Solidaritas Lewat Aksi Lilin untuk Perdamaian
SATUHARAPAN.COM – Di tengah ketegangan yang terus berlanjut di Semenanjung Korea, warga Kristen di Seoul berharap cahaya lilin, yang walaupun “rapuh”, akan tetap menerangi jalan menuju perdamaian. Seiring dengan yang dilakukan warga Kristen di banyak tempat di seluruh dunia, mereka memegang lilin-lilin yang terus menyala untuk perdamaian selama masa Adven.
“Situasinya begitu buruk. Negara yang kuat, suka sekali berperang. Tapi selama masa Advent ini kami berkumpul untuk menyalakan lilin dan berdoa untuk reunifikasi damai dari Korea, karena bahkan lilin dengan nyala yang kecil pun bisa menerangi jalan menuju ke sana. Kebersamaan dan solidaritas lebih kuat daripada kegelapan,” kata Pendeta Lee Chung Jae, Sekretaris Jenderal Dewan Nasional YMCA Korea.
YMCA menyeponsori aksi lilin pada tanggal 9 Desember yang dingin, yang dilangsungkan di Lapangan Gwanghwamun di Seoul. Itu adalah aksi terakhir dari tujuh hari aksi menyalakan lilin setiap hari di Seoul. Untuk sisa masa Adven, aksi serupa akan diadakan di kota-kota dan desa-desa di seluruh negeri, menurut Pendeta Lee Hong-jung, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Nasional di Korea.
Pendeta Dr Martin Robra, eksekutif program Dewan Gereja-gereja Dunia (WCC) untuk Pembangunan Ekumenis Berkelanjutan, berbicara pada acara terakhir di Seoul itu.
“Di sini kita berbagi kesedihan berkaitan dengan ketegangan situasi saat ini, tapi kita bersukacita, kita dapat berkumpul dalam aksi menyalakan lilin ini sebagai ungkapan harapan,” kata Robra, yang berada di Seoul.
Robra mengatakan kepada para peserta bahwa perjuangan untuk mencapai perdamaian di Korea juga menjadi salah satu keprihatinan utama orang-orang Kristen yang berkumpul di Norwegia dalam upacara pemberian Hadiah Nobel Perdamaian 2017 kepada ICAN (Kampanye Internasional untuk Menghapuskan Senjata Nuklir), yang menjadi mitra WCC. Upacara tersebut berlangsung 10 Desember lalu di Oslo.
“Lilin kita hanyalah cahaya kecil dalam kegelapan,” Robra mengatakan kepada para peserta aksi lilin di Seoul. “Cahaya lilin yang rapuh, dan terus berkedip, namun memberi kita harapan di tengah kegelapan. Ini adalah gambaran dari kehadiran hamba Tuhan yang rapuh, yang tidak akan menyerah sampai tercipta kedamaian.”
Aksi di Seoul itu diadakan di Lapangan Gwanghwamun, lokasi sentral dari Revolusi Lilin, yang menyebabkan pengunduran diri Presiden Park Geun-hye pada bulan Maret.
Menurut Pendeta Sungkook Park, sekretaris eksekutif untuk kemitraan dan hubungan oikumenis Gereja Presbiterian di Republik Korea, aksi lilin tersebut memiliki sejarah panjang di Korea, terutama selama proses demokratisasi di tahun 1980-an.
“Aksi menyalakan lilin itu adalah ungkapan orang Korea, bukan hanya gereja-gereja. Itu adalah cara mengungkapkan yang berhasil baik di masa lalu dan kami ingin melanjutkannya saat kami bergerak menuju perdamaian dan rekonsiliasi dan pengampunan,” katanya.
Warga dapat merasakan dan menyaksikan ketegangan yang memanas di Semenanjung Korea. Setelah kunjungan pejabat tinggi PBB ke Korea Utara, badan internasional tersebut mengeluarkan sebuah pernyataan pada tanggal 9 Desember yang menyatakan bahwa “situasi sekarang adalah masalah perdamaian dan keamanan yang paling menegangkan dan berbahaya di dunia saat ini.”
Dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel Perdamaian di Oslo, Direktur Eksekutif ICAN Beatrice Fihn menyatakan, “saling menghancurkan hanyalah suatu serangan yang impulsif.”
Park mengatakan, masyarakat Korea menghargai solidaritas yang terwujud dalam aksi damai dan aksi doa gereja-gereja di seluruh dunia.
“Kami, orang Korea, tidak merasa dibiarkan sendiri. Kami tidak menghadapi masalah ini sendiri. Aksi ini membawa kita rasa kebersamaan dan keterikatan kita bersama,” kata Park. (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...