SMRC: Kartun Disensor Merupakan Politik Media
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, mengatakan, bahwa tayangan sensor 'blur' terkait Putri Indonesia 2016 serta beberapa film animasi dan kartun merupakan politik media.
“Ini politik media jangan-jangan ini antisipasi dari media itu sendiri yang mungkin entah bagaimana untuk melakukan sebuah sensor tayangan mereka untuk menghindari sesuatu,” kata Saidiman dalam diskusi di LBH Jakarta Jalan Diponegoro No 74, Jakarta Pusat, hari Rabu (2/3).
Menurut Saidiman, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak mengeluarkan kebijakan ataupun permintaan kepada lembaga penyiaran (stasiun televisi) melakukan pengebluran program animasi, kartun dan siaran Putri Indonesia.
“Sensor atau blur kartun beberapa hari ini menjadi perbincangan di kalangan masyarakat dan masalah sensor bahkan ketika gambar-gambar ini beredar banyak orang mengarahkan dan menuduh KPI bahwa ini disebabkan oleh KPI namun KPI membantah, kami tidak melarang wanita berbaju kebaya karena ini merupakan budaya bangsa yang jelas,” kata dia.
Saidiman mencontohkan pada rezim rorde baru di kalangan media tumbuh semacam doktrin. Media bagian dari proyek pembangunan semua ini harus diarahkan untuk mendukung pembangunan.
“Pembangunan didefinisikan oleh penguasa orde baru misalkan seperti gerakan Islam dilarang, gerakan kiri semua dianggap kontra pembangunan,” kata dia.
“Doktrin semacam pembangunan itu masih ada sekarang jadi menjadi pemicu dari sebuah sensor yang dilakukan oleh media,” dia menambahkan.
Selain itu, kata dia, sensor juga dimaksudkan sebagai antisipasi pekerja media agar tidak ditegur oleh pemilik media.
“Pemilik media media besar ini mempunyai koneksi dekat dengan kekuasaan di negeri ini,” kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...