dari sisi lain, banyak pengusaha di Indonesia yang memandang negatif konsep perlindungan kekayaan intelektual karya musik. Seperti yang dihadapi oleh pengusaha cafe, karaoke, tempat perbelanjaan yang terus memutar suatu karya cipta musik tanpa memperhitungkan royaltinya.
Diskusi interktif ini berakhir pada tiga kesimpulan. Pertama, diperlukan sistem industri yang terstruktur. Kedua, masyarakat dan pemerintah harus bekerjasama untuk mengatasi masalah ini. Dan masyarakat perlu memberi masukan, usulan, saran yang disampaikan kepada pihak terkait. Ketiga, membuat dan menciptakan UU dan hanya satu lembaga untuk mengatur keseluruhan permasalahan.
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...