Soal Muslim Syiah Sampang, YLBHU Pesimis dengan Janji Pemerintah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kasus penyerangan atas Muslim Syi’ah di Sampang yang terjadi pada 26 Agustus 2012 dan menewaskan satu orang dinilai sebagai suatu bentuk kasus konflik sosial. Sebagai kasus konflik sosial yang dibutuhkan dengan pendekatan masalah seperti yang tersebutkan dalam Undang-Undang Nomer 7 Tahun 2012. Keterangan ini disampaikan Asisten III Setda Propinsi Jawa Timur Edi Purwinarto dalam Peluncuran Publik Laporan Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) tentang Penyerangan terhadap Penganut Syi’ah di Sampang Madura di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada hari Senin (26/8).
Kondisi dalam konflik sosial tidak akan stagnan dan dalam kasus tertentu akan terjadi peningkatan eskalasi. Adanya korban yang meninggal dalam konflik menjadi dasar perlunya menggunakan Undang-Undang Nomer 24 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana untuk menangani kasus di Sampang itu.
Edi Purwinarto menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di Sampang karena sudah melampaui batas-batas toleransi sehingga tidak tercipta lagi kerukunan.
Syamsul Anam dari IAIN Sunan Ampel Surabaya yang selama ini bekerja sebagai Tim Rekonsiliasi melihat bahwa jalan terbaik pasca konflik dengan mengupayakan para pengungsi Syi’ah segera kembali ke desanya. Sementara saat ini para pengungsi Syi’ah masih tinggal di Rusunawa Argo Puspa Sidoarjo. Akar budaya yang ada di Sampang Madura rentan tercerabut selama berada di pengungsian.
Mengupayakan para pengungsi kembali tidak mudah jika masih ada resistensi yang sangat besar atas mereka.
“Sementara resistensi masih tinggi dan tanpa perlakuan apa-apa maka besar kemungkinan peristiwa ini akan terulang lagi. Proses rekonsiliasi itu harus benar-benar permanen. Perlu pendalaman dan upaya yang lebih besar lagi untuk memastikan resistensi itu sudah mengecil.” Kata Syamsul Anam.
Direktur Pidum Polri Heri Prastowo yang hadir dalam acara itu menepis temuan Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) bahwa polisi berpihak dalam kasus penyerangan atas Muslim Syi’ah di Sampang.
“Polisi sebagai individu menegakkan hukum terhadap warga yang bersalah dengan cukup bukti. Kalau dia salah kita proses hingga ke pengadilan. Tidak mungkin kami memutuskan atau memproses orang tidak salah. Polisi ikut mengungsikan Muslim Syi’ah bukan bertujuan berpihak tetapi mengikuti irama Muspida Sampang. Saya lihat ini sudah disetujui Gubernur Jawa Timur, DPRD Jawa Timur.” Kata Heri Prastowo.
Muslim Syi’ah dipisahkan dari lingkungannya dalam rangka mencegah keributan tidak terus terjadi.
Lanjut Heri Prastowo, “Polri sendiri tindak lanjutnya adalah tetap menjaga keamanan di lokasi pengungsian di Sidoarjo dan keamanan antar dua desa di yang ada di Sampang. Sampai sekarang masih. Berkoordinasi dengan Pemda, TNI, bahkan rekan-rekan yang ada ormas di tempat tersebut.”
Dalam kasus Sampang, tindakan yang diambil harus berdasarkan pada parameter HAM. Parameter HAM merupakan aspek policy seperti tersebutkan dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomer 20 dan 77 Tahun 2012. Di era otonomi daerah, pusat menghormati apa yang dilakukan kepala daerah di wilayahnya. Demikian disampaikan Patrice Ronwari dari Kementerian Dalam Negeri.
“Kami dari Kemendagri akan berupaya untuk sama-sama menuntaskan kasus di pelbagai wilayah, salah satunya di Sampang ini. Tentunya kami berkoordinasi dengan inter Kementerian. Itu dari aspek policy yang ada.” Kata Patrice Ronwari.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) yang selama ini menjadi pendamping Muslim Syi’ah Sampang yang menjadi korban diskriminasi pesimis mendengar paparan-paparan itu.
Hadi Joban, staf YLBHU yang hadir di kantor Komnas HAM menyatakan paparan perwakilan Pemerintah Propinsi Jawa Timur, Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian, tetap berputar pada sama, yaitu pertobatan Muslim Syi’ah. Hadi Joban menilai mereka tidak menindaklanjuti instruksi Presiden SBY dan melawan instruksi Presiden SBY sebagai kepala negara.
“Untuk itu kami tidak pernah merasa yakin dengan itikad yang mereka paparkan pada hari ini. Kami rasa itu semua normatif dan kami rasa itu semua hanya wacana. Tidak ada tindak lanjut.” Kata Hadi Joban.
Lanjutnya, “Jika kepolisian ini serius dan bertindak fair, seharusnya mereka melaksanakan instruksi SBY yang mengatakan bahwa masalah keamanan adalah kewajiban negara. Itu harus dilakukan polisi, bukannya malah membela kelompok-kelompok intoleran. Bahkan kepolisian menjadi design maker-nya.”
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...