Loading...
OPINI
Penulis: Teuku Kemal Fasya 00:00 WIB | Kamis, 08 Januari 2015

Sitor dan Aceh

Penulis (kanan) bersama alm. Sitor Situmorang

SATUHARAPAN.COM – Sitor Situmorang dan Aceh pernah bertautan. Paling tidak menurut pengetahuan saya ketika berkenalan dengannya. Bukan karena sama-sama Sumatera, penyair kelahiran Harianboho, Tapanuli Utara, 2 Oktober 1923, dekat dengan Aceh. Kedekatan sesungguhnya ada pada aspek pengetahuan dan kultural.

Pada 2001 saya berkenalan dengan Sitor secara pribadi melalui Lian Sahar, seorang pelukis ekspresionis asal Singkil, Aceh. Saat itu Sitor mengunjungi Lian di rumahnya di kawasan Bumijo Lor, Yogyakarta. Pertemuan pertama saya dengan Sitor itu langsung akrab. Kami mendiskusikan banyak hal pada pertemuan pertama, dari problem Bahasa Indonesia hingga polemik kebudayaan pada tahun 1960-an.

Tiba-tiba dengan suara keras ia mencampakkan sebuah koran nasional. “Apa ini? Bahasa Indonesia telah dirusak oleh wartawan. Apa itu elit? Tidak benar itu. Yang benar adalah elite (dengan membunyikan huruf “e”) dan harus seperti itu. Saya bisa mencoret-coret banyak kesalahan penulisan bahasa di semua koran”. Di belakang Sitor, Lian berbisik, “Biasa aja itu, orang Batak satu ini sedang mengekspresikan kepenyairannya di hadapan kita”.

Tentu saja Sitor tidak asal bunyi. Ia penyair sekaligus wartawan. Ia pernah bekerja di Suara Nasional, Waspada, Berita Indonesia dan Warta Dunia. Dunia kewartawanan selalu dekat dengan kepenyairan, seperti dijalani Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Kesadaran tinggi atas kata, kalimat, dan narasi memandunya untuk membersihkan najis redaksional jurnalistik. Ia menganggap, jangan karena koran adalah bacaan publik setiap hari, ia harus menyusu pada selera pasar.

Pada akhir 2001 saya kembali berkomunikasi dengan Sitor. Saat itu Lian Sahar meminta saya menemani “si Opung” yang berencana menginap di rumahnya, karena ia akan melakukan pameran lukisan di Jakarta. Sitor memang kerap menginap bermalam-malam di rumah sang pelukis ini. Bukan sembarang orang Sitor bisa sedemikian akrab dan nyaman menumpang. Jika tak mengenalnya, kita akan menganggap Sitor seorang introvert. Padahal di rumah Lian, Sitor hanya menempati kamar kecil. Di rumah itu, meskipun banyak sisi telah lapuk, cukup istimewa. Di sana bertumpuk ribuan buku, mulai tentang seni, sejarah, filsafat politik, sastra, keislaman, hingga budaya Melayu dalam Bahasa Inggris, Perancis, dan Indonesia.

Saya melihat persahabatan dua seniman ini agak unik. Sebagai tokoh Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Sitor kerap berpolemik sastra dan kebudayaan dengan siapa saja, baik dengan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan juga dengan aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pandangannya tentang “realisme sosialis” berbeda dengan Pramodya Ananta Toer. Namun oleh rejim Orde Baru mereka semua berbaju sama: masuk penjara dan dilabeli “komunis”. Para perupa yang dekat dengan Lekra juga ikut dipenjara, seperti Amrus Natalsya, Misbach Tamrin, Isa Hasanda, dan Lian Sahar sendiri; sang pelukis abstrak-ekspresionis. Padahal di kalangan kaum sosialis-komunis, lukisan abstrak dianggap kontra-revolusi.

