Sitaan Lahan Adat Mayasih Kuningan Keliru Objectum Litis
KUNINGAN, SATUHARAPAN.COM - Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan kembali mengalami diskriminasi dalam penetapan sita eksekusi dalam kasus Tanah Adat Mayasih.
Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan bersikap bahwa Tanah Adat Mayasih merupakan tanah ladat warisan leluhur yang harus dikelola secara komunal adat dan bukan tanah warisan milik pribadi.
Hal Ini berdasarkan pada beberapa dokumen penting yang di keluarkan oleh Sesepuh terdahulu seperti Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana dengan Memberikan Hak Pengelolaan Aset tersebut kepada tokoh-tokoh masyarakat. Ini tercatat dalam Surat Pernyataan tahun 1964 dan tahun 1975 oleh Pangeran Tedjabuwana.
Dalam pernyataan tersebut Pangeran Tedjabuwana memberikan Mandat Pengelolaan aset-asetnya kepada tokoh tokoh masyarakat yang lalu tokoh-tokoh itu mendirikan Yayasan dan menyerahkan pengelolaan aset bersama tersebut kepada Yayasan.
Dengan pengelolaan tinggalan Pangeran Madrais dan Pangeran Tedjabuwana oleh Yayasan maka pengelolaan aset tersebut bukan Milik orang per orang/pribadi melainkan sebagai asset komunal, dan ditindaklanjuti oleh Yayasan Pendidikan Tri Mulya.
Untuk merawat dan menjaga tinggalan aset komunal itu maka Yayasan mengajukan perlindungan kepada negara terhadap kawasan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai Cagar Budaya Nasional.
Keterangan yang menyatakan bahwa Tanah Persil 46 III ( blok dukuh Pangeran) milik Pangeran Tedja Buwana adalah kekeliruan contoh yang diajukan di Pengadilan, dikarenakan status tanah tersebut adalah bukan merupakan tanah adat yang ditinggalkan oleh Pangeran Madrais, melainkan tanah yang dibeli secara pribadi oleh suami dari Ratu Puser Alibasa. Karena Ratu Puser tinggal di Jember Jawa Timur, maka pengurusan surat-surat tanah dan pajak di atas namakan Pangeran Tedja Buwana.
Pada tanggal 22 April 2022 Pengadilan Negeri Kuningan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita Eksekusi, yang akan dilakukan pada tanggal 18 Mei 2022.
"Hal itu kami anggap sangat merugikan masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan," kata Tati Djuwita dalam keterangan tertulis kepada satuharapan.com, hari Selasa (17/5).
Menurutnya, menimbang bahwa Tanah Adat Mayasih diduga telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang bekerja sama dengan pelaku yang membelokkan sejarah dan secara fakta ingin merampasi tanah-tanah adat, serta membunuh hak-hak Komunal/kebetsamaan hidup masyarakat adat.
Menjelang dijalankannya perintah Pengadilan Negeri kuningan dengan Surat No. W.11.U16/825/HK.02/4/2022, Mengenai perihal pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita Eksekusi nomor 1/Pdt.Eks./2022/ PN Kng Jo. Nomor 7/Pdt.G/2009/Pn.Kng, masyarakat AKUR "Menolak secara tegas" dan tidak memberikan ruang dalam eksekusi lahan tanah adat mayasih.
"Kami menilai Hakim telah keliru memahami objectum litis-nya. Karena memahami objectum litis-nya sebagai sengketa waris, padahal jelas bahwa objectum litis-nya bukanlah sengketa waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi pada masyarakat hukum adat," kata Okki Satria Djati.
Atas kekeliruan dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut berdampak hilang dan terampasnya tanah milik adat sesuai yang di amanatkan leluhur yang seharusnya dijaga kelestariannya.
Dengan "salah memahami" objectum litis-nya sebagai sengketa waris, padahal jelas bahwa objectum litis-nya bukanlah sengketa waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi pada masyarakat hukum adat.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...