Malam-malam akhir tahun 2001 itu menjadi waktu istimewa. Kami bertiga: Saya, Limantina Sihaloho penulis perempuan asal Urun Panei, Simalungun, dan Sitor Situmorang berdiskusi panjang-lebar. Ditemani kari dan sop kambing Bang Udin yang terkenal di Yogyakarta, kami membincangkan sejarah kepenyairannya, realisme sosialis, pilihan eksilnya ke Belanda dan Perancis, dan juga penerbitan kumpulan puisinya pada tahun depan, Paris La Nuit (Paris di Waktu Malam). Malam itu ia juga mentas dengan membacakan puisi untuk kami. Untuk Limantina Sihaloho ia menghadiahkan Borobudur dan untuk saya dibacakan Kaliurang.

Tentang Paris, Sitor menganggap kota itu sebagai rumah keduanya  setelah Toba Samosir. Ketika mendapatkan beasiswa dari Sticusa ke Amsterdam, ia memutuskan pindah ke Paris. Paris menurut Sitor adalah pusat kebudayaan dan kesenian Eropa. Para seniman eksil juga banyak yang tinggal di kota mode itu dengan lekatan sejarah poskolonial yang memengaruhi karya-karya mereka.

Sebagai penganut realisme sosialis, Sitor memiliki kepribadian diksi sederhana. Ia kerap menggunakan kata-kata benda purba bahasa Melayu seperti batu, sungai, kuburan, malam, gunung. Puisinya yang cukup dihapal banyak orang, Malam Lebaran, hanya berisi satu kalimat Bulan di atas kuburan. Tentu puisi ini tidak bisa diartikan harfiah, karena pada malam lebaran bulan tidak kelihatan, kecuali secercah tipis bulan sabit.

Darimana inspirasi kata-kata purba itu? Dengan lantang Sitor mengatakan kitab suci kepenyairannya  adalah karya-karya Hamzah al-Fansury, penyair asal Singkil, Aceh abad 17. Bukan hanya “Syair-syair Perahu”, ia juga membaca semua ulasan tentang al-Fansury. Terakhir saya lihat ia membaca buku disertasi Abdul Hadi WM tentang Hamzah Fansury di rumah Lian Sahar.

Jika kini, nama Hamzah al-Fansury tidak begitu baik di Aceh, akibat polemik politik dengan Nuruddin ar-Raniry, tentu akan menjadi kesimpulan fatal memahami sejarah. Kedua sosok itu tidak bertemu dalam sebuah era. Hamzah hidup di era Sultan Iskandar Muda (1604-1636), sedangkan Nuruddin ke Aceh dan menjadi hakim kerajaan pada masa pemerintahan Iskandar II (1637-1644). Hamzah seorang berbahasa ibu Melayu, sedang Nuruddin ulama fiqh asal Ranir, India, baru belajar bahasa Melayu di Pahang, Malaysia.

Di Aceh, masyarakat mengingat politik pembumihangusan buku-buku Hamzah al-Fansury atas kebijakan Nuruddin ar-Raniry dengan narasi hiperbolis. Dari riset sejarah diketahui bahwa hal itu dilakukan untuk mengecilkan pengaruh sufisme Fansurian yang telah popular di kalangan masyarakat Aceh dan mulai menyebar hingga semenanjung Melaya (Malaysia dan Singapore) dan Riau.

Sayangnya, polemik itu dianggap sebagai pertentangan teologis. Banyak awam di Aceh mengingat Hamzah al-Fansury sebagai pembawa ajaran sesat. Kesadaran naif atas sejarah seperti ini sesungguhnya merugikan pengetahuan Islam dan Melayu, karena menutup salah satu tambang pengetahuan Sumatera dengan semena-mena. Seperti dikatakan oleh Prof. Andries Teeuw, pengembangan bahasa Melayu modern tak lepas pengaruh utama Hamzah al-Fansury.

Kini, di hari kematiannya di Apeldoorn, Belanda pada 21 Desember 2014, saya mengingat Sitor Situmorang di antara dua sosok Aceh: Lian Sahar dan Hamzah al-Fansury. Si Anak Hilang itu memang akhirnya dikebumikan di tanah danau perkasa, terbujur disamping bunda, di bumi Toba, seperti wasiatnya di dalam puisi Tatahan Pesan Bunda.

Penulis adalah antropolog asal Aceh


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